Miko terkejut bukan main. Yulia memotong pergelangan tangannya? Apa yang dipikirkan gadis itu? Kini Miko masih memegang ponsel di tangannya. Dia hampir meremas ponsel itu karena perasaan yang campur aduk, "Segera kirim dia ke Rumah Sakit Harapan Kita, dan aku akan segera pergi ke sana."
"Tuan, Yudha sudah memanggil ambulans dan mereka akan segera tiba sebentar lagi," ujar sang asisten.
Miko mengembalikan ponselnya ke saku dengan kasar. Dia kembali ke ruang tamu. Di sana, Citra sudah memasukkan mawar, dan begitu dia mendongak, dia melihat wajah tampan Miko tampak sangat cemas. Dia menghampiri Miko, "Apa yang terjadi?"
Alis pria itu berkerut dalam. Dia berusaha menutupi kecemasannya, suaranya rendah dan parau, "Perusahaan sedang mengalami masalah, aku harus pergi mengatasinya." Miko menutup matanya, "Aku tidak bisa menemanimu melihat cincin kawin kita hari ini." Citra menghela napas panjang, "Tidak apa-apa, perusahaan lebih penting, pergilah."
Miko mengangguk asal-asalan, lalu dengan cepat berbalik dan keluar dari apartemen Citra. Kini di apartemen besar miliknya, Citra ditinggalkan sendirian. Setelah sekian lama tidak ada suara, dia mengangkat tangannya dan menyentuh mawar merah cerah dengan tetesan air di ujungnya.
____
Saat malam hari, Citra menelepon Miko, tapi tidak ada jawaban darinya. Dia duduk di sofa yang ada di balkon, menyaksikan matahari terbenam di peraduannya sambil berpikir. Dia mengambil ponsel untuk memesan makanan melalui aplikasi ojek online, lalu bangkit dan kembali ke dalam kamarnya.
Keesokan paginya, Citra menerima telepon aneh. Dia mengangkatnya sambil minum teh, "Siapa?"
"Ini Citra, bukan?" tanya seseorang di ujung sana. Itu adalah suara seorang wanita muda yang sedikit arogan.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku ini Citra? Kenapa kamu meneleponku?" tanya Citra penasaran. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," jawab sang wanita di telepon. Citra tidak menghiraukannya, "Jawab aku dulu. Kamu siapa?"
Wanita di telepon berhenti sejenak dan berkata, "Aku teman Miko, dan aku sedang ada di kafe di sebelah apartemenmu. Turunlah, aku tunggu." Citra menggigit bibirnya, "Aku belum pernah melihatmu, apalagi mengenalmu. Jika kamu mengatakan kamu adalah teman Miko, lalu aku harus percaya?" Wanita itu menjawab lagi dengan sedikit cibiran, "Namaku Susan, apa kamu belum pernah mendengar namaku?"
Susan? Tanya Citra dalam hati.
Citra mengenalnya. Susan adalah teman Miko dan Yulia. Setelah Yulia pergi ke Amerika Serikat, Susan juga pergi belajar di Irlandia tidak lama kemudian.
"Kamu bilang kamu sedang ada di kafe? Oke, aku akan turun," pungkas Citra sambil beranjak pergi.
Lima belas menit kemudian, Citra sudah tiba di kafe yang dimaksud Susan. Citra dengan tenang memesan kopi, lalu menatap wanita di seberangnya, "Ada apa?"
Susan seumuran dengan Miko dan Yulia, tapi dia tampak beberapa tahun lebih tua dan terlihat jauh lebih dewasa, terutama ketika dia diam seperti sekarang. Bibir merahnya tebal, memancarkan kecantikan yang seksi.
Citra tidak pernah merias dirinya kecuali dia akan tampil di depan media. Pakaiannya saat ini sangat sederhana. Bibir pucatnya dipenuhi dengan rasa gugup karena orang di seberangnya tidak kunjung menjawab.
Susan menatapnya, "Aku di sini hari ini berharap kamu dapat membatalkan rencana pernikahanmu dengan Miko." Citra membelalakkan matanya, "A-apa kamu bilang? Kamu berharap aku membatalkan pernikahanku dengan Miko?"
"Kamu seharusnya sudah tahu bahwa hati Miko hanya untuk Yulia," ucap Susan tanpa basa-basi. Citra sedikit mengerucutkan bibirnya, "Itu adalah keputusan Miko sendiri untuk menikah denganku, bukan karena aku memaksanya."
Susan memandang gadis muda di depannya, dan menemukan bahwa Citra tidak dapat memahami pikirannya. Tiba-tiba, dia menatap lurus ke arah Citra, "Apa kamu tahu kenapa Miko ingin menikah denganmu lebih awal?"
