Sudah menjadi tradisi setiap sekolah mengadakan Class Meeting setelah pelaksanaan Ujian Akhir Semester atau UAS. Class Meeting adalah kegiatan sekolah yang mempertemukan antar kelas dalam berbagai pertandingan atau perlombaan. Salah satu lomba yang dilaksanakan ialah kelas terbersih. Maka dari itu, Mia selaku ketua kelas meminta kerja samanya kepada seluruh murid kelas 11 IPS 5 untuk selalu menjaga kebersihan dan Agung selaku seksi kebersihan bertanggung jawab akan kebersihan kelas.
Selain itu, sekolah kami selalu memberikan kesempatan pada murid untuk memperbaiki nilai. Tidak sedikit murid menghampiri guru untuk menanyakan apakah diremedial atau tidak. Beruntungnya hanya segelintir orang saja yang diremedial. Mia dibantu Revan telah membagi siapa saja yang akan mengikuti lomba. Berbagai macam lomba akan diadakan, diantaranya basket, futsal, bulu tangkis, pidato, membaca puisi, kebersihan kelas, sampai permainan tradisional yaitu, bentengan.
Permainan bentengan adalah permainan berkelompok yang membutuhkan ketangkasan, kecepatan berlari dan strategi yang handal. Cara bermainnya ialah setiap pemain harus berlari untuk menjaga benteng dan menangkap lawan dan tujuan utama dari permainan benteng ini adalah menyerang dan mengambil alih benteng/markas lawan. Adanya permainan bentengan ini membuat kami bernostalgia.
"Sekolah kita unik juga main bentengan hahaha ..." seru Nadine yang baru merasakan Class Meeting di sekolah ini.
"Tahun kemaren ada egrang. Bener-bener mengenang masa kecil hahaha ..." sahut Mia.
"Ngga salah aku pindah kesini hahaha ..." balas Nadine.
Aku yang sedang menyapu, mendengar pembicaraan mereka merasa iri karena mereka ingat masa kecil. Aku penasaran apakah masa kecilku bahagia? Apakah aku pernah bermain permainan tradisional? Aku ingin sekali ingatanku kembali.
"Nadine siap-siap ke kelas 11 IPA 1, bentar lagi giliran kelas kita," ucap Azza dari depan pintu.
Nadine mengikuti lomba membaca puisi yang diadakan di kelas 11 IPA 1 dengan guru Bahasa Indonesia sebagai juri.
"Okay ..." Nadine mengacungkan jari jempol kepada Azza.
"Semangat Nadine!" teriakku.
Nadine tersenyum seraya membalas, "siap! Kei juga ikut yuk!"
"Ikut?" heranku.
"Iya ... dengan kamu liat aku tampil, itu membuatku lebih bersemangat!" Tentu saja Nadine sudah merencanakannya.
"Tapi ak—"
"Udah ikut aja Kei, biar aku yang gantiin tugas kamu," potong Mia mengambil sapu dari tanganku.
Aku melihat Mia dan Nadine bergantian. Mia memberikan tatapan tidak masalah jika ia mengambil alih tugasku, sedangkan Nadine memberikan tatapan memohon.
"Baiklah ..." kataku kemudian.
"Yes!" sorak Nadine kelewat senang.
Tak lama kemudian Nadine menarik tanganku. Aku tidak menyangka kalau dengan kedatanganku membuat Nadine senang.
"Semoga berhasil Nadine ..." batin Mia yang mulai menyapu.
***
Farel sedang bersiap untuk bertanding basket dengan kelas 11 IPS 3. Sudah lama sekali ia tidak bermain basket, terakhir bermain saat SMP yang dimana Devan selalu mengajaknya saat ada waktu setelah pulang sekolah. Basket merupakan olahraga kesukaan Devan. Farel segera menggelengkan kepala, menepis semua kenangan yang terlintas begitu saja.
"Lagi-lagi kenangan bersamamu muncul," batin Farel.
"Farel! Ayo ke lapangan," ajak teman sekelas Farel.
Farel mengangguk dan langsung pergi ke lapangan.
Saat diperjalanan, Farel melihat Nadine menarikku dengan ekspresi senang. Farel berharap ekspresi senangnya tidak ada maksud yang lain.
Aku tidak tahu mengapa Nadine sesenang ini, baru pertama kali aku melihatnya seperti ini. Kedua sudut bibirku terangkat, rasa sayang kepada temanku meningkat. Aku akan selalu menjadi teman yang dapat diandalkan.
Setibanya di kelas, Nadine langsung duduk di depan bersama peserta dari kelas lain. Sedangkan aku duduk di bangku penonton yang terletak di belakang Nadine.
