Bel pulang sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa dan siswi SMA Raya Indonesia berhamburan keluar.
"Hai Kei," sapa Nadine.
Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Nadine benar?" tanyaku memastikan.
"Iya betul, akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu."
"Kamu nungguin aku?"
"Iya! Aku mau ngobrol sama kamu, aku perhatiin kamu anaknya seru."
"Aduh jadi malu aku."
"Kei, hayu pulang!" ajak Farel yang ternyata sudah di depan pintu.
"Nadine mau pulang bareng?" tawarku.
"Ngga Kei, aku dijemput," jawabnya.
"Ok, aku duluan ya. Hati-hati Nadine," pamitku sambil melambaikan tangan.
"Iya, Kei juga hati-hati."
Deg!
Pandangan Nadine dan Farel bertemu. Farel menunjukkan ekspresi yang sangat sulit untuk ditebak, sedangkan Nadine menyeringai.
"Farel, ngapain disitu? Tadi ngajakin pulang, tapi kamu diem aja!" omelku.
"Eh iya," ujar Farel yang berlari kecil menghampiri Kei.
"Apa-apaan Kei! Pura-pura tak kenal denganku? Cih dasar tak tahu diri!" ucap Nadine kesal.
***
Ting tong!
Klek!
"Nadine?" ucap Farel heran begitu membuka pintu.
"Wah, ternyata rumah kamu masih disini. Aku pikir kamu sudah pindah."
"Ngapain kamu kesini?"
"Main aja, sekalian sapa Om dan Tante."
"Orang tuaku belum pulang."
"Ade kamu udah pulang?"
"Belum, dia ada ekskul."
"Terus aku ngga disuruh masuk gitu? Pegel tau!" protes Nadine.
"Ck, ya udah masuk."
Nadine tersenyum senang.
"Mau minum apa?" tawar Farel.
"Air putih aja."
"Tunggu."
Sambil menunggu Farel, Nadine melihat-lihat ruang tamu. Mata Nadine langsung berhenti ketika melihat sebuah foto.
Foto dirinya, Farel, Kei dan 2 orang lainnya.
"Serius banget liatnya, kangen?" Ledek Farel.
"Ngapain kangen!"
"Terus?"
"Heran aja, kok kamu masih pasang foto ini? Orang tua kamu ngebolehin?"
"Awalnya ngga, tapi aku memaksa."
"Terus kalau Kei lihat?"
"Kei tidak pernah kesini. Walaupun Kei hilang ingatan, Kei merasa takut bertemu dengan kedua orang tuaku. Mungkin itu yang dinamakan insting?"
"Bentar tadi kamu bilang apa?"
"Kei tidak pernah kesini?"
"Bukan bukan."
"Kei hilang ingatan?"
"Iya! Sejak kapan dia hilang ingatan?"
"Sejak sadar dari koma."
"Wah curang sekali dia tidak ingat sama sekali."
"Andai kamu ada disana, pasti kamu tidak akan ngomong seperti itu."
"Maksud kamu?"
"Saat Kei tersadar dari koma, Kei terlihat kosong. Kei tidak ingat sama sekali, namanya saja ia tidak ingat dan aku adalah teman pertama yang menemui dia. Betapa senangnya dia begitu tau aku adalah sahabatnya."
"Sekarang ngga kaget sih. Pertemanan kalian luar biasa ya. Pantesan kalian dekat sekali sampai dikira pacaran."
Farel hanya tersenyum simpul dan menyandarkan dirinya ke sofa.
Nadine mulai berjalan perlahan dan mendekatkan diri pada Farel.
"Aku jadi penasaran, sebenernya kamu suka ngga sih sama Kei?"
"Ngga ada urusannya sama kamu."
"Hmm," gumam Nadine penuh selidik.
Nadine menjauhkan dirinya.
"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu."
"Pulang? Tujuanmu sudah terpenuhi?"
"Bisa dibilang begitu. Ah iya! Aku cuma mau bilang, Nadine sudah berubah."
Farel hanya diam.
"Nantikan hal yang menarik ya dan teruslah menjadi pangeran berkuda putih Kei. Bye bye ..." ucap Nadine berlalu.
"Andaikan kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasa," gumam Farel.
***
"Ibu aku ke minimarket depan dulu ya," izinku pada ibu.
"Iya, hati-hati."
Perlahan aku mengeluarkan sepeda dan sangat disayangkan roda sepedaku kempes. Aku cari pompa kesana kemari tidak ketemu. Pada akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki.
