Aku bingung kenapa orang-orang tidak menyukai hari Senin. Bagiku hari Senin adalah hari baru yang dimana selalu ada semangat baru yang tertanam. Aku memasuki kelas dengan keadaan senang, Shella selaku teman sebangku sudah tidak aneh dengan tingkahku. Tidak diduga ada satu orang yang berekspresi sama denganku, orang itu ialah Mia.
Nadine kebingungan dengan ekspresi Mia, "dia kenapa?"
Mia tidak mempedulikannya karena yang ada dipikirannya saat ini adalah pengumuman nilai Ujian, ia yakin hasilnya lebih bagus dari Farel. Di sekolah kami, nilai lembar ujian dibagikan saat pagi sebelum pelajaran pertama dimulai.
Bu Maya selaku wali kelas mulai memanggil nama murid sesuai absen. Aku menghela napas ketika melihat nilaiku hanya terdiri dari angka 75-80, "aku harus berusaha lebih keras!" pikirku. Berbeda dengan Mia yang senang karena nilainya hampir sempurna, nilai 90 keatas menghiasi lembar nilai ujiannya. Namun kesenangannya tidak berlangsung lama karena Farel mendapatkan nilai sempurna.
"Bagaimana bisa kamu bisa mendapatkan nilai sempurna?" heranku.
"Memang tidak diragukan lagi," celetuk Nadine.
"Sial," gerutu Mia dalam hati. Ia harus menerima bahwa Farel memenangkan pertaruhan.
Shella hanya memandang lembar nilai ujian dengan takjub.
"Berkat seseorang aku dapat berusaha lebih giat, rasanya aku harus berterima kasih dengannya," ucap Farel melirik Mia.
"Wah, hebat juga dia. Baru kali pertama aku melihatmu termotivasi karena seseorang. Jadi penasaran aku siapa," pujiku.
"Tidak perlu tahu kerena itu bukan hal baik," balas Farel.
"Membuat nilaimu bagus gini kamu bilang bukan hal baik? Temuilah seseorang itu dan ucapkan terima kasih," Aku menepuk pundak Farel, lalu pergi ke kantin sebelum waktu istirahat habis.
Nadine memandang Farel dan Mia bergantian, ia rasa ada sesuatu diantara mereka.
***
Mia dan Farel bertemu disaaat sekolah sudah sepi.
"Baiklah aku mengaku kalah, jadi katakan apa maumu?" ucap Mia to the point.
"Aku akan mengabulkan keinginanmu," jawab Farel santai.
"Keinginanku?"
"Iya, kamu ingin jadi pacarku bukan?"
Blush!
Mia menyembunyikan wajahnya.
"Ok, mulai hari ini kita jadian!" Farel mendekatkan muka dengan senyumnya yang menawan.
"Gila ... mimpi apa aku semalam?" batin Mia.
"Mulai sekarang mohon bantuannya ya. Oh ya, untuk sementara ini mari kita rahasiakan dulu hubungan kita dan juga terima kasih sudah membuatku termotivasi," ucapnya berlalu.
Bruk!
Kaki Mia lemas tak berdaya. Kalau saja Mia tahu akan begini, sudah dari dulu ia bertaruh. Sekarang waktunya Mia menjauhkan Farel dariku, agar Nadine dapat membuat ingatanku kembali. Jika saja Nadine tahu itu adalah keinginanku, aku dengan senang hati menerimanya. Maka ia tak perlu membuat rencana ini sehingga tidak ada yang tersakiti nantinya.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata menyaksikan itu semua. Seorang laki-laki yang sama saat berkunjung ke sekolahku. Terlihat senyum sinis dari wajahnya, "Farel bodoh," gumamnya.
***
Keesokan harinya Mia melompat-lompat kegirangan.
"Wah sepertinya ada hal bagus nih," sahut Azza dari belakangnya.
"Tentu saja! Kamu bahkan tidak akan menyangkanya," balas Mia membalikan badan.
"Ya apapun itu aku ikut senang," ucapnya berlalu.
Lain halnya dengan Farel yang harus menyiapkan mental untuk menyenangi kekasihnya itu. Kalau saja ia tidak kerja sama dengan Nadine, ia tidak akan mempermainkan hatinya.
Farel menopang dagu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memutar-mutar pensil dengan bosan. Rio memandang Farel bingung, biasanya ia selalu semangat dalam pelajaran Fisika.
"Baik cukup sekian untuk hari ini, jangan lupa kerjakan soalnya!" perintah sang guru.
"Baik bu," jawab murid serempak.
"Tumben, ngga buru-buru pergi? Biasanya udah samperin Kei," celetuk Rio begitu guru keluar.
"Ngga dulu, lagi ngga mood," balas Farel.
"Wow ... langka sekali, berantem sama Kei?"
"Ngga ...." Farel mengeluarkan buku tulis Kimia untuk menyibukan diri.
Tidak hanya Farel, Mia juga menyibukan diri dengan Matematika. Ia harus menahan keinginannya untuk bertemu dengan Farel.
"Mia, kamu ngga makan?" tanyaku.
"Ngga, aku ngga laper. Kamu aja sana yang makan," jawab Mia.