Citra berhenti sejenak, mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban dari Susan. Susan berkata, "Karena ibu Miko akan mengurung Yulia dan mengancamnya. Jika Miko tidak menikahimu, dia akan mengirim Yulia ke tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh Miko, sehingga Yulia akan menderita."
Citra tidak berkata apa-apa. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Susan bertanya lagi, "Apakah kamu bertemu dengan Miko hari ini?"
Citra tetap diam.
Karena tidak ada jawaban, Susan melanjutkan, "Karena Yulia melakukan percobaan bunuh diri, Miko menjaganya di rumah sakit sepanjang hari. Kamu tahu? Ibu Miko memaksa Yulia dengan suami bajingannya itu dan memberikan mereka obat perangsang agar mereka mau melakukan hubungan suami istri."
Susan melihat Citra tersenyum, seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang konyol. "Citra, apa maksudmu?" tanya Susan yang bingung dengan reaksi Citra.
Citra berkata, "Ini tidak ada artinya bagiku. Aku hanya berpikir kenapa Yulia sampai seperti itu untuk menolak berhubungan dengan suaminya sendiri hingga dia ingin bunuh diri. Apa dia sedang menjaga kesuciannya untuk Miko?"
Mendengar jawaban Citra, wajah Susan berubah, "Citra, kamu…" Citra memotongnya, "Susan, sepertinya kamu sudah memiliki gelar doktor, jadi untuk apa menghiraukan masalah seperti ini? Ini hanya tentang cinta sejati Yulia pada Miko yang tidak dapat terwujud. Bukan aku yang memisahkan mereka, tapi ibu Miko. Itu semua karena kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Meskipun aku membatalkan pernikahannya, kamu pikir Yulia bisa bersama dengan Miko?"
Jari-jari cantik Citra memainkan liontin di dompet, "Atau, kamu berharap Yulia akan mengalahkanku, dan menggantikan posisiku untuk menjadi istri Miko? Sepertinya itu sangat mustahil."
Susan tidak tahan lagi melihat kelakuan Citra. Awalnya dia mengira bahwa Citra adalah gadis yang ceria dan lugu, jadi dia tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata pedas dari seorang Citra Matasak.
Citra tersenyum tipis, "Sepertinya kamu sedang tidak ingin minum kopi bersamaku. Kopinya sudah dingin, tapi kamu tidak menyentuhnya sama sekali." Setelah itu, Citra mengambil beberapa lembar uang dari dompet dan menaruhnya di atas meja, lalu bangkit dan pergi.
____
Malam semakin gelap, Citra masih berjalan melintasi trotoar, mengamati kerumunan dan mobil yang lewat tanpa ekspresi di wajahnya. Ternyata Miko sedang menjaga Yulia sepanjang hari ini, bukan mengurus masalah di perusahaannya. Dia seharusnya merasa beruntung karena Miko masih mau menikahinya, tapi kenapa semua harus rumit seperti ini? Haruskah Citra mengasihani dirinya sendiri?
Tiba-tiba, Citra menghentikan taksi. Dia membungkuk dan masuk ke dalam mobil, "Ke Bar Castillo, pak."
Setelah menutup pintu taksi, Citra menelepon seseorang, "Ayo keluar dan minum denganku di Bar Castillo."
Wanita di telepon bertanya, "Ada apa denganmu?"
Citra menjawab, "Suasana hatiku sedang buruk."
"Ya sudah, sampai jumpa di bar," jawab wanita di telepon sambil memutuskan panggilan.
Citra menyingkirkan ponselnya, dan menarik napas dalam-dalam, lalu berusaha menenangkan dirinya. Pada akhirnya, dia mengerutkan kening dan menyentuh perutnya, teringat bahwa dia belum makan malam.
Ketika tiba di Bar Castillo, Citra masuk dan melihat bahwa bar itu lebih ramai dari biasanya. Saat Citra hendak menuju ke ruangan pribadi yang telah dia pesan dan berdiri di depan pintu lift, dia ditarik oleh Bening, sahabatnya, dengan sedikit mabuk.
Citra menatap wajah kecil Bening yang memerah karena gembira, "Mengapa wajahmu seperti itu? Kamu habis minum obat perangsang?" Bening tidak menghiraukannya, "Apakah kamu tahu siapa yang ada di sini hari ini?"
"Siapa?" tanya Citra.
"Arya!" seru Bening.
Citra mengulurkan tangannya dan menangkup wajah Bening, "Apakah kamu menyukai pria seperti dia?"