Citra menatap Satya dan agak tidak puas dengan reaksinya yang tanpa ekspresi, tapi ketidakpuasan itu melahirkan sedikit kecemasan di benak Citra.
"Apakah gaun pengantin ini jelek?" celetuk Citra. "Tidak," jawab Satya seolah-olah ingin memberikan sedikit reaksi, padahal sebenarnya dia sangat terpukau dengan penampilan Citra. Dia menambahkan dengan suara rendah, "Sangat indah, nona."
Citra mengira sikap Satya sedikit dibuat-buat. Dia tampak murung, "Sangat indah? Tapi aku rasa kamu tidak menyukainya. Kamu bilang ini bagus, tapi reaksi apa yang kamu buat itu?"
Pria itu segera menyingkirkan majalah yang ada di tangannya, lalu bangkit dari sofa, suaranya yang rendah mengucapkan dua kata, "Bagus, nona." Dia berjalan menghampiri Citra. Para pelayan di sampingnya tanpa sadar bergeser ke samping.
Tangan pria itu meraih bahu Citra, membalikkan tubuhnya sembilan puluh derajat hingga menghadap cermin besar di dekat kamar pas. Citra melihat dirinya di cermin. Dia merasa bahwa Satya tidak berbohong, gaunnya memang sangat cantik. Melihat pantulan dirinya yang cantik di cermin, Citra memiliki kebanggaan tersendiri. Tapi apa gunanya menjadi cantik dan seksi jika orang yang kita sukai tetap tidak menyukai kita? Bahkan jika kita menjadi wanita paling cantik di dunia, orang itu tetap tidak menyukai kita.
Rambut Citra yang terurai hingga mengenai lehernya tiba-tiba terangkat, dan Citra tercengang. Kemudian, dia mendongak dan melihat pria yang berdiri di belakangnya sedang mencoba menyingkirkan rambut panjangnya dengan jari-jarinya, lalu berkata, "Anda harus memotong rambut Anda, nona. Atau Anda bisa menguncirnya seperti ini."
Napas Satya menerpa bagian leher Citra dan terasa hingga ke kulitnya. Citra merasakan ada getaran di bagian itu. Dia ingin menghindar dari Satya, tapi dia tetap menahan dirinya. Dia memutuskan untuk bertanya dengan sedikit gagap, "T-tapi… M-mengapa?"
Satya melepaskan rambut Citra dari jari-jarinya, membiarkannya terurai seperti air terjun. Pria itu menjawab dengan santai, "Leher nona sangat indah, sayang jika tertutup oleh rambut."
Pelayan di samping yang mendengar jawaban Satya tersenyum, "Memang leher Nona Citra sangat cantik dan bersih, akan sangat bagus jika terlihat. Saat hari pernikahan, biarkan penata rambut mengikat semua rambut nona."
Citra memandang pantulan dirinya dan Satya di cermin, dan kemudian tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata Satya. Suara Satya terasa sangat dekat dengan telinganya, "Jika nona tidak bahagia, maka nona tidak perlu menikah." Citra menjawab, "Apakah menurutmu aku tidak perlu menikah?"
Citra menatap Satya melalui cermin. Pria itu melanjutkan perkataannya, "Tentu saja nona harus menikah, dengan syarat, nona harus yakin bahwa Tuan Miko memang pilihan yang baik di antara pria lain. Tapi, nona juga harus ingat bahwa dia tidak menyukai nona. Lagipula ada begitu banyak pria di luar sana yang mungkin lebih baik daripada Tuan Miko."
Citra tiba-tiba tersenyum, "Kamu benar, ada begitu banyak pria di luar sana, tetapi tidak semua dari mereka layak untuk dinikahi." Setelah itu, dia berjalan kembali ke kamar pas, "Gaun ini sangat indah dan pas di tubuhku. Aku rasa tidak perlu ada perubahan lagi." Pelayan di sebelahnya sedikit terkejut, dan bertanya dengan hati-hati, "Apa nona yakin? Apa nona tidak punya komentar apa pun? Masih ada waktu sekitar satu bulan, jika nona ingin membuat perubahan kecil, itu tidak masalah." Citra menolak dengan halus, "Tidak. Tidak perlu."
Usai mengganti pakaiannya, Citra mengambil tas yang dia titipkan pada pelayan toko dan berjalan keluar pintu dengan sepatu hak tingginya. Dia menghampiri Satya, "Semua sudah beres. Ayo pulang!"
Mereka pun masuk ke Ferrari milik Citra. Satya menyalakan mesin, "Langsung kembali ke apartemen Anda?" Citra tidak setuju, "Kita makan siang di luar dulu, lalu aku bisa pulang dan tidur." Satya melirik Citra lagi, "Apakah nona tidak akan keluar nanti malam?"
Citra menjawab dengan panjang lebar, "Tidak. Tenang saja, aku akan meneleponmu jika ada yang harus kulakukan. Jika tidak, kamu bisa berlibur setelah mengantarku pulang nanti. Kamu bisa pergi dengan tunanganmu, tapi apakah kamu benar-benar punya tunangan?"
