Eve merasakan angin berhembus menerpa tubuh rampingnya yang sedikit mengigil. Telinganya mendengar hiruk pikuk disekelilingnya, tak lupa aroma roti yang baru saja masak dan harumnya parfum berbaur menjadi satu. Perlahan gadis itu membuka mata dan yang pertama kali ia lihat ialah suasana familiar meringsek masuk yang memupuk rindu serta rasa sakit kian subur.
" Ayah, terima kasih telah membawa Carol pergi berjalan-jalan"
Menutup mulut dengan kedua tangan hanya itu yang dapat ia lakukan kala melihat pemandangan menyesakkan didadanya. Disana ia melihat dua orang yang ia sangat kenali, terlebih pria berambut pirang yang nyaris memutih seluruhnya. Sang pria menggenggam tangan gadis berusia 18 tahun disampingnya, mereka saling melempar senyum selama berjalan dibawah terangnya pohon Natal dialun-alun kota.
' Bernostalgia nak?' Tanya sebuah suara yang menggema entah darimana, Eve melihat sekeliling namun nihil tak ada siapapun. Padahal ia merasa yakin yang didengarnya adalah suara sang Dewa Kematian, Thanatos.
' Aku hanya membawa mu melihat kenangan dimasa lalu, keberadaanmu yang sekarang tak lebih dari penonton saja.'
Benar rupanya suara itu milik Thanatos, sang Dewa tengah memperlihatkan kilas balik dari kenangan yang tersegel dan membawanya kembali ke masa sesaat ia belum disegel dan diubah. Eve kembali memperhatikan kedua sosok yang telah bergabung ke dalam rombongan berisikan empat orang yang tak lain adalah ibu beserta para saudaranya. Mereka tertawa bersama dengan Eve dimasa lalu yang hanya memperhatikan dan tersenyum simpul saja. Tangan mereka penuh membawa berbagai macam bingkisan hasil berburu dikota.
' Kemana kalian pergi?' Thanatos memecah keheningan, Evelyna menatap sekitar dan kini mereka telah tiba disebuah ruangan dengan perapian menyala dan dekorasi kaos kaki bercorak hijau dan merah tergantung diatasnya, pohon yang digantung lampu juga bandul kaca berwarna perak.
" Ini Villa keluarga kami, Ayah kerap membawa kami berlibur kemari jika ada waktu." Jawab Evelyna tersenyum lebar melihat keempat anak tengah bercengkrama membuka setiap bingkis kado, pasangan suami istri itu tersenyum mengamati ke empat anak mereka hingga suara gebrakan pintu terbuka menampilkan Kepala pelayan Braun berlari tergopoh-gopoh dengan keadaan kacau.
Sebelah tangannya hampir putus dan darah mengucur mengotori karpet beludru merah kesukaan sang nyonya, suara jerit dan tangis terdengar sesaat. Keluarga Van Alen kemudian segera berlari selepas sang suami menghancurkan jendela besar disana meninggalkan Braun yang telah terkapar dan memasuki kereta kuda yang telah mendiang kepala pelayannya siapkan setelah terjadi pertumpahan darah.
' Mengerikan sekali, hari Natal yang penuh darah.'
Eve merasa mual melihat pemandangan mayat pelayan serta pengawal keluarganya yang berjatuhan menyisakan genangan merah yang mengotori boots hitam miliknya. Ia terdiam menatap satu persatu potongan tubuh yang ada disepanjang lorong, seperti tangan sang kepala pelayan yang terputus dan mayat pengawal kediamannya yang masih mengeluarkan cairan merah kental segar setelah tertebas hingga membuat isi perut mereka berserakan disana sini.
Pemandangan beralih menampilkan suasana kereta dimana keluarga Van Alen tengah menyisir jalanan malam pinggiran Bristol Inggris. Ke empat orang didalam kereta itu terlelap dengan wajah pucat dan jejak air mata, menyisakkan kedua pasangan suami istri yang tengah bersilat lidah, saling mendebatkan keselamatan putra putri mereka karena mereka tengah dalam pelarian selepas tragedi mengerikan sebelumnya. Eve duduk tepat disebelah sang ayah mendengarkan setiap ucapan yang terlontar dari kedua pasangan itu, berulang kali tercengang hingga ia harus meremas bagian atas mantelnya.
