"Nah, sekarang kalian tentukan unsur intrinsik dari puisi tersebut dengan teman sebangku kalian," perintah sang guru.
"Baik Bu!" jawab murid kelas serempak.
"Ayo Shella kita kerjakan. Kamu mau menentukan apa?" ujarku.
"Aku mau tema, rima dan irama," balas Shella.
"Ok, berarti aku majas, citraan dan amanat."
Shella mengangguk.
Detik berikutnya kami sibuk dengan kerjaan masing-masing.
Tidak terasa aku sudah ke tugas terakhirku, yaitu menuliskan amanatnya.
Amanatnya ialah penyair ingin mengungkapkan tentang apa yang dirasakannya dengan tenang dan sederhana tanpa dengan perbuatan yang mengada-ada.
Setelah aku menyelesaikan tugasku, kini aku mengerti maksud dari ucapan anak lelaki itu.
"Penyair ingin mengungkapkannya dengan sederhana bukan? Namun nyatanya, saat orang mengungkap perasaan pasti gugup dan kalau sudah gugup bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti salah ucap. Memang tidak sesederhana kenyataannya. Ah, rasanya aku ingin berdiskusi dengan anak itu," gumamku.
"Anak siapa?" tanya Shella.
"Eh? Tidak ada. Maaf aku jadi asik sendiri."
"Tidak masalah, asalkan selesai. Mana sini mau aku gabung dan kumpulin."
"Nih," aku menyerahkan bukuku.
Beberapa menit kemudian..
"Sudah terkumpul semua?" tanya Mia.
"Sudah Mia," jawab salah satu murid kelas.
"Ok, kalau begitu aku kasih dulu tugasnya. Kalian bersiaplah untuk pelajaran matematika."
"Aku tidak suka matematika," keluhku.
"Sebagai besar murid juga begitu," sahut Shella.
"Aku jadi pengen kaya kamu yang suka matematika."
"Tidak perlu, karna semua orang punya kesukaannya bukan?"
"Iya sih."
"Ayo cepet siapin! Sebelum pak Asep marah."
Aku langsung menyiapkan buku pelajaran matematika.
***
"Akhh ... aku pusing! Aku memang tidak berjodoh dengan matematika," keluhku.
"Hahaha ... sudahlah tidak usah mengeluh. Makan saja bekalmu," ucap Mia.
"Iya ini aku makan," ucapku seraya memasukan sesendok nasi dan lauk pauk ke dalam mulut.
"Oh iya, maksud Mia yang tadi pagi apa?" tanya Nadine.
"Yang mana?"
"Pasangan fenomenal."
"Ngga usah dibahas lagi," protesku.
"Itu lho waktu kelas 10 Farel pernah gendong Kei ke UKS. Satu sekolah langsung heboh dan Farel dengan sigap nolongin Kei saat Kei terpeleset. Udah gitu ya, lindungin Kei dari kakak kelas yang malak dia. Pasangan fenomenalkan? Selama ini belum ada yang kaya mereka," jelas Mia yang tidak mempedulikanku.
"Farel bucin ya," sahut Shella yang ikut makan siang bersama.
"Dia melakukan itu hanya karena aku adalah sahabatnya. Ngga lebih," jelasku.
"Sahabat kok kaya ke pacar sih?" ledek Nadine.
"Kei pura-pura ngga peka. Udah tau Farel suka sama kamu. Kamunya diem aja," ujar Mia.
"Percaya deh, Farel tuh ngga suka sama aku," ucapku.
"Tahu darimana kalau Farel ngga suka kamu?" tanya Shella.
"Hmm ... feeling?" ucapku.
"Terserah kamu deh Kei," ucap Mia pasrah.
"Yang aku tau, dia sama Arwan yang suka Kei. Masa iya Farel juga? Ngga boleh dibiarin," pikir Nadine.
"Nadine! Kalau makan jangan bengong!" tegurku.
"Maaf ya, aku lagi mikirin kok jawaban nomor 5 aku salah terus," ucap Nadine asal.
"Tolong ngga usah bahas matematika lagi. Aku udah pusing," ucapku.
Mia dan Shella tertawa, sedangkan Nadine hanya tersenyum.
***
"Kei, hari ini ngga pulang bareng dulu ya. Aku ada latihan Bulu Tangkis," ucap Farel begitu tiba di depan Kei.
Hampir saja Kei tersedak.
"Aduh Farel, liat-liat situasi dong! Aku kan lagi minum!" ucapku kesal.
"Maaf ... soalnya aku buru-buru. Udah ya, aku latihan dulu," ucapnya dan pergi.
"Sayang sekali ya," sahut Mia.
"Mia udah dong ledek akunya," protesku.
"Habis seru tau!"
