Citra berjongkok di sana untuk waktu yang lama dan kakinya mati rasa. Di saat yang sama, sesosok pria tinggi datang untuk menyelimuti dirinya. Dia melihat dua kaki ramping dan lurus di hadapannya. Dia mendongak dan menemukan bahwa itu adalah wajah tampan dan kesepian Satya. Pria itu memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya. Dia menunduk untuk menatap Citra.
Melihat kehadiran Satya, Citra tiba-tiba merasa malu karena berjongkok di sana. Dia ingin berdiri, tetapi karena kakinya mati rasa, dia terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Untungnya, Satya meraih pinggangnya dengan sigap. Lalu suara rendah Satya terdengar di telinganya, "Apakah Anda membutuhkan saya untuk menggendong Anda ke atas?"
Citra memegang lengannya, dan berkata, "Kamu bisa membantuku duduk di bangku di sana sebentar. Tuntun aku ke sana perlahan." Saat Citra mengatakannya, dia menggerakkan kakinya perlahan. Satya menundukkan kepalanya dan melirik gerakan pelan Citra. Dia masih mengulurkan tangannya untuk membantunya berjalan ke sebuah bangku.
Citra menatap wajahnya yang tampan dan dingin, dan bertanya-tanya apakah Satya benar-benar pengawalnya. Bukankah jarak mereka saat ini terlalu dekat? Tapi, sepertinya itu tidak masalah karena Citra tidak bisa berjalan tanpa bantuan Satya. Pria itu menempatkan Citra di bangku dengan sangat hati-hati. Citra menatapnya, "Kamu tiba-tiba ke sini. Apakah kamu ingin memberitahuku sesuatu?"
Bangku itu berada di bawah pohon beringin yang sudah berusia seabad, dan karena matahari sudah terbenam, kini hanya ada cahaya temaram dari lampu yang menembus melalui dedaunan.
Satya ternyata juga melihat mobil Lamborghini milik Miko yang baru saja pergi, dan bertanya, "Apakah kalian sudah berdamai?" Citra menundukkan kepalanya lagi dan memijat kakinya, "Ya, dia datang kepadaku untuk mengatakan bahwa pernikahan kita akan dipercepat."
Setelah hening beberapa saat, suara lirih pria itu seakan dikelilingi oleh seribu tanda tanya, "Apakah nona menyetujui pernikahan diadakan lebih awal?"
Citra menjawab singkat, "Aku setuju." Satya bergumam pelan, sebuah senyum simpul muncul di wajahnya, "Sepertinya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku lebih awal."
Begitu Citra dan Miko menikah kelak, maka Satya tidak akan lagi menjadi pengawal pribadi Citra. Memikirkan hal itu, Satya mengerutkan keningnya karena sedikit sedih, tetapi dia tidak mengungkapkan apa pun.
Citra bertanya lagi padanya, "Apakah ada masalah hingga kamu datang ke sini?" Satya menjawab dengan nada datar, "Tidak ada."
"Miko mengatakan kalau Yulia akan tetap tinggal di apartemen yang disewa atas namanya, dan aku menyetujuinya," ungkap Citra. Satya bertanya memastikan, " Anda percaya pada mereka berdua?" Citra menjawab dengan tulus, "Ya, aku percaya pada Miko. Aku rasa dia tidak berbohong padaku."
Kesemutan di kaki Citra hampir hilang. Kemudian, dia berdiri, "Aku akan kembali untuk makan, dan jika tidak ada apa-apa lagi, kamu bisa kembali." Setelah berkata seperti itu, Citra berbalik.
Satya mencegahnya, "Nona." Citra menoleh untuk menatapnya, "Apa lagi?" Mata pria itu dalam dan tenang, dan dia bertanya dengan suara rendah, "Saya tidak akan hadir pada hari pernikahan Anda. Apakah Anda membutuhkan obat perangsang yang bagus untuk malam pengantin nanti?"
Citra menatap mata Satya, tanpa bergerak. Satya menundukkan kepalanya sedikit, nada suaranya tidak berubah, "Jika Anda membutuhkannya, saya akan menemui Anda lagi. Jika tidak, saya akan pergi dulu sekarang."
_____
Keesokan paginya, Citra belum selesai bersiap-siap, tapi Miko sudah tiba. Citra pergi bersamanya setelah memoleskan riasan sederhana ke wajah cantiknya.
Saat di parkiran mobil, Miko membukakan pintu di samping pengemudi untuknya. Citra tersenyum dan berkata, "Bukankah aku sudah bilang aku akan menemuimu di bawah?" Pria itu tersenyum tipis, "Itu yang kamu katakan kemarin, tapi kamu tidak mengatakan bahwa aku harus menunggu, jadi aku menjemputmu ke atas."