" Kita harus memberikan Carol pada mereka jika ingin selamat, kau akan membawa kami kemana? Apakah mansion tua Van Alen bisa menyembunyikan kita?' Nyonya Van Alen gusar berulang kali memijit pangkal hidungnya, suaminya justru kelewat tenang dan hanya mengusap surai putih gadis pirang yang ada dipangkuannya.
" Aku akan meminta bantuan Nyonya Lilith, beliau pasti akan menyembunyikan Carol atau setidaknya ia akan bertemu dengan takdirnya sedikit lebih cepat."
Nyonya Van Alen mengigit bibirnya rautnya tampak kesal karena sang suami menyebut nama seseorang yang Eve tak ketahui mengenai siapa dan takdir apa yang diucapkan ayahnya itu. Hanya saja sang ibu semaking gusar dan tak tenang dalam duduknya.
" Harus kah? Bagaimana jika mereka tak menjamin keselamatanku dan yang lain? Carol pasti akan selamat karena itu aku mohon berikan saja dia, para Dewa menyayanginya ia lah ' pelayan sang Dewa' dia pasti tidak akan mati hanya-"
Tuan Van Alen menampar wanita dihadapannya, ia geram saat kata-kata mati terlontar begitu saja dari bibir ranum merah milik istrinya. Bagaimana ia semudah itu menganggap nyawa putri mereka bagaikan kucing yang memiliki sembilan nyawa.
Evelyna terdiam, ia tak akan menyangka ibunya akan menawarkan nyawanya sebagai tumbal dalam keadaan yang sepertinya mereka tengah dalam situasi terdesak. Beberapa hal tidak ia ketahui mengenai bagaimana bisa mereka mengetahui takdir yang diembannya atau siapa yang mereka bicarakan dan mereka sedang lari dari apa?
Guncangan membangunkan Eve yang telah menatap sekelilingnya, pemandangan telah berganti kembali, ia dapat melihat mereka telah terlempar keluar dari kereta. Ibu dan ketiga saudaranya tak sadarkan diri terlentang dijalanan bersalju, beberapa bercak darah merembes membasahi baju mereka. Segera ia hendak berlari namun kakinya terpaku tak dapat digerakan.
' Kau hanyalah penonton ingat?' Peringat Thanatos, manik zamrudnya kembali beralih menatap seorang pria yang tengah memeluk gadis bersurai pirang, dihadapan mereka beberapa pria berkuda mengenakan mantel hitam menodongkan pisau serta senapan laras panjang.
" Serahkan gadis pendeta pada kami, kemudian kami akan melepaskan Van Alen hidup-hidup." Perintah pria berjubah dibarisan paling depan dengan tenang.
Eve semakin merasakan sakit saat Ayahnya berkeras hati menggeleng tak menjawab sembari menahan luka yang ada ditubuhnya, darah merembes bahkan menetes membasahi putihnya hamparan salju. Sementara dirinya dimasa lalu mengangguk dengan wajah penuh air mata.
" Tidak Carol, dengarkan Ayah kau adalah sosok penting bagi dunia dan Ayah. Kau harus menjalankan tugas mu, kau ingat apa kata Ayah?" Viscount[1] Van Alen berusaha menahan sakit yang kian menjalar pada dadanya. Gadis dihadapannya menggeleng dan menangis kian keras.
" Lindungi Inggris, Van Alen dan keluarga kita. Bertahanlah sebentar lagi hanya sebentar lagi saja, kau gadis yang dicintai dan disayangi alam semesta jadi mereka memberkatimu meski semua rasa sakit ini."
" Ayah, biarkan aku bersama mereka dan kalian akan selamat. Aku tak apa-apa, aku adalah sang Oracle Dewa selalu bersama ku."
Evelyna terisak melihat apa yang selama ini telah diubah dan dilupakannya, ia tak mengetahui terdapat tragedi mengerikan seperti ini begitu menyakitkan bagaimana bisa keluarganya yang lain hidup seolah tanpa memiliki kenangan apapun?
Viscount Van Alen berdiri kesusahan berulang kali putri kecilnya berteriak untