Aku membolak-balik dompet uang kas, seingatku masih ada sisa Rp 100.000. Aku mengeluarkan semua isi tas takut-takut jatuh, namun tidak ada. Akhirnya aku mencari diseluruh kamar.
"Duh dimana?" gumamku panik.
Aku benar-benar yakin kalau menyimpannya di dompet uang kas. Aku memang menyediakan dompet panjang khusus uang kas bahkan kwitansi fotocopy lembar soal kemarin masih ada. Andaikan aku bisa menggantinya, aku tidak akan sepanik ini. Uang jajanku saja tinggal Rp 20.000.
"Kei, kamu ngga se--" ucapan ibu terpotong, sebelum berkata, "astaga nak, kenapa kamar kamu berantakan gini?" kaget ibu.
"Hehehe ... maaf ya Bu, pulang sekolah nanti Kei beresin."
"Kamu habis ngapain sih, nak? Ngga biasanya kamar kamu berantakan gini."
"Cari buku catatan Kei Bu. Ibu taukan kalau buku catatan aku tuh kecil hehehe ..."
"Dasar kamu ini ... udah sana kamu berangkat, nanti telat."
"Siap! Aku berangkat ya Bu," pamitku.
"Iya, hati-hati."
Ibuku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku. Saat ibu hendak menutup pintu, mata ibu menangkap kotak berwarna biru muda. Ibu masuk kembali ke kamar, namun langkahnya terhenti karena ayah meminta ibu membuatkan secangkir kopi. Dengan berat hati ibu mengurungkan niatnya.
Disepanjang perjalanan, aku terus mempersiapkan diri untuk berkata yang sejujurnya. Aku harus mempertanggung jawabkan kesalahanku.
"Kamu pasti bisa!" batinku meyakinkan.
Dipersimpangan jalan aku bertemu Farel.
"Farel!"
"Oh hai Kei," balas Farel.
Farel melihat wajahku lekat-lekat.
"Hmm ... lagi ada masalah Kei? Asa ngga enak liat muka kamu," tebak Farel.
"Ngga ada kok," bohongku.
Farel menatapku curiga, ia memajukan badannya menyisakan beberapa senti dan mencubit pipiku, "aku tau ya kamu ngga bisa bohong."
Aku menepis tangan Farel, lalu mengusap pipiku seraya memajukan bibir membuat Farel tertawa gemas. Mia melihat mereka dari jauh, siapa yang tidak cemburu ketika sang pacar dekat dengan cewek lain, meski sahabatnya sekalipun.
Mia mempercepat langkahnya sampai ia tak sengaja menyenggolku, "aduh maaf Kei, kamu ngga apa-apa?" ucapnya seraya mengusap pundakku.
"Ngga apa-apa kok, kamu ngga usah khawatir," balasku ramah.
"Pagi Farel," sapa Mia.
"Pagi ..." balas Farel seadanya.
Mia memberikan kode ke aku agar meninggalkannya, untung saja aku mengerti.
"Farel aku duluan ya!" pamitku.
"Ngga bareng aja?" cegah Farel.
"Ngga usah, aku mau ke koperasi dulu ..." bohongku lagi.
"Ohh ya udah ... dahh," ujar Farel.
Cepat-cepat aku meninggalkan mereka. Sekali lagi aku mempersiapkan diri untuk mengakui kesalahanku.
"Sial gue lupa, maksa cerita," gerutu Farel dalam hati.
"Farel bareng yu!" ajak Mia.
"Iya."
Senyum bahagia nampak terlihat dari wajah Mia.
"Eh eh liat itu Farel sama Mia!"
"Serasi banget ngga sih?"
"Udah jadian belum?"
"Gemes deh liatnya!"
"Rela deh aku kalau Farel sama Mia."
Celotehan-celotahan siswa-siswi membuat Mia tersenyum senang. Jika begini, ia punya alasan agar Farel mau terbuka soal hubungannya. Lain halnya dengan Farel, sebisa mungkin ia menahan rasa kesalnya. Rasanya ia mau menghilang saat itu juga.
***
Aku mengetuk-ngetuk pensil diatas meja, membuat Shella kesal setengah mati!
"Kei bisakah kamu berhenti? Kamu menggangguku!" omelnya yang sedang mengerjakan soal geografi. Saat ini kami sedang belajar sendiri karena guru yang bersangkutan sedang sakit.
Aku tidak mendengarkan omelan Shella.
Tak!
Shella menjitakku.
"Aw! Sakit Shella," gerutuku.
"Siapa suruh ngga denger! Lagi mikirin apaan sih?"
"Hmm ... Mia sama Farel."
"Emang ada apa sampe kamu mikirin gitu? Orangnya aja ngga mikirin kamu tuh! Tapi ngga tau ya kalau Farel," Shella menunjuk Mia dengan dagunya, lalu mengangkat kedua bahunya.
