Bel isirahat pertama sudah berbunyi, beberapa murid yang melewati bangkuku memandang rendah. Aku pikir mereka memaafkanku. Memang aku telah melakukan kesalahan besar, namun apa mereka tidak bisa melihat keberanianku? Susah payah aku mengumpulkannya.
Seketika aku mengingat seseorang pernah mengatakan, "memang sulit mengakui kesalahan sendiri karena bukan berarti langsung dimaafkan."
Aku menghela napas panjang, "Kei, kenapa cemberut gitu?" tiba-tiba saja sosok anak laki-laki muncul. Aku mencoba mengingatnya kembali, meski kepalaku sakit.
Bruk!
Akibatnya aku jatuh pingsan.
"Kei!" ucap Shella panik.
Selagi Shella panik dan teman-teman menggerumuniku. Aku memimpikan anak laki-laki itu.
"Kei, kenapa cemberut gitu?" tanya Devan.
"Sebel nilai matematika aku 50!" balasku yang masih setia mengerucutkan bibir.
"Hahaha ... kamu sendiri yang bilang ngga suka matematika, jadi wajar aja sih."
"Ya bukan berarti matematika ngga suka aku juga, kan?"
"Hahaha ... mending sekarang baca pu—"
"Ngga, aku lagi bete! Sana pergi," potongku sebelum Devan membacakan puisi.
"Galak banget sih," kali ini Devan mengerucutkan bibir.
"Ngga usah cemberut gitu, jelek tau!" ledekku.
"Jelek juga ada yang sayang," balas Devan.
"Hah? Apa? Ngga salah denger nih aku?" Aku kembali meledeknya.
"Pasti Mama sama Papa Devan," celetuk Nadine.
"Iya betul! 100 buat Nadine hahaha ..." ucap Devan.
Aku mengabaikan Devan dan memilih untuk mengerjakan tugas PLH.
"Keisha!" panggil Farel tergesa-gesa.
"Eh kenapa Farel?"
"Bangun Kei bangun!"
Tepat saat itu aku terbangun, terlihat ekspresi khawatir dari diri Farel. Ia terus menggenggam tanganku, "Kei ada yang sakit ngga? butuh minum atau mau makan dulu?"
Aku tersenyum sebelum menjawabnya, "aku ngga apa-apa kok, Farel ngga usah khawatir."
"Syukurlah kamu sudah sadar," sahut Mia.
"Maaf ya aku buat kalian khawatir," ucapku penuh sesal.
"Ngga masalah kok ... kamu istirahat dulu aja ya, aku mau ke kelas," balas Mia. Sekilas aku melihat Mia dengan tatapan tak suka, diliriklah Farel ketika Mia meninggalkan UKS.
"Aku harus minta maaf lagi ke Mia!" batinku.
"Kei, jawab yang jujur! Waktu kamu pingsan, apakah kamu dapat mengingat kembali meski berupa potongan?" tanya Farel hati-hati.
Aku diam sejenak, "sekilas aku melihat anak laki-laki."
Farel menjaga ekspresinya jangan sampai terlihat kaget, "anak laki-laki? kamu ingat siapa?"
"Ngga," ucapku seraya menggelengkan kepala. Aku bohong bahwa aku mengetahui nama anak laki-laki itu dan mengingat jelas wajahnya. Wajah yang sama di foto rumah Farel.
Perasaan lega menyelimuti Farel. Farel benar-benar tidak tahu harus berbuat apa jika aku mengingat kembali. Sedangkan aku penasaran, mengapa Farel menyembunyikannya? Apakah tidak bisa ceritakan saja padaku apa yang telah terjadi? Ah dan satu lagi, siapa anak laki-laki yang memakai kacamata? Aku yakin di foto itu terdapat 5 anak. Aku, Farel, Nadine, Devan dan siapa dia?
***
Brak!
Shella membanting pintu dan langsung memelukku.
"Kei beneran ngga apa-apa?" tanyanya.
"Bener kok," jawabku.
"Maaf ngga bisa nemenin kamu," Shella melepaskan pelukanku dengan perasaan menyesal.
"Kenapa minta maaf? Farel udah nemenin aku kok, terus hari ini kamu presentasikan? gimana?"
"Bagus kok, tinggal 8 orang yang belum termasuk kamu."
"Ok deh! Shella maaf dan makasih ya."
Shella membalasnya dengan senyuman.
Disisi lain, Mia sedang menempeli Farel.
"Apa ngga terlalu dekat untuk sekedar teman?"
"Hmm mencurigakan ...."
"Kayanya terjadi sesuatu sama mereka deh."
