Aku terbangun dari tidurku pukul 09.00 malam. Aku langsung menutup gorden dan menyalakan lampu kamar. Tak lupa berganti pakaian, kalau ibu ada pasti aku sudah dimarahi karena tidak cepat-cepat ganti baju.
Sesudah berganti pakaian aku menyalakan lampu rumah. Seram juga jika rumah gelap gulita. Untung saja rumahku tidak besar, hanya ada ruang tamu, ruang tengah yang nyambung ke ruang makan, dapur dan 2 kamar tidur sehingga aku tidak takut jika ditinggal sendiri seperti saat ini. Ibu dan ayah sedang menginap di Bandung karena merawat nenek yang sakit.
Aku mengunci pagar dan pintu, dirasa sudah terkunci semua aku kembali masuk kamar. Aku melihat ponsel yang terdapat pesan masuk dari Mia. Aku membuka pesan pesan tersebut yang memberitahukan bahwa ia sudah berpacaran dengan Farel. Tentu saja aku senang, ucapan selamat telah terkirim.
"Senangnya ..." gumamku.
Setelahnya, aku memandang kotak biru muda. Aku yakin mendapatkannya dari Devan, tapi dimana dan kapan? Sungguh membuat frustasi.
***
Keesokan harinya, aku sedikit bangun terlambat. Akibatnya aku harus berlari agar sampai tepat waktu.
"Hosh hosh ... untunglah tidak telat," ucapku dengan napas terengah-engah yang sampai pada pukul 06.50 pagi.
"Tumben banget baru nyampe," sahut Revan.
"Lho kamu sendiri?" tanyaku.
"Emang biasa dateng jam segini, rajin amat dateng dari pagi hahaha ..." ucapnya santai.
"Jabatanmu sebagai wakil ketua kelas ngga ngaruh ya," godaku.
"Oh iya dong! hahaha ..." tawa Revan menanggapiku.
Kami memasuki kelas bersamaan dan banyak pasang mata memandangku tak suka.
"Lihatlah itu," tunjuk salah satu teman kelasku.
"Cewek gatel ya, ngga cukup satu cowok."
"Iya bener banget!"
Mereka sebenarnya tuh sadar ngga sih kalau ucapan mereka tuh menyakitkan? Inginku sumpal dengan cabai biar pedas sekalian. Andai saja aku punya keberanian untuk melawan semua itu. Memang apa salahnya sih aku temenan sama Farel dan Revan? Apalagi Farel temanku sejak kecil. Sebegitunya ingin berteman dengan Farel?
"Kei! Kamu ngapain disitu? Ayo duduk, bentar lagi bel," tegur Shella menyadarkanku yang sedang melamun.
"Ah iya ..." Aku langsung duduk di tempatku.
Pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang ingin selalu dimengerti, namun tak mau mengerti. Pusing aku kalau sudah berhitung, ditambah saat ini pak Asep selaku guru matematika sedang menjelaskan Limit Fungsi, yang ada otakku limit.
Semakin pak Asep menjelaskan, semakin aku tidak mengerti. Belum cukup sampai disitu, pak Asep memberikan lembar kerja untuk dikerjakan di rumah dan dikumpulkan di minggu berikutnya.
Ting ... tong ... teng!
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Seluruh murid memberi salam pada pak Asep. Baru saja pak Asep keluar kelas, Azza sudah menagih uang untuk fotocopy.
"Kei minta uang 20.000, nanti kalau ada sisa aku balikin," pinta Azza.
Aku langsung memberikan uangku sebagai ganti uang kas. Tanpa mengucapkan terima kasih Azza pergi setelah menerima uangnya dengan kasar. Aku harus bersabar.
Pelajaran kedua adalah Bahasa Inggris. Sang guru memberikan latihan soal yang dikerjakan berdua sesuai teman sebangku. Terlalu asik mengerjakan soal sampai tidak terasa istirahat pertama telah tiba.
Nadine dan Mia langsung menghampiriku.
"Kei, kamu udah tahukan?" bisik Nadine.
"Tau apa?" balasku berbisik.
"Mia jadian sama Farel."
"Tentu saja!"
"Antarkan dia ke kelasnya yu! Mia terlalu malu jika sendiri."
"Ayo!"
"Tuhkan aku bilang juga apa, Kei pasti mau anterin kamu!" ucap Nadine menyengol lengan Mia pelan.
"Sebelumnya maafin aku buat yang kemaren ya Mia," ucapku.
"Ya ampun Kei ... masih aja minta maaf, kan kemaren pas berkirim pesan aku sudah memaafkanmu," balas Mia.
