Miko selalu berpikir bahwa Citra adalah anak perempuan yang selalu hidup bahagia di tengah keluarga kaya raya. Bahkan di industri hiburan, Miko mengira Citra hanya mengandalkan koneksi ayahnya untuk mendapatkan peran dan acara, tanpa dia harus susah-susah memanjat tangga karirnya. Miko bahkan tidak bisa membayang hidup Citra yang ternyata juga penuh liku. Kini dia bisa memahami betapa frustasinya Citra sebenarnya.
Citra melihat Yudha yang hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa bergerak. Tentunya tidak mudah baginya untuk melangkah dari tempat duduk ke jendela untuk melompat dari sana.
Citra melempar tasnya kembali ke sofa, dan berjalan menuju meja yang ada di hadapan Yudha. Rambut keritingnya yang panjang tergerai di pinggangnya. Dia menunjukkan tatapan merendahkan dan tersenyum pada Yudha, "Hati nurani? Apa yang kamu tahu tentang itu? Dunia ini berantakan karena orang-orang sepertimu. Aku tidak tahu berapa banyak wanita yang dibunuh oleh suaminya dengan kapak hanya karena dia merasa kasihan pada suaminya. Apa gunanya kasihan? Lagipula akhirnya mereka juga dibunuh oleh suaminya sendiri."
Di depan jendela setinggi langit-langit, ponsel Satya telah dibuka dan disetel ulang. Kertas pembungkus dibuang ke keranjang sampah, dan ponselnya ditempatkan di saku mantel. Kemudian, dia menatap punggung Citra yang sedang berdiri berhadapan dengan suami Yulia itu.
Ekspresi Yudha sangat menakutkan. Urat di leher dan dahinya tampak dengan jelas seakan bisa pecah kapan saja. Matanya merah seolah-olah dia berlumuran darah, dan napasnya yang terengah-engah seperti terkena asma akut. Orang ini benar-benar menjadi gila sekarang. Miko mengerutkan kening, mengulurkan tangannya tanpa sadar, dan menarik Citra kembali dan menjauh dari pria itu.
"Apa selama ini aku tidak membuat Yulia merasa nyaman? Tapi, kapan dia membuatku merasa nyaman?" tanya Yudha dengan nada tinggi. Matanya penuh dengan kesedihan yang tak berujung dan penyesalan. Dia menoleh untuk melihat Yulia di sisi lain, "Aku membayar utang ayahmu dan membayar pengobatan ayahmu yang sakit. Bukankah itu cukup? Kamu bilang kamu ingin sekolah dan aku mendukungmu. Tahukah kamu betapa bahagianya aku ketika kamu setuju untuk menikah denganku? Aku tidak tega melihatmu menderita karena harus menghadapi kerasnya hidup sendirian. Apakah kamu tidak ingat bahwa aku akan membelikan apa pun yang kamu mau, bahkan jika kamu tidak ingin aku menyentuhmu, aku tidak memaksamu! Jika bukan karena kamu memikirkan Miko, kembali ke Indonesia, dan meninggalkanku, apakah aku akan menyiksamu?"
Saat Yudha mengatakan itu semua, Citra tertegun. Awalnya karena Yudha terlalu labil, Miko menarik pergelangan tangan Citra untuk menjauh karena dia khawatir Citra akan diserang. Tapi, setelah Yudha menyelesaikan kalimatnya, Miko bahkan lebih terkejut, matanya terbelalak, dan tangannya yang masih menggenggam tangan Citra perlahan mengendur. Bahkan pengacara yang telah menangani gugatan perceraian yang tak terhitung jumlahnya dan telah melihat semua jenis adegan dramatis pun tak kalah terkejut.
Yulia berlutut dan duduk di lantai, menutupi wajahnya dan menangis. Hanya Satya yang berdiri di kejauhan seolah-olah semua ini tidak ada hubungannya dengan dia. Dia memasukkan satu tangan di saku celananya, matanya menyaksikan seluruh adegan itu dengan santai.
Untuk beberapa saat, Citra menganggap Yudha konyol. Di sebelahnya, suara rendah Miko terdengar masih terkejut, "Kamu tidak pernah berhubungan suami istri dengan Yulia sejak kamu menikah?"
Yudha menatap mata Miko dengan kecemburuan dan kebencian. Dia menjawab dengan suaranya yang parau, "Katanya dia tidak ingin. Aku sudah menunggunya, tapi dia hanya memikirkanmu dari awal sampai akhir. Dia bahkan terus mencari namamu di internet. Dia bahkan menulis di buku harian bahwa dia merindukanmu. Saat aku mabuk dan berkata aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia masih terus memanggil namamu untuk menolak sentuhanku, suaminya sendiri."