Satu persatu murid membicarakan kedekatan Farel dan Mia. Farel merasa terganggu dengan semua ini, pasalnya Mia terus mendekati Farel dan sekarang ia menggandeng tangan Farel. Ingin rasanya Farel menepis tangannya itu.
"Farel, aku ke toilet dulu ya. Kamu duluan aja ke Kantin," ucapnya.
"Iya," balas Farel.
Mia melepaskan genggamannya membuat Farel menghela napas lega. Baru saja Farel melangkahkan kakinya, ia sudah disambut oleh Rio.
"Yo Farel, udah ngga sama Kei nih?" Rio merangkul Farel.
Farel mendiamkannya, ia sudah terlalu lelah.
"Diam berarti iya!" ucap Rio.
"Percuma sih ngelak juga, pasti ngga percaya," balas Farel.
"Tentu saja hahaha ...."
Rasanya Farel ingin pergi saja dari Sekolah ini.
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku yang saat ini berjalan di koridor merasa aneh karena beberapa murid memandangku dengan tatapan merendahkan.
Tak kalah saat di koridor, beberapa murid yang masih di kelas memandangku serupa.
"Entah kenapa aku mulai terbiasa dengan tatapan merendahkan itu," batinku.
"Kei!" panggil Shella semangat.
"Hai, belum pulang?" tanyaku basa-basi sembari duduk.
"Ini mau pulang kok ... Kei pulang juga yu!" ajaknya.
"Ok, sebentar ya ..." Aku membereskan barang-barangku.
"Lihat dia si drama queen."
"Bisa banget sih pura-pura pingsan."
"Liat aja kalau sampe uang kas ngga diganti!"
Ucapan mereka sangat menyakitkan. Aku mencoba menguatkan diri.
"Mia, hati-hati sama Kei. Aku takutnya dia nusuk kamu dari belakang," celetuk Azza yang tentu saja aku mendengarnya.
"Maksud kamu?" tanya Mia pura-pura tak mengerti.
"Kamu dekat bukan sama Farel? Aku yakin sebentar lagi kalian memiliki hubungan khusus, ya aku takut aja Kei nusuk kamu dengan embel-embel sahabat," jelas Azza.
"Ngaco ah kamu," balas Mia meninggalkan Azza dengan perasaan senang yang ia sembunyikan.
"Kei aku pulang duluan ya," pamit Mia.
"Iya, hati-hati ya," balasku.
"Iya, kamu juga. Daahh ..." Mia melambaikan tangan.
"Yu pulang!" ajak Shella.
"Iya."
Mereka berjalan bersama sampai gerbang Sekolah.
Dalam waktu yang sama di tempat berbeda ada Farel dan Nadine sedang membicarakan sesuatu yang serius.
"Apa yang terjadi sama Kei?" tanya Farel.
"Mana aku tahu! Dia tiba-tiba pingsan begitu saja," jawab Nadine seadanya.
"Ngga mungkin! Pasti ada sesuatu."
"Kalau sebegitu penasarannya tanya aja Kei. Gitu aja kok repot!" Nadine meninggalkan Farel.
"Ck, sial!" umpat Farel.
Nadine sudah tahu pasti kalau Farel ngga akan mungkin menanyakan langsung padaku.
***
Begitu sampai kamar aku langsung merebahkan diri. Merenungkan mimpi saat aku pingsan. Devan adalah anak lelaki yang selalu ada di mimpiku. Andai saja aku dapat menemukan buku tahunan, aku pasti tidak akan pusing begini.
Ring ... ring ... ring!
Ponselku berbunyi menampilkan nama Nadine disana.
"Halo Nadine ..." ucapku saat mengangkat panggilan tersebut.
"Halo Kei, maaf ya aku tadi ngga jenguk kamu," balasnya dari seberang sana.
"Ngga apa-apa kok."
"Gimana? Udah baikan?"
"Iya, udah ...."
"Kalau besok kamu masih sakit ngga usah masuk dulu, anak-anak pasti ngerti."
"Aku harap begitu," batinku.
"Iya, kamu ngga usah khawatir," ucapku kemudian.
"Hmm Kei ... kan kamu pernah bilang kalau kamu itu hilang ingatan. Apa penyebab kamu pingsan tadi ada hubungannya sama ingatanmu? Ah maaf kalau aku terlalu ikut campur, aku hanya ingin membantu."
"Ngga ada kok, kemaren aku habis begadang hehehe ... makasih ya udah mau bantu."
"Dasar kamu ini hahaha ... ya udah aku mau mandi dulu ya."
"Iya, dah Nadine."
Pip!
"Haahhh ... Devan sebenarnya kamu siapa dan dimana?" gumamku sebelum memejamkan mata.
***