Farel mencoba kembali menanyakan tentang diriku, "Mia kamu yakin ngga ada yang terjadi pada Kei?"
Mia sempat memperlihatkan wajah sebal sembari meminum cokelat panasnya. "Iya ngga ada apa-apa kok," jawabnya kemudian.
"Ngga bohongkan? Ngga baik lho bohong ke pacar sendiri," ucap Farel sedikit menggoda.
"Iya Farel, aku ngga bohong."
"Ck, susah juga!" batin Farel kesal.
Keheningan menyelimuti mereka sampai getaran pada ponsel Mia berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Mia mengangkat panggilan masuk dari mamanya.
"Farel bentar ya," kata Mia berdiri untuk mengangkat telepon.
"Iya, santai aja," balas Farel.
Farel sudah menghabiskan makanannya. Sambil menunggu Mia, ia mengirim pesan kepadaku hanya sekedar menanyakan apa saja yang aku lakukan hari ini. Aku terkekeh ketika melihat pesannya, berasa aku yang pacarnya Farel. Aku membalas kalau hariku menyenangkan, tidak ada hari yang tak menyenangkan bagiku. Farel membalas dengan emotikon tertawa disertai rasa syukurnya. Farel memang sahabat terbaik.
"Hai Farel lama ngga?" tanya Mia yang baru kembali.
"Ngga kok," jawab Farel cepat.
"Farel, nanti temani aku naik ojek online dulu ya ... aku disuruh mama karena udah malam," Jam sudah menunjukan pukul 07.00 malam.
"Iya, nanti aku tungguin ... habisin dulu makanan kamu, habis itu kita pulang," kata Farel kelewat lembut.
"Siap laksanakan!" balas Mia senang.
Disela-sela Mia menghabiskan makanannya Farel kembali bertanya, "Mia ... aku mohon jawab dengan jujur, apa benar tidak ada yang terjadi pada Kei? Karena kamu dekat dengannya sekaligus pacarku. Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi," terang Farel.
"Habis kehilangan uang kas sebesar 100.000 ... aku ngga tahu kenapa Kei bisa kehilangan uang, dia ngga cerita," jawab Mia setelah menahan kembali kejengkelannya.
"Makasih ya Mia udah bilang. Aku titip Kei ya karena hanya kamu yang dapat aku percaya," ucap Farel sembari mengelus punggung tangan kiri Mia.
"Tentu saja," ujar Mia. Lalu, ia bergumam, "mana mungkin mau, susah payah aku ngambilnya."
Farel menarik ujung bibirnya, bodoh sekali Mia bergumam di depan Farel. Dengan begini, Farel tidak perlu bertanya lebih lanjut. Mia tersadar akan ucapannya. Kemudian, ia sedikit panik takut-takut Farel mendengarnya.
"Rel, kamu denger aku ngomong sesuatu ngga?" tanya Mia memastikan.
"Kamu ngomong apa? Aku ngga denger," ujar Farel bohong.
"Bukan apa-apa kok," balas Mia tersenyum menyembunyikan kepanikannya. Mia berharap Farel memang tak mendengarnya.
"Mia bodoh bodoh!" Mia merutuki diri sendiri.
Seperti biasa, Farel memperlihatkan senyum palsu.
Farel membayar semuanya. Anggap saja ini sebagai bayaran karena Mia sudah memberitahukannya, meski tak disengaja.
***
Keesokan harinya aku dijemput oleh Farel, aku sudah tidak aneh dengan kedatangan Farel yang tiba-tiba. Farel duduk setelah salam kepada kedua orang tuaku.
"Rel bentar ya," ucapku mengambil tas.
"Ok!" balas Farel.
Drrtt ... drttt!
Ada pesan masuk dari Mia yang meminta untuk menjemputnya.
"Ck, manja sekali," gerutu Farel seraya membalas bahwa ia tidak bisa menjemput karena kesiangan.
Farel langsung memasukan ponselnya kembali. Tak lama setelah itu aku datang.
"Ayo berangkat!" ajakku.
Farel menahan tanganku.
"Lho kenapa?" tanyaku bingung.
"Nanti aja bisa ngga? Lagi males nih hehehe ..." ujar Farel berusaha mengulur waktu agar tidak ketahuan kalau Farel berbohong pada Mia.
"Tumben, biasanya kamu semangat terus. Lagi ada apa sih?"
"Bukan apa-apa. Daripada itu kenapa kamu ngga cerita kalau uang kas kelasmu hilang?"
Deg!
Aku memalingkan muka.
Farel sudah tahu betul bagaimana sifatku. Jika aku memalingkan muka begini saat ditanya itu berarti benar adanya.