Sebelum Nadine tampil, ada seorang anak laki-laki dari kelas 10 yang sedang tampil. Tampilannya sangat memukau, dia seperti sudah ahli dalam membaca puisi. Tidak hanya itu, perasaan yang ia tanamkan pada puisi dapat dicapai ke bangku penonton. Aku yakin sang guru sedang terpesona akan penampilannya. Aku tidak percaya kalau ia masih kelas 10.
Perlu waktu sekian detik sampai aku sadar anak laki-laki itu telah duduk kembali. Sekarang giliran Nadine. Nadine melihatku terlebih dahulu, aku menyemangatinya dengan mendekatkan tangan di sekeliling mulut, lalu mengucapkan semangat.
Nadine mulai dengan membaca judul serta penyairnya.
PADA SUATU HARI NANTI
Karya : Supardi Djoko Damono
Puisi yang sangat familiar, dimana aku mendengarnya? Setiap Nadine membaca 1 bait puisi, aku mengingat Devan. Devan yang sedang berlari ke arahku dengan senyumnya, lalu membaca puisi yang sama.
Bagaimana Nadine mengetahuinya? Ah tidak aku yakin ini kebetulan. Tapi kenapa aku tidak merasa demikian? Aku merasa Nadine sengaja membacakan puisi ini. Ah setelah aku pikir-pikir, Nadine sendiri yang mengajukan diri dan Nadine juga yang memilih puisinya. Ini ngga mungkin.
Sakit kepalaku makin sulit ditahan sampai Nadine menyelesaikan puisinya dan aku terjatuh.
Bruk!
Pada akhirnya aku pingsan.
***
Farel baru selesai menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan mutlak. Kelas Farel melaju ke babak semi final. Setelah Farel minum dan beristirahat sejenak, ia berjalan ke kelasku.
Setibanya disana, Farel tidak dapat menemukanku.
"Dimana Kei?" gumamnya.
"Eh serius Kei pingsan?" ucap seorang teman sekelasku yang lewat.
"Iya! Aku liat sendiri," balas temannya.
"Kok bisa sih?"
"Mau jadi putri yang ditolong pangeran kali."
"Tapi pangeran itu lagi ngga ada hahaha ...."
"Yah gagal dong? Hahaha ...."
"Bagus gagal hahaha ...."
Farel marah dengan omongan 2 murid tersebut, namun ia tidak ada waktu untuk menegur mereka. Farel berlari secepat kilat ke UKS.
"Wow siapa ini?" ejek Nadine melihat Farel sudah di depan pintu UKS.
Farel langsung menarik kerah seragam Nadine, "apa yang kamu lakukan? Kenapa Kei pingsan? Ngga mungkin ini terjadi begitu saja!"
Nadine menepis tangan Farel, "santai saja ... Kei harus terbiasa dengan ini agar ingatannya kembali."
"Ck, dasar gila!" umpat Farel menghampiriku.
"Pada Suatu Hari Nanti ... karya Supardi Djoko Damono," ucap Nadine.
Deg!
Farel tahu betul puisi ini. Salah satu puisi yang dipamerkan Devan. Seingat Farel, Devan selalu memberitahuku terlebih dahulu karena aku yang paling tertarik dengan puisi.
Farel berbalik menghadap Nadine. Tatapan benci Farel membuat Nadine memperlihatkan senyum miringnya.
"Ah aku tadi membaca puisi itu di depan Kei. Beruntung sekali aku Class Meeting mengadakan lomba membaca puisi," ucap Nadine kemudian.
Farel semakin menunjukan kebenciannya.
"Gimana? Aku hebat bukan? Hahaha ... tenang saja Farel, aku akan pastikan Kei mendapatkan ingatannya kembali dan merasakan rasa sakit yang selama ini kita alami."
"Kamu bener-bener gila!" caci Farel.
"Kamu ngga akan mengerti Farel ... bagaimana rasanya dihantui rasa bersalah. Seandainya saja aku tidak mengiakannya, pasti Devan masih ada. Masih dengan puisi, basket, lagu kesukaannya, serta sikapnya yang selalu membangkitkan semangat. Kamu mengerti bukan perasaanku? Tapi sangat tidak adil bagiku begitu tahu kalau Kei hilang ingatan dan hidup tanpa merasakan rasa bersalah. Aku bukan kamu yang rela menyimpan rasa itu sendiri. Jadi, jangan pernah halangi aku!" Nadine menekankan ucapannya diakhir dengan menahan tangis.
Farel terdiam. Ia tahu betul perasaan Nadine, pada dasarnya mereka mengalami hal yang sama.
***