"Ya," jawab Satya tanpa menoleh ke arah Citra. "Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya? Dan menurutku kamu tidak menghabiskan banyak waktu untuk menemaninya," ucap Citra berusaha menguak lebih dalam tentang Satya dan tunangannya.
Satya berkata dengan pelan, "Dia tinggal di sebelah rumah saya. Dia menyelamatkan saya ketika kami masih kecil, dan dia menjadi tunangan ketika kami besar. Kita sudah berjanji untuk menikah ketika dia lulus."
Ah, tentu saja! Cinta masa kecil. Batin Citra.
"Apakah dia kuliah?" tanya Citra penasaran. "Tahun terakhir," jawab Satya. "Oh, begitu. Apakah dia cantik?" tanya Citra lagi.
Satya tidak berbicara untuk beberapa saat, "Begitulah." Citra memutar matanya, "Apa yang kamu maksud dengan begitulah? Kamu sudah pernah bertemu banyak wanita seumur hidupmu, apa kamu tidak bisa mendeskripsikan tunanganmu sendiri?" Satya berpikir sejenak, "Tidak karena saya tidak pernah tertarik untuk memiliki hubungan dengan wanita."
Kini Citra yang terdiam. Suasana menjadi hening.
_____
Apartemen Citra.
Saat malam hari, Citra sendirian di rumah. Dia sedang duduk di atas karpet di kamar tidur, dengan punggung bersandar di tepi tempat tidur. Dia melihat ke bawah ke arah buku. Seluruh ruangan di apartemennya begitu sunyi sehingga hanya ada suara napas dan tangannya yang membolak-balik buku. Tiba-tiba, ada notifikasi e-mail masuk dari ponselnya. Dia mengulurkan tangan dan memeriksanya.
Setelah membaca isi e-mail dengan jelas, matanya tiba-tiba menyipit.
Tanpa ragu-ragu, dia menghubungi Satya, "Kamu mengirimiku e-mail?"
"Ya," jawab suara di seberang. "Datang dan jemput aku sekarang," perintah Citra. Satya yang patuh hanya menjawab, "Baik, nona."
Setengah jam kemudian, Satya tiba di apartemen Citra. Setelah Citra masuk ke dalam mobil, mereka segera menuju ke suatu tempat. Tak lama kemudian, mereka tiba di tempat yang dimaksud.
Citra melihat keluar jendela mobil dan berkata dengan suara dingin, "Yulia sepertinya tidak pernah bekerja sebelum menikahi Yudha, jadi dia berkata dia berasal dari keluarga yang biasa saja. Tampaknya keluarganya bukan biasa saja, tapi miskin. Bagaimana mungkin dia mampu untuk tinggal di apartemen kelas atas seperti ini?"
Setelah hening beberapa saat, Satya menjawab, "Ini adalah apartemen atas nama Tuan Miko." Citra tiba-tiba menggigit bibirnya karena merasa kesal. Dia tersenyum kecut, "Miko sudah berbuat sejauh ini, tapi dia tidak pernah berniat untuk membatalkan pernikahannya denganku."
Citra juga berpikir jika perceraian Yulia dan Yudha akan membuat Miko membatalkan pernikahan mereka. Dia merasa bahwa Miko benar-benar tidak bisa melepas cinta sejatinya itu.
Satya melihat wajah Citra yang suram, dan bertanya dengan hati-hati, "Anda mau turun dan melihat-lihat?"
"Tidak, kita pulang saja," jawab Citra, matanya menatap tajam ke arah apartemen Yulia.
Ayah Citra adalah seorang walikota. Dia tentu saja mengenal banyak orang di semua tingkat pemerintahan, dan orang-orang itu pasti memperlakukan Citra sebagai putri walikota. Masalah tentang Miko dan Yulia tidak ada apa-apanya. Citra juga seorang bintang besar, dan dia memiliki banyak kenalan wartawan dari berbagai media.
Satya bertanya memastikan, "Anda akan membiarkan semuanya tahu kalau Tuan Miko dan Nona Yulia memiliki hubungan yang sangat dekat? Nona, apakah Anda tidak akan menikah dengan Tuan Miko?"
Ekspresi wajah Citra sedikit kaget mendengar pertanyaan Satya, lalu dia terdiam. Setelah sekian lama, dia bertanya lagi, "Terakhir kali saat Yudha menyamar sebagai sopir dan menjemputku di bar, apakah kamu sudah memeriksanya?"
Satya menjawab dengan tegas, "Sudah. Tuan Miko mungkin tidak mengetahui tentang hal itu.�� Satya terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, "Saya memeriksa kamera pengawas. Setelah nona menelepon Tuan Miko malam itu untuk minta dijemput, dia meninggalkan kamar Nona Yulia untuk menjemputmu. Kemudian, Yudha memanfaatkannya untuk masuk ke kamar Nona Yulia. Karena ada perawat yang memberitahu Tuan Miko, akhirnya dia kembali ke kamar Nona Yulia untuk mengusir Yudha."