"Aku harus memastikan sesuatu," gumam Nadine.
"Ya udah deh kalau gitu, aku sama Shella ke kantin ya. Nadine mau ikut?" ucapku.
"Ngga Kei, aku bawa bekal," jawab Nadine bohong.
"Ok, yu Shella," Aku menarik lengan Shella.
Setelah Nadine memastikan aku pergi, ia langsung menarik kursi samping, menopangkan dagunya.
"Kenapa?" tanya Mia.
"Apa yang buat kamu seneng sampai ngga mau makan?"
"Nanti juga kamu tau!"
Nadine diam sejenak memperhatikan Mia dengan seksama, "aku harap itu tidak merugikanku," ujar Nadine berdiri meninggalkan Mia.
"Merugikan? Cih, justru ini menguntungkanmu," batin Mia.
Aku terus menerus memikirkan Mia, apa Mia tidak apa-apa?
"Kamu mikirin Mia?" tanya Shella tepat sasaran.
"Iya, aku khawatir dia sakit karna ngga makan."
"Ngga perlu khawatir, dia bukan anak kecil lagi. Sekarang habiskan saja dulu makananmu."
Aku balas dengan anggukan
***
Ting ... tong ... teng
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Semua murid SMA Raya Indonesia meninggalkan kelasnya.
Mia dengan senang membuka ponselnya guna mengirim pesan pada Farel. Ia mengetik 'tunggu aku di kelasmu' setelahnya Mia memasukan ponsel ke dalam saku dengan perasaan senang. Aku memperhatikan gerak-gerik Mia, entah kenapa aku perasaanku tidak enak.
Aku langsung menepis perasaan anehku. Tidak baik merasakan seperti ini ketika teman sedang senang.
Ting!
Aku mendapatkan pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Segeralah aku membuka pesan tersebut, 'hai, masih ingat aku?' Aku memiringkan kepala bingung. Bagaimana aku bisa ingat jika ia tidak memberi tahukan namanya? Lagipula ini adalah nomor yang tak dikenal.
"Paling salah sambung," pikirku.
Farel mengehela napas untuk kesekian kalinya ketika mendapatkan pesan dari Mia. Farel langsung mempersiapkan dirinya.
"Ngga pulang Rel?" tanya Rio.
"Pulang, mau nunggu dulu," jawab Farel.
"Ohh ok, duluan ya!"
"Ya!"
Farel menengok kesana kemari, "syukurlah semua sudah pulang," batin Farel.
"Hai Farel!" sapa Mia seraya menopangkan dagunya di meja sehingga menyisakan jarak tipis.
"Oh h-hai ..." Farel membalasnya seraya menjauhkan muka.
"Gila, apa-apaan nih cewek?" gerutu Farel dalam hati.
"Eh? Kaget ya? Maaf ya aku buat kamu kaget," ucapnya kembali berdiri.
"Ngga apa-apa kok. Yu pulang!" ajak Farel.
Mereka berjalan beriringan. Sesekali Mia mendekatkan tangannya ke Farel agar dapat bergandengan tangan. Namun selalu gagal karena Farel menghindarinya sampai Farel memasukan kedua tangannya ke dalam sakit jaket yang ia kenakan.
Farel lega sekali karena sekolah benar-benar sudah sepi. Ia sangat tidak ingin hubungannya ini diketahui seorang pun.
Mia menghentikan langkahnya, menundukkan kepala seraya memasang wajah sendu. Farel yang menyadarinya berbalik.
"Kenapa?" tanya Farel dingin.
Mia diam.
"Kenapa? Aku adalah manusia bukan peramal, mana mungkin aku tahu jika kamu diam saja?" ucap Farel menahan marah. Baru sehari saja sudah menjengkelkan, Farel tidak bisa membayangkan ke depannya seperti apa.
"Ternyata Farel tipe cowok yang ngga peka ya. Bukannya menghampiri malah nanya dari jauh," gumam Mia yang masih terdengar.
"Sabar Farel sabar," batin Farel.
Farel mendekatkan dirinya, "kamu kenapa? Kalau ada apa-apa tuh cerita bukannya diam. Kamu tahu bukan kalau komunikasi itu merupakan kebutuhan yang penting dalam suatu hubungan," ucap Farel dengan lembut.
"Aku bete, ngga bisa pegangan tangan sama kamu. Padahal aku pacar kamu, setiap aku mau menggenggam tanganmu ... kamu selalu menghindarinya," jelas Mia.
"Gini doang dipermasalahin? Benar-benar gila," gerutu Farel dalam hati.
"Maaf ya ... bukannya aku ngga mau, tapi ini masih di Sekolah. Bagaimana bisa kita bisa bergandengan tangan jika hubungan kita saja tidak diperlihatkan?"
"Tapikan Sekolahh udah sepi."
"Sabar ya ... aku janji ketika kencan nanti, aku selalu menggenggam tanganmu."
Wajah Mia berubah menjadi cerah.
"Beneran?"
"Iya!"
"Kalau gitu hari Sabtu kita kencan!"
Farel kembali menyabarkan dirinya sendiri.
***