Citra menundukkan kepalanya untuk memasang sabuk pengamannya dan memandang pria di sampingnya, "Kamu akan membawaku ke mana?" Miko sudah menyalakan mobil, "Kita akan pergi untuk melihat rumah baru." Citra terkejut, "Rumah baru?"
Pria itu melirik ke arah Citra, "Setelah menikah, apakah kamu tidak berencana untuk pindah dan tinggal bersamaku berdua saja?" Citra menjawab seadanya, "Oh, tentu saja."
Miko yang memegang kemudi dengan kedua tangannya dan melihat ke depan tiba-tiba bertanya, "Apakah karena aku belum pernah menciummu sebelumnya, jadi kamu merasa tidak nyaman kemarin?" Tangan Citra di tas perlahan-lahan mengepal karena tidak menduga Miko akan bertanya seperti itu. Dia menjawab sebisanya, "Mungkin begitu."
Rumah baru yang dimaksud Miko terletak di sebuah perumahan. Lokasi dan lingkungannya sangat strategis. Luas rumahnya tidak terlalu besar, tetapi lebih dari cukup untuk pengantin baru.
Saat berdiri di atas rumput di taman di rumah barunya, Citra melipat tangannya dan berkata dengan ekspresi lucu, "Aku ingin memelihara anjing dan seekor kucing. Miko, apakah kamu suka hewan peliharaan?"
Miko memandangi wajah Citra yang tersenyum, dan menjawab, "Aku suka. Kamu bisa memelihara beberapa jika kamu mau." Citra tersenyum puas, "Kalau begitu, setelah kita kembali dari Eropa nanti, aku akan pergi ke tempat penampungan hewan untuk mengadopsi beberapa anjing dan kucing." Miko menatapnya dengan senyum tulus dan menawan, "Oke."
Pada saat ini, Miko berpikir apakah dia bisa hidup dengan wanita seperti Citra. Bahkan dia harus tinggal seumur hidup dengan gadis itu, gadis yang bukan cintanya. Hanya tinggal satu minggu lagi sebelum pernikahan mereka.
Sejak saat itu, Miko selalu menunjukkan perhatiannya pada Citra. Setelah melihat rumah baru, dia mengundang Citra untuk makan malam setiap hari di rumahnya atau di restoran. Dia juga menemaninya ke mal, membeli pakaian, tas, dan perhiasan. Tidak peduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk Citra, Miko menggesek kartu kreditnya tanpa berkedip.
Miko bahkan membeli seikat besar mawar merah di pagi hari ketika dia mengambil cincin kawin bersama Citra. Citra sedang memegang bunga itu, wajahnya yang putih dan halus tampak memerah di antara warna-warna cerah mawar di tangannya. Dia tersenyum, "Terima kasih." Miko jarang melihat Citra sebahagia itu. Jantungnya berdegup kencang, dan dia menundukkan kepalanya, "Apakah tidak ada hadiah untukku?"
Citra terkejut. Dia masih memegangi bunga itu, lalu berjinjit dan dengan lembut mencium pipi Miko. Kemudian, dia mundur dua langkah dan tersenyum, "Tunggu sebentar, aku akan meletakkan bunganya di vas, lalu aku akan mengambil tas dan kita bisa segera berangkat."
Citra berlari kembali ke ruang tamu dengan cepat. Miko menatap punggungnya, dengan lekukan senyum di bibirnya tanpa sadar. Citra menemukan vas dan dengan hati-hati memasukkan mawar ke dalamnya.
Ponsel di saku pria itu tiba-tiba berdering. Dia mengerutkan kening, mengeluarkan ponselnya dan melihat layar. Dia berjalan menuju balkon dengan menyelipkan jarinya, "Ada apa?"
Suara panik asisten yang dikirim Miko untuk menjaga Yulia itu terdengar di telepon, "Tuan, kami baru saja mendapat berita tentang Nona Yulia. Yudha baru saja menelepon kami, dan dia berkata Nona Yulia mencoba bunuh diri."
Mata Miko menjadi gelap setelah mendengar perkataan asistennya itu. Dia berkata dengan keras, "Bunuh diri? Apa itu semua karena ibuku? Bukankah ibuku mengatakan bahwa selama aku menikah dengan Citra, dia berjanji untuk tidak akan mengganggu Yulia?"
Asisten itu berkata dengan ragu-ragu, "Sepertinya, Nyonya Melinda sengaja mengunci Nona Yulia dan Yudha di sebuah ruangan. Nona Yulia bereaksi keras dan dia nekat untuk memotong pergelangan tangannya dengan pisau dapur."