"Seru apanya!"
"Udah udah, hayu pulang," lerai Shella.
"Aku ke toilet dulu ya," ucap Mia.
"Aku ikut!" sahut Nadine menyusul Mia.
"Kita tunggu di gerbang aja yu! Kali aja cimol masih ada," ajak Shella.
"Hayu," jawabku.
Disepanjang jalan, aku dan Shella membicarakan jajanan sewaktu kami masih SD.
"Aku kangen cilung masa," ucapku.
"Ih bener cilung, terus di Sekolahku dulu ada telur gulung," balas Shella.
"Di depan komplek aku ada yang jual telur gulung! Tapi sayang pake bihun, kan dulu telur doang."
"Bener banget!"
"Shella! Cimolnya masih ada, yu beli!"
"Lho kalian lagi beli cimol?" tanya Nadine begitu sampai.
"Iya, kamu mau beli?" tawar Kei.
"Aku pengen basreng," sahut Mia.
"Jadi inget dulu basreng di depan sekolah SD," ucap Nadine nostalgia.
"Barusan kita ngomongin jajanan semasa SD," ujar Shella.
"Kamu sama Kei?" tanya Nadine.
"Emang kenapa? Ada yang aneh?" tanya Kei bingung.
"Ngga," balas Nadine.
"Kok dia inget jajanan SD? Katanya Amnesia?" ucap Nadine dalam hati.
"Oh iya! Kalian inget ngga masa-masa SD kalian? Mumpung lagi ngomongin jajanan SD, sekalian saja kita bernostalgia," ucap Mia.
"Bagus sekali Mia!" puji Nadine dalam hati.
"Aku cuma inget masa-masa bermain saja, pas lagi belajarnya ngga," ucap Shella santai.
"Sama dan aku mainnya sama temanku, namun sekarang udah ngga ada," ucap Nadine sedih.
"Kamu kuat ya Nadine," ujar Mia.
"Harus dong! Aku ngga mau buat temanku sedih," ucap Nadine.
"Kalau Kei bagaimana?" tanya Shella penasaran.
Deg!
"Tiba juga giliranku," ucapku dalam hati.
"Aku tidak ingat," akhirnya terucap.
"Pasti ada yang diinget, kaya jajanan SD!" sahut Mia.
"Sayangnya ngga sama sekali ..." ucapku pelan.
"Maksud kamu?" ucap Shella dan Mia berbarengan.
"Amnesia?" ucap Nadine santai.
Aku membelalakan mataku, ucapan Nadine tepat sekali. Lalu, aku mengangguk.
"Serius?" tanya Shella tidak percaya.
"Iya, kata ibu dulu aku kecelakaan," jelas Kei.
"Terus jajanan SD tadi?" tanya Mia masih terheran-heran.
"Diceritain Farel. Aku dan Farel teman sedari SD. Aku juga nanya bagaimana kita saat SD," ucapku.
"Terus diceritain?" kali ini Nadine yang bertanya.
"Diceritain seputar jajanan aja, karena Farel punya kenangan buruk semasa SD dan ngga mau dibahas lagi," jelasku.
"Ah bener juga, dia pernah dibully. Ngga aneh sih kalau Farel ngga mau cerita," ucap Nadine dalam hati.
"Terus masa-masa SMP kamu gimana?" tanya Shella penasaran.
"Iya, pasti inget dong. Toh kecelakaannya waktu kamu masih kecil," sambung Mia.
Deg!
Aku terdiam. Apa yang Mia ucapkan benar, namun mengapa aku tidak ingat? Masa iya aku amnesia 2 kali?
"Sudah sudah, siapa tahu Kei punya kenangan buruk semasa SMP. Jangan memaksanya ya, kasiankan kalau Kei harus mengingatnya lagi," ucap Nadine yang menyadarkanku.
"Ah iya," sahutku.
"Kalaupun lupa, pasti ada sesuatu bukan? Apa kamu tidak melewatkan sesuatu?" sambung Nadine dan aku kembali terdiam.
"Benar juga, aku di rumah sakit saat SMP dan sudah menjalani Ujian Nasional. Bodohnya aku langsung percaya perkataan ibu bahwa aku hilang ingatan sewaktu kecil. Aku harus beritahu Farel!" pikirku.
***
"Kei kei," ucapnya berlari ke arahku.
"Apa apa?" jawabku.
"Aku menemukan puisi baru, dengarkan ya."
"Iya!"
PADA SUATU HARI NANTI
Karya : Supardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
"Kok sedih gitu sih? Kan, masih banyak puisi yang ngga sedih gini."
"Tapi baguskan puisinya?"
"Dasar maniak puisi!"
Lelaki itu terkekeh mendengarkan komentarku.
***