Dijalan aku melihat anak-anak bermain, sepeda motor berlalu lalang dan sesekali mobil lewat.
"Rame banget ya," ucapku.
Saat aku hendak masuk, aku melihat Nadine sedang duduk di bangku depan minimarket.
"Hai Nadine," Aku menyapanya.
"Hai Kei, sini duduk."
"Iya makasih."
"Rumah kamu disini Kei?" tanya Nadine basa-basi.
"Iya, di blok F. Terus rumah kamu disini juga?"
"Ngga, rumahku di Perumahan Indah."
"Lumayan jauh ya kalau kesini, emang kamu habis darimana?"
"Rumah Farel."
"Ah ...."
Raut wajahku menjadi mendung.
"Kamu kenapa Kei?" tanya Nadine yang menyadari perubahan ekspresiku.
"Tidak apa-apa."
"Kalau ada apa-apa cerita saja ya, siapa tahu aku bisa bantu."
"Terima kasih Nadine. Kamu baik sekali, entah kenapa semenjak pertama ketemu kamu, aku merasa bisa mempercayaimu."
"Ah bodoh sekali kamu Kei. Kamu tidak bisa membedakan mana yang ingin berteman sungguh-sungguh, mana yang tidak," pikir Nadine.
"Kamu terlalu baik Kei. Hati-hati ditipu orang, apalagi ditusuk dari belakang, sakit lho," ucap Nadine.
"Tenang saja, aku yakin kamu memang orang yang dapat dipercaya."
"Jadi senang. Makasih ya Kei, udah mau ngobrol sama aku. Jujur semenjak pindah aku takut ngga punya teman."
"Syukurlah kalau kamu senang."
"Kei aku harus pulang. Makasih ya udah nemenin aku."
"Iya sama-sama, hati-hati Nadine,"
"Kei juga."
Setelah memastikanku masuk ke minimarket Nadine memasang wajah datar.
"Aku tidak akan membiarkan kamu hidup tenang."
Di samping itu aku termenung.
"Sepertinya aku terlalu bersikap baik. Ya, semoga saja Nadine memang orang yang dapat dipercaya."
Kei yang kalut dalam pikirannya, sampai harus ditegur oleh penjaga kasir.
***
"Selamat pagi Kei!" sapa Nadine.
"Pagi Nadine."
"Wah sejak kapan kalian dekat?" tanya Mia yang juga baru datang.
"Sejak kemarin, sekarang Kei adalah temanku. Iya kan, Kei?" ucap Nadine senang.
"Iya! Istirahat nanti kita makan bareng yuk!" ucapku semangat.
"Terus kamu ngga makan sama Farel?" tanya Mia heran.
"Ngga, hari ini dia bawa bekal dan mau makan sama teman kelasnya. Masa aku harus ikutan juga," jelasku.
"Kali aja, kan kamu nempel banget sama Farel. Siapa sih yang ngga kenal pasangan fenomenal ini?" ledek Mia.
"Fenomenal apaan coba?" protesku.
"Iyalah fenomenal. Farel yang selalu ngelindungin kamu dan ngebela kamu, terus dia perhatian banget lagi sama kamu. Kamu ngga sadar apa sama tatapannya itu? Tatapannya itu hanya ditujukan untuk orang tersayang," jelas Mia semangat.
"Bagiku terlihat seperti tatapan bersalah," gumamku.
"Apa Kei?" tanya Nadine yang samar-samar mendengarnya.
"Eh? Ngga kok."
"Pokoknya bagi aku kalian tetap pasangan fenomenal!"
"Aish Mia terlalu melebih-lebihkannya," ucapku.
Disisi lain Nadine masih tidak mengeri maksud dari pasangan fenomenal.
***
"Selamat pagi anak-anak."
"Selamat pagi bu."
"Hari ini Ibu akan memberikan puisi karya Sapardi Djoko Damono, yang pada tahun 1989 berjudul Aku Ingin. Nah, sekretaris mohon untuk tulis puisinya."
Azza maju, menerima selembar kertas berisikan puisi dan mengambil spidol.
AKU INGIN
Karya: Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak
sempat tuk diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan
awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada
(1989)
"Puisi yang indah," gumamku.
"Aku suka puisi ini, puisi cinta sederhana namun tidak sesederhana kenyataannya."
Aku membelalakkan mata ketika ingatanku muncul. Kali ini pun, anak lelaki itu yang muncul. Rasanya ingatanku dulu hanya dipenuhi anak lelaki itu.
"Sebenarnya kamu siapa?" pikirku.
***