Farel menghela napas, "aku ini sahabat kamu Kei, sudah sewajarnya kamu cerita. Aku pasti langsung bantu kamu," terang Farel.
"Sebenarnya waktu itu aku mau cerita, tapi ada Mia yang merupakan pacarmu. Jadi aku mengurungkan niatku," jelasku masih memalingkan muka.
"Dibanding Mia kamu lebih penting, aku ngga bisa liat kamu susah," Farel mengeluarkan selembar uang Rp. 100.000, "nih pake aja dulu buat ganti uang kas. Dilarang menolak," tegas Farel.
Aku memandang uang tersebut cukup lama, "aku ngga bisa ne—"
"Kan udah aku bilang, dilarang menolak yang berarti kamu harus menerimanya!" potong Farel.
Terlihat sekali bahwa aku menunjukan ekspresi tak enak.
"Ayo Kei, kita berangkat! 10 menit lagi masuk hehehe ..." ujar Farel beranjak dari sofa. Lalu, aku menyusulnya.
***
Untuk pertama kalinya aku dihukum karena terlambat sekolah. Kami sampai pada pukul 07.15 pagi. Saat ini kami sedang berlari memutari lapangan sebanyak 10 kali.
"Kuat juga Kei," ejek Farel yang baru saja menyelesaikan hukumannya, sedangkan aku masih 2 kali putaran.
"Masuk kelas aja sana daripada ganggu aku," usirku.
"Justru itu aku ngga masuk kelas, seneng tau gangguin kamu hahaha ..." balasnya.
"Tuhkan ... udah sana pergi, ngga guna juga gangguin aku!"
"Berguna tau."
"Dih berguna apaan!"
"Berguna karena aku senang hahaha ...."
Aku mengerucutkan bibir, Farel kembali tertawa melihat ekspresiku.
Pada akhirnya Farel menemaniku menyelesaikan hukuman. Aku masuk ke kelas di tengah pelajaran PLH.
"Tumben kamu telat," ucap Shella begitu aku duduk.
"Gara-gara Farel," balasku sembari mengeluarkan buku.
"Kok bisa?"
"Nanti aku ceritain soalnya bu Guru sudah melirik kita," ujarku yang langsung dimengerti Shella.
.
.
.
Ting ... tong ... teng!
Bel pergantian jam telah berbunyi.
"Baik, hari ini cukup sampai disini. Jangan lupa kerjakan hal 47, pelajari baik-baik karena akan keluar diujian nanti," perintah sang guru.
"Baik bu ..." jawab murid berbarengan.
Sang guru pergi meninggalkan kelas dan datanglah guru piket yang menyampaikan bahwa guru kesenian sedang sakit, jadi kami diberikan tugas untuk mempelajari materi Sejarah dan Perkembangan Teater beserta mengisi soal latihannya.
Bukan anak sekolah namanya jika tidak asik sendiri saat jam kosong. Disamping anak rajin sedang mengerjakannya, ada juga yang sedang menggambar, bergosip, bahkan bermain ponsel, saling mengirim lagu atau foto melalui bluetooth.
Shella yang sudah tak sabar menggunakan kesempatan ini untuk memintaku menceritakan apa yang terjadi tadi pagi.
"Kei ayo cerita, kenapa kamu telat? Kan, ngga biasanya," tanya Shella penasaran.
"Oh itu, jadi ..." Aku menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat sedikitpun.
"Hhmmm ... kayanya Farel suka sama kamu, soalnya dia perhatian banget," tebak Shella.
"Ngaco kamu, Farel menyukai seseorang yang pasti bukan aku," sanggahku.
"Masa sih? Ngga percaya aku. Mau dilihat dari segala arah juga, sikap perhatian Farel ke kamu tuh ngga biasa," ucap Shella tak percaya.
"Dia perhatian itu karena rasa bersalahnya padaku, meski aku ngga tau penyebabnya," jelasku.
"Kok kamu bisa seyakin itu sih? Apa Kei suka sama Farel?" tanya Shella kembali.
"Entahlah ... aku hanya merasa seperti itu dan harus aku bilang berapa kali kalau aku ngga suka sama Farel," jawabku.
"Kalau gitu, apa ada orang yang kamu suka?" tanya Shella tak ada habisnya.
"Devan," jawabku cepat.
"Devan? Siapa?"
"Ah bukan siapa-siapa kok. Ayo kita kerjain lagi," ucapku mengakhiri pembicaraan.
Ditengah-tengah percakapanku tadi, terlintas senyum menawan Devan. Oleh karen itu, aku menyebutkan nama 'Devan' seorang anak laki-laki yang selalu ada dimimpiku.
***