"Kira-kira hubungan mereka ada kemajuan ngga ya?"
"Aku kira ada apa, taunya ... sudahlah mending kamu lanjutkan saja mengisi soal geografi!"
"Lagi ngga mood, liat ya ..." mohonku.
"Ngga!"
Aku mengerucutkan bibir, "ayolah ... sebagai gantinya pas pelajaran bahasa Indonesia kamu liat aku aja!"
"Ya udah iya ..." balas Shella mengalah.
"Yes! Shella emang yang terbaik!" Aku mengacungkan dua jempol.
"Kei, ngga nagih uang kas? Mumpung ngga ada guru juga," ucap Azza mengingatkan.
"Eh iya nanti aku tagih," ucapku.
"Sekarang aja ngga usah nanti-nanti," balasnya berlalu.
Baru saja Azza pergi, Mia datang meminta uang kas untuk fotocopy tugas Ekonomi.
"Kei, aku minta 30.000 aja dulu," ucap Mia.
"Hmmm ..." Aku menundukan kepalaku, aku benar-benar bingung harus bagaimana.
"Kei kenapa? Uangnya lupa kamu bawa?" tebak Mia.
"Bukan ..." cicitku.
"Terus?"
Bukannya menjawab aku malah berdiri. Aku tarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakiku ke depan kelas. Tentu saja Mia memandangku aneh, minta uang kas kok malah maju ke depan?
Nadine tidak sengaja melihatku, aktivitasnya terhenti dan menyenggol teman sebangkunya, "hey, itu Kei kenapa?" tanya Nadine yang dibalas gelengan kepala.
"Hmm ... teman-teman," ucapku pelan yang sudah pasti tidak ada yang mendengarnya. Aku mengepal tanganku erat, "teman-teman maafkan aku, aku kehilangan uang kas sebesar 100.000 rupiah ..." ucapku lantang.
Hening, semua sibuk mencerna ucapanku sampai Azza berkata, "eh gila udah dikasih kepercayaan malah ngilangin duit!"
Cibiran demi cibiran pun aku terima, aku menundukan kepala malu. Bagaimana bisa seorang bendahara menghilangkan uang?
"Yakin ilang bukan dipake?" celetuk murid lain.
"Wah iya tuh! Kei pake kali!"
"Jujur aja deh Kei, kamu pake apa?"
"Iya! Kita ngga akan marah kok kalau kamu emang pake uangnya, daripada kamu buat alasan ngilangin uangnya."
Aku menenggakan kepala, "uang itu beneran hilang, aku baru menyadarinya pagi tadi sebelum berangkat. Aku juga ngga tahu bagaimana uangnya bisa hilang," jelasku.
"Sekarang lo ganti aja deh uang kita!" sahut Agung.
"M-maaf, aku lagi ngga ada uang," cicitku.
Agung memandangku remeh, hampir saja dia mengeluarkan umpatan. Aku harus berterima kasih pada Revan.
"Kei emang salah karena telah menghilangkan uang, namun Kei telah memberanikan diri untuk mengakui kesalahannya. Pasti tidak mudah mengakui itu semua? Coba kalian diposisi Kei, apa kalian bisa mengakuinya seperti itu? Terima kasih Kei telah mengakui kesalahanmu," ucap Revan menenangkan.
"Tetep aja salah, terus nasib uang kas gimana?" sahut Azza.
"Aku bakal ganti kok, tapi nyicil. Aku pasti ganti uangnya!" ucapku penuh tekad.
"Ketua kelas gimana?" ujar Nadine setelah memperhatikan keadaan sekitar.
"Aku setuju sama Revan dan Kei juga mau ganti kok, jadi apa lagi yang mesti dimasalahin?" ucap Mia.
"Jabatannyalah, mana pantes dia jadi bendahara," celetuk murid lain.
"Betul tuh betul!"
"Setuju!"
"Kita kasih kesempatan sekali lagi. Kalau Kei melakukan kesalahan untuk kedua kalinya baru kita ganti bendahara dan bilang ke wali kelas. Jadi, aku mohon untuk tidak membocorkan masalah ini kemanapun," pinta Mia.
Tidak ada yang membantah, semua setuju dengan perkataan Mia. Aku kembali ke tempatku, sempat aku melewati Mia dan mengucapkan terima kasih, akan tetapi Mia tidak mempedulikanku.
"Mungkin hanya perasaanku saja," batinku.
Mia kembali duduk dan tersenyum, "Kei bodoh banget sih!" Mia memberi isyarat pada Nadine bahwa rencananya berhasil.
Semua ini adalah rencana Nadine, ia mengambil uangnya diam-diam saat ruang kelas kosong. Mia menjaga di depan agar tidak ada yang curiga.
"Ini baru permulaan," batin Nadine.
***