Citra menggelengkan kepalanya dan tertawa, "Aku pikir biar bagaimanapun juga, ketika Yulia pergi, kamu pasti akan tersiksa."
Ketika Citra pertama kali mengejar Miko, itu adalah masa-masa paling buruk dalam hidup Miko. Saat itu Miko dan Yulia baru saja dipisahkan oleh ibu Miko secara paksa. Miko bahkan kecanduan alkohol dan temperamennya sangat sulit dikendalikan.
Miko berkata dengan nada datar, "Tapi aku bisa berjanji padamu bahwa kamu tidak akan bersamanya setelah menikah, dan tidak akan ada wanita lain. Kamu tidak perlu khawatir tentang ini."
"Tapi kamu masih tidak memberitahuku mengapa kamu terburu-buru, dan pernikahan kita harus dipercepat," ujar Citra masih berusaha mencari tahu jawabannya.
Miko menatap Citra secara intens, dan setelah diam selama hampir sepuluh menit, bibirnya bergerak, dan dia berkata, "Ketika kita menikah, tidak ada yang akan berubah."
Tidak ada yang berubah artinya? Tanya Citra pada dirinya sendiri.
Citra memandangi wajahnya yang tampan dan lembut. Sebenarnya dia sedikit terguncang sekarang. Dia mengangguk, "Aku menerima alasan ini. Lagipula, aku tidak akan memberi wanita lain kesempatan untuk mengambil tunanganku." Lalu, dia tersenyum, "Kalau begitu, bisakah Yulia pindah dari apartemen yang kamu sewa atas namamu? Kalau tidak, paparazzi menangkapnya, dan skandalmu akan menjadi berita panas lagi di media."
Alis Miko berkerut, perubahan auranya yang tiba-tiba bahkan membuat seluruh ruang tamu di apartemen Citra terasa penuh sesak. Untuk sesaat, Citra mengira dia akan sangat marah, tapi Miko tidak melakukannya. Suaranya rendah dan dalam, "Apartemen itu memang atas namaku, tapi sudah lama kosong. Yulia tidak punya tempat tinggal, jadi aku biarkan dia tinggal di sana untuk sementara." Mata pria itu masih menatap Citra, "Aku tidak tidur di sana. Aku memang pernah bermalam di sana, tapi aku tidak melakukan apa pun yang seharusnya tidak aku lakukan, jadi biarkan dia tinggal di sana."
Citra menyunggingkan senyum di bibirnya, "Aku percaya padamu." Mata besar pria itu bergerak sedikit, dan dia bertanya dengan senyum samar, "Kamu benar-benar percaya padaku?" Citra menjawab sambil memegang tangan Miko, "Aku memilih untuk percaya padamu."
Matahari yang siap terbenam di saat senja menembus kaca jendela apartemen Citra yang kini tirainya sudah tertutup. Warna jingga dari pantulan cahaya matahari itu mengenai tubuhnya, seperti lingkaran cahaya lensa film, berkilau dan indah.
Miko menatapnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar entah kenapa. Dia kemudian bangkit dari sofa, berjalan ke arahnya, dan meletakkan tangannya di sisi sofa. Dia menatap Citra yang ada di hadapannya.
Suaranya sedikit serak, "Di Oceana Hotel hari itu, apakah kamu berencana menyerahkan dirimu kepadaku?"
Citra tidak menyangka bahwa Miko akan tiba-tiba menyebutkan kejadian di hotel saat itu, membuatnya tanpa sadar memeluk bantal di sofa, menundukkan kepalanya, dan berkata dengan sangat pelan, "Itu… Saat itu aku salah minum obat perangsang. Aku mengira itu adalah anggur hari."
"Siapa yang memberimu obat?" tanya Miko tanpa basa-basi. Citra merasa bersalah dan sedikit panik, "Saat aku berada di pemandian air panas di hotel, aku meminumnya secara tidak sengaja. Aku meminum anggur orang lain yang ternyata adalah obat perangsang. T-tapi, Satya telah memberitahuku pemilik sebenarnya dari obat perangsang itu."
Mata Miko tidak berkedip, dan dia tahu Citra sedang berbohong, tapi dia tidak langsung bertanya. Yang bisa dia pikirkan hanyalah bahwa Citra memang dari awal berencana meminum obat perangsang itu, dia tidak meminumnya karena kesalahan. Miko tiba-tiba mengulurkan tangannya dan meraih dagu Citra, dan napas hangatnya menerpa kulit Citra, "Jadi, kamu bersedia menyerahkan dirimu kepadaku, 'kan?"
Citra menatap wajah tampannya, mungkin karena jaraknya terlalu dekat, jadi pikirannya kosong untuk sesaat. Dia hampir menggertakkan gigi dan berkata, "Tentu saja. Kita akan segera menikah."
Pria itu masih memegang dagu Citra, dan kemudian menundukkan kepalanya untuk mencium gadis itu. Citra tidak mendorongnya menjauh, atau menutup matanya dengan malu-malu. Matanya bahkan tidak bergerak sedikit pun saat menerima ciuman itu. Tubuhnya sangat kaku, dan tangannya memegang sofa lebih erat.
Ding dong ding dong
Bel pintu tiba-tiba berbunyi, dan Miko didorong ke samping dengan paksa oleh Citra. Ketika Miko belum sempat bereaksi, Citra sudah bangun untuk membuka pintu, "Pengantar makanan ada di sini, aku akan membuka pintu." Tangannya sudah meraih gagang pintu. Pada saat itu, jari-jarinya yang putih dan ramping bahkan bergetar, dan Citra menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu.
Miko menatap punggungnya. Pandangannya hampir kabur, matanya menjadi lebih suram. Dia tidak bisa mengatakan seperti apa rasanya ciuman dengan Citra karena ciuman tadi sangatlah singkat. Miko mencoba yang terbaik untuk memberikan dirinya pada Citra, tetapi ketika dia menciumnya, Citra sepertinya tidak menantikannya, bahkan seperti jijik dan takut dengannya. Atau mungkin keduanya.
Pelayan tua dari Keluarga Matasak yang membawakan makanan untuk Citra. Karena melihat wajah Citra yang agak pucat, dia bertanya dengan prihatin, "Nona, apakah Anda baik-baik saja?"
Citra buru-buru menjawab, "Tidak apa-apa, Miko ada di sini, kamu bisa kembali sekarang." Tanpa membiarkan pelayan itu masuk, Citra menutup pintu setelah menerima kotak berisi makanan itu. Dia berjalan kembali ke sofa dan meletakkan kotak itu di atas meja, "Miko, apakah kamu sudah makan?"
Miko menatapnya dan menjawab dengan tenang, "Belum." Citra membuka kotak itu dengan hati-hati, "Aku tidak tahu kamu akan datang hari ini, jadi pelayan hanya menyiapkan makanan untukku."
Miko menyela, "Kamu tidak keluar selama beberapa hari?" Citra belum sempat menjawab, dan Miko sudah bertanya lagi, "Tidak bisakah kamu pergi keluar untuk makan denganku?" Citra ingin membuka mulutnya, dan menerima ajakan Miko, tapi dia mengurungkan niatnya.
Setelah beberapa saat, Citra menunduk dan berkata, "Aku sedang tidak ingin keluar hari ini, kamu pergi makan di luar sendiri saja."
Miko melihat wajah kecil Citra dan berpikir. Gadis ini tidak mencarinya dalam beberapa hari terakhir, dan dia belum mengirim pesan teks maupun menelepon Miko. Miko memutuskan untuk bertanya, "Apa kamu sedang marah, Citra? Citra mengangkat kepalanya dan menatapnya, "Aku akan menemuimu besok." Miko menatap Citra lagi sebentar, "Oke, kalau begitu aku akan kembali dan tidak akan mengganggu waktu makanmu."
Jari-jari Citra meletakkan kotak yang tadinya ada di tangannya, dan wajahnya yang menawan akhirnya kembali tersenyum seperti biasanya, "Aku akan mengantarmu turun." Miko mengangguk senang, dan keduanya berjalan ke pintu beriringan.
Di lantai bawah apartemen, mereka melihat bahwa matahari sudah terbenam, dan langit mulai gelap. Citra memperhatikan Miko yang sedang membuka pintu mobil, lalu melambaikan tangannya, "Hati-hati di jalan, selamat tinggal."
Citra hendak beranjak pergi, tetapi pria yang sudah masuk ke dalam mobil itu tiba-tiba keluar lagi dan menghampirinya. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh tengkuk Citra, dan menundukkan kepalanya untuk mencium gadis itu.
Citra terkejut. Dia jelas tidak mengharapkannya, dan tanpa sadar memalingkan wajahnya. Bibir Miko pun jatuh di pipinya. Rasa malu karena ciumannya yang tadi dihentikan oleh bel pintu muncul kembali dalam kepala Miko. Akhirnya, Miko mengangkat tangannya dan menyentuh kepala Citra, "Sampai jumpa besok." Citra tersenyum lagi, "Oke, sampai jumpa besok."
Miko kembali masuk ke dalam mobil, lalu pergi, dan akhirnya menghilang di ujung jalan. Senyum di wajah Citra juga hilang. Dia memegang erat kepalanya, dan kemudian berjongkok.