"Iya, tetap saja tidak enak," cicitku.
"Sudah sudah, ayo ke 11 IPA 2 sebelum jam istirahat habis," sahut Nadine.
"Shella kamu ikut juga yu!" ajakku.
"Maaf Kei, aku mau ke perpustakaan," tolak Shella halus.
"Oh iya ngga apa-apa kok, aku pergi ya ..." balasku.
Shella mengangguk.
Disepanjang perjalanan Mia menceritakan rasa senangnya. Mia tidak menyangka akan menjalin hubungan dengan Farel, cowok yang ia sukai sedari awal semester 1 kelas 10.
"Farel!" panggilku dari jauh.
Farel berbalik memasang ekspresi senang, "hai Kei!"
Aku berjalan lebih cepat menghampiri Farel. Lalu berbisik, "Farel kok ngga bilang-bilang sih kalau udah jadian sama Mia?"
"Sotau kamu!" elak Farel.
"Hayolah ngga usah malu gitu," godaku.
Ekspresi Farel berubah menjadi datar ketika Mia ada di hadapannya. Mau tidak mau Farel menanggapi semua ucapan Mia. Kami berbincang bersama, cukup banyak yang kami bahas sampai aku berusaha mendekatkan Farel dan Mia. Farel berusaha menjaga ekspresinya.
"Cepatlah bel," Mohon Farel dalam hati.
Seakan dikabulkan, sedetik kemudian bel masuk telah berbunyi.
Ting ... tong ... teng!
"Yes bel!" Farel bersorak dalam hati.
***
Setelah bel pulang sekolah, aku langsung pulang menghindari Farel agar Mia dapat pulang sama Farel.
Sesuai keinginanku, Farel dan Mia pulang bareng. Sungguh menyenangkan melihat teman baikku bersama.
Drttt ... ddrrttt ...
Getaran pada ponsel membuat langkahku terhenti. Pesan masuk dari nomor tak dikenal, ia mengirim sebulan lagi kita akan bertemu.
"Sebulan lagi? Ah jangan-jangan ini Devan?" pikirku.
Aku membalasnya dengan menduga bahwa dia adalah Devan. Bukannya jawaban yang aku terima melainkan sebuah emotikon tersenyum. Menyebalkan sekali!
Aku tidak menyadari bahwa orang yang mengirim pesan ada disekitarku. Ia memastikanku sampai rumah dengan selamat. Aku sangat berharap bahwa dia adalah Devan.
Deg!
Tiba-tiba saja potongan ingatanku datang.
"Kei, kamu sekelompok sama aku ya! Kita harus buat sekelas takjub, nanti aku carikan ceritanya," ujar Devan semangat.
"Curang masa sama Kei terus sih!" protes Nadine.
"Hahaha Nadine sama aku aja," ajak Farel.
"Bosen tau!" balas Nadine cepat.
"Aku sama Nadine aja!" ucapku merangkul tangan Nadine.
Nadine mengangguk setuju.
Aku terdiam sejenak. Ingatan itu berlangsung dengan cepat. Rasanya aku melihat satu anak laki-laki lain yang sedang tertawa menyaksikan keributan kami.
"Kei?" panggil ibu.
Aku langsung tersenyum, "Ibu udah pulang, gimana keadaan Nenek?" Aku membantu ibu membawakan barang.
"Nenek sudah sehat kembali," jawab ibu sembari masuk rumah diikutiku.
"Syukurlah," ucapku bernapas lega.
"Kamu sendiri apa kabar?" tanya ayah dari belakang.
"Baik kok Yah. Aku ganti baju dulu ya," pamitku.
Saat aku sampai kamar, cepat-cepar aku menulis penglihatanku tanpa terlewatkan sedikitpun. Aku kembali mengingat foto itu, ah aku ingat kalau ada anak laki-laki yang berada diujung foto memakai kacamata. Untuk sementara aku menamai dia mata empat. Setelahnya aku terkekeh membayangkan dapat memanggilnya seperti itu secara langsung.
***
Farel telah sampai disebuah makam dengan nama Devan Mahaprana Faresta yang terukir disana.
"Hai Devan, aku datang berkunjung nih. Maaf aku ngga bisa jagain Kei dengan benar. Aku emang ngga pantas dimaafkan, tapi izinkan aku melindunginya dengan caraku. Aku harap kamu selalu tenang disana," Farel meletakkan setangkai bunga mawar putih.
"Aku pamit ya Devan," Farel pergi meninggalkan makam Devan disana.
***