Citra memandang pria yang tadinya histeris itu dengan perasaan campur aduk. Dia benar-benar masih tidak percaya bahwa Yulia adalah akar masalah dari semua ini.
Yulia memegangi mukanya dengan kedua tangannya, seluruh tubuhnya bergetar, "Maafkan aku. Maafkan aku. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu, tapi aku tidak bisa melakukannya."
Yudha memandangnya dan berkata, "Tapi Miko akan menikah, dan dia akan menikah dengan Citra bulan depan. Yulia, maukah kamu kembali denganku? Selama kamu tidak meninggalkanku, aku tidak akan pernah memukulmu lagi."
Citra meliriknya, lalu melihat sekilas wanita yang berlutut di lantai. Dia berbalik dan berjalan ke arah jendela yang kacanya masih terbuka. Angin bertiup tidak terlalu kencang, tetapi rambut panjangnya tetap melambai-lambai. Satya berdiri di sampingnya. Citra mulai berbicara pada Satya. Suaranya terdengar seperti angin, sejuk dan halus, "Pergi dan minta Yudha untuk menandatanganinya. Bagaimanapun dia tidak akan bisa mendapatkan hati Yulia. Lebih baik dia menderita sekarang."
"Ya,�� jawab Satya patuh. Satya berjalan dengan tenang ke arah Yudha. Yulia mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tatapan kosong, "Apa yang akan kamu lakukan?"
Satya tidak menjawabnya. Tepatnya, dia tidak meliriknya sama sekali. Satya meraih pergelangan tangan Yudha, tetapi dalam sekejap, wajah Yudha tampak begitu marah. Dia menjerit, tapi tidak ada yang peduli padanya. Satya masih dengan wajah tanpa ekspresinya, masih mencengkeram kuat pergelangan tangan Yudha hingga membuat pria itu teriak kesakitan. Keringat dingin juga mengucur dengan deras dari tubuhnya.
Miko mengerutkan kening, menatap Satya yang dingin dan acuh tak acuh itu. Yulia bangkit dan meletakkan tangannya di atas meja, "Berhenti! Jangan lakukan ini padanya." Tentu saja Satya tidak akan memperhatikannya. Di ruangan ini, dia hanya mendengarkan Citra.
Citra berdiri di dekat jendela, mengangkat jari-jarinya dan memainkan rambut panjangnya, "Yudha, aku sudah berjanji pada Yulia bahwa dia akan menceraikanmu hari ini. Pengawalku membawamu ke sini hanya agar kamu memberikan tanda tanganmu di atas perjanjian perceraian itu. Jika istrimu pergi, kamu bisa mencari lagi. Tapi, bagaimana jika tanganmu yang hilang? Apa kamu bisa mencari tangan baru?"
Keringat sebesar biji jagung keluar dari dahi Yudha, tapi dia justru menggertakkan gigi. Dia tidak berbicara dan tidak bermaksud untuk memohon ampun pada Citra maupun Satya. Suara tulang retak terdengar jelas Yudha kesakitan, tapi dia tetap berteriak, "Aku tidak akan bercerai!"
Yulia berteriak seolah-olah dia akan kehilangan hidupnya, "Cukup! Cukup! Berhenti! Hentikan semua ini!"
"Satya," panggil Citra. Baru setelah suara Citra terdengar, Satya melepaskan tangan Yudha. Dia menegakkan tubuh tingginya dan menatap lurus ke arah pria itu.
Yudha terbaring di sofa, terengah-engah karena rasa sakit di tangannya. Yulia berbaring di lantai sambil menangis terisak. Ketika kaki panjang Satya melewati sisi Yulia, tiba-tiba dia tersenyum tipis, "Nona Yulia, kamu telah disiksa olehnya. Kamu yang paling menyedihkan di sini. Kenapa kamu mau menitikkan air mata?"
Yulia tidak pernah mengharapkan Satya akan berbicara tiba-tiba, jadi dia masih tertegun sejenak. Satya melanjutkan, "Kalau menikah tanpa perasaan cinta disebut pemaksaan, maka selama ini Anda telah hidup di dalam segala sesuatu yang dipaksakan. Untuk apa Anda melindungi pria yang telah menyiksa Anda secara mental dan fisik seperti dia? Bukankah cukup semua penderitaan yang telah Anda rasakan selama ini?"
Satya tersenyum tipis. Dia menambahkan, "Apa Anda merasa berutang budi padanya hingga Anda selalu melindunginya? Kalau begitu, mengapa Anda tidak membiarkan Tuan Miko melunasi utang Anda pada suami Anda? Bagaimana menurut nona?"