"Dasar manusia munafik. Apa kau tidak mempercayaiku? Aku bukan tipe orang yang akan membocorkan semua hal yang sudah ditugaskan padaku. SEKARANG LEPASKAN AKU!!"
"LAGIPULA, AKU JUGA SUDAH BERJANJI PADAMU."
"Sayang sekali aku tidak mempercayai janji apapun, Nona," ucap pria itu tersenyum.
"Selama seseorang masih hidup, maka selama itu pula ia bisa saja melanggar janjinya," tambahnya lagi.
Ara berdecih mendengar penuturan pria itu. "Kau tidak hanya melanggar kesepakatan tapi juga sudah memperlakukanku seperti ini. APAKAH SEPERTI INI WAJAH ASLI DARI TUAN WALIKOTA YANG TERHORMAT?"
Pria itu terkekeh.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Ara dengan napas memburu.
"Nyawamu, Nona."
Seketika Ara mematung di tempat, namun hanya beberapa detik, tawa lirih terdengar dari sela bibirnya.
"Bunuh," ucap sang Walikota kepada pria yang berada di sebelah Ara.
Detik berikutnya, suara tembakan menggema mengisi seluruh ruangan pada bangunan itu.
Ara terkulai, darah menetes dari luka tembakan di kepalanya. Gadis itu bahkan belum sempat memberikan respon dan nyawanya sudah hilang.
Padahal baru beberapa jam yang lalu ia menghabisi nyawa seseorang, dan kini sudah mendapatkan nasib yang serupa, tidak, tetapi bahkan lebih tragis. Gadis itu menjadi korban pengkhianatan sekaligus pembunuhan.
***
Di sebuah tanah lapang yang sangat luas, hanya dipenuhi dengan rumput liar dan pepohonan kering. Segerombolan orang nampak berjalan, membelah gurun pasir di tengah teriknya matahari.
Lima gerbong yang ditutupi oleh kain usang, tidak, namun lebih seperti sebuah kandang yang terbuat dari kayu, nampak di papah oleh beberapa orang, berjalan memanjang seperti sebuah kereta. Pada masing-masing sisi kiri dan kanan terdapat beberapa prajurit kerajaan yang memakai pakaian yang sama.
"CEPAT!"
"JANGAN MALAS-MALASAN, CEPAT JALAN!"
CTARRR!
Suara teriakan disertai cambukan terdengar mengisi sepanjang perjalanan.
"Ibu, aku takut," ucap seorang anak pada wanita paruh baya yang ada di sebelahnya. Mereka adalah salah satu budak wanita yang berada di dalam gerbong.
"Tutup telingamu, Sayang. Ibu akan tetap berada di dekatmu."
Sayup-sayup terdengar suara keributan, membuat seorang gadis yang sejak kemarin belum sadarkan diri kini perlahan mengerjap-ngerjapkan matanya. Lenguhan khas bangun tidur terdengar lolos dari bibirnya. Kepalanya terasa berat, tenggorkannya begitu kering.
"Kau sudah sadar?"
Merasa seseorang mengajaknya berbicara, gadis itu menoleh ke samping, dari pandangannya yang awalnya mengabur perlahan menjadi jelas.
"Dimana ini?" kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.
"Kau makan ini dulu," ucap anak perempuan itu, melihat dari wajahnya, sepertinya baru berusia belasan tahun.
"Kau siapa?"
"Makanlah dulu dan pulihkan energimu," ucap anak tersebut.
Gadis itu menatap sebuah roti yang terbungkus kain usang yang di sodorkan kepadanya. Keningnya berkerut. Apakah roti itu pantas disebut makanan?
"Aku haus," ucap gadis itu.
Segera anak perempuan itu mengambil sebuah botol kecil yang ia sembunyikan dari balik bajunya lalu memberikannya kepada gadis yang baru saja terbangun di hadapannya.
"Terima kasih."
"Rania, apa yang kau lakukan? Pedulikan dirimu sendiri," ucap seorang wanita paruh baya itu.
"Kakak tertua, aku hanya memberikan sedikit pertolongan padanya, sejak kemarin ia tidak pernah bangun dan makan," kata Rania.
"Menolong? Hah, memangnya kau siapa? Kita bahkan tidak tahu apakah kita masih akan hidup hingga malam tiba," ucap wanita paruh baya itu.
Sementara di sisi lain, gadis yang baru saja sadarkan diri kini bersandar pada gerbong. Menarik napas dalam-dalam, sembari memejamkan matanya, mencoba untuk merilekskan perasaannya.
Ingatannya masih sangat jelas ketika ia dirantai pada sebuah gedung tua, dikelilingi oleh beberapa pria, termasuk sang walikota.
Gadis itu adalah Ara.
Mendadak tubuhnya menegang, meraba tengkuk dan seluruh bagian kepalanya. Mencari luka tembakan yang mungkin saja pelurunya masih bersarang di sana, hanya saja usahanya sia-sia. Ia tidak menemukan luka apapun di kepalanya, namun sebagai gantinya ia menemukan sebuah luka cambuk yang memerah, nampak memanjang pada lengannya. Bahkan pakaian yang dikenakannya saat ini sangat aneh.
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
'Tempat apa ini?' batin Ara, sejauh matanya memandang yang ia lihat hanyalah wanita, dari segala usia, mulai anak-anak hingga yang sudah sangat tua sekalipun. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk, seolah sudah tidak memiliki semangat hidup sama sekali.
Merasakan gerbong yang ditempatinya terus bergerak, kening ara berkerut. Tangannya kemudian terulur, nampak berusaha membuka kain usang yang menjadi penghalang pandangannya dengan dunia luar.
"Apa yang kau lakukan?" tiba-tiba seseorang wanita menahan tangannya. Membuat Ara tersentak kaget.
"Jangan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan kami semua gadis kecil," ucapnya lagi.
"Bisa hidup sampai sekarang saja sudah bagus. Sebaiknya kau diam dan jangan melakukan yang tidak-tidak."
Mendengar wanita di sebelahnya, kening ara berkerut. Jujur saja, ia sama sekali tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Bagaimana bisa ia yang sebelumnya terkurung pada sebuah gedung tua bisa berakhir di tempat ini, belum lagi berkumpul bersama dengan banyaknya wanita yang kesemuanya memiliki penampilan layaknya pengemis.
Namun, kebingungannya tidak berlangsung lama, dan sebuah ingatan-ingatan asing menghantam kepalanya membuat pandangannya berputar, disusul perasaan mual yang benar-benar membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rania ketika melihat raut wajah Ara berubah pucat.
Gadis itu tidak menjawab, dan tenggelam lebih dalam pada ingatan seorang gadis yang jelas-jelas bukan miliknya.
Hingga beberapa puluh menit berlalu, Ara baru mendapatkan kembali fokusnya, gadis itu nampak tertegun mencoba mencerna segala hal yang terjadi dalam dirinya.
Jadi namanya adalah Xiao Ara, seorang pelayan tingkat tiga di kediaman salah seorang pejabat inti kerajaan Qin.
Sebuah kerajaan dimana wanita tidak memilliki kebebasan sedikitpun, sebuah kerajaan dimana wanita senantiasa diperlakukan seenaknya. Sebuah kerajaan dimana wanita selalu dipandang rendah dan remeh, sebuah kerajaan dimana wanita tidak memiliki hak bersuara, sebuah kerajaan dimana nyawa seorang wanita tidak berharga sedikitpun. Menjadi budak seks dan kemudian dibunuh adalah hal lumrah yang terjadi di kerajaan tersebut. Kecuali wanita berdarah bangsawan.
Dan lagi, kehidupan seseorang bergantung pada siapa yang paling kuat dan paling berkuasa.
'Apakah itu artinya, setelah pengkhianatan itu, jiwaku telah menembus ruang dan waktu hingga bisa mencapai tempat ini?'
'Tapi kenapa aku malah menempati tubuh seorang pelayan?' batin Ara sembari menghela napas kasar. Dari banyaknya manusia di kerajaan ini, kenapa ia malah menempati tubuh seorang budak wanita yang lemah? Hal ini benar-benar membuatnya sangat frustasi. Meski demikian, ia masih bersyukur karena telah diberikan kesempatan hidup sekali lagi.
"Kau baik-baik saja?" suara gadis kecil yang duduk di sebelahnya memecah fokus Ara.
Ia menoleh lalu mengangguk samar sembari menyunggingkan senyum.
"Terima kasih airnya," ucap Ara kepada gadis kecil yang ia ketahui namanya adalah Rania. Tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, gerbong yang mereka tempati tiba-tiba berhenti.
Seorang prajurit menyibak kain dan membuka pintu gerbong. Meminta semua wanita untuk turun dengan cepat sembari memegangi cambuk.
Ara melongo, nampak bingung. Ternyata bukan hanya satu gerbong, namun ada lima gerbong dan kesemuanya berisi wanita dari segala usia. Mereka semua diturunkan tepat di tengah-tengah sebuah lapangan berburu.
Tetapi bukan itu yang mengejutkannya. Melainkan sepuluh kandang besar berisi srigala yang nampak siap memangsa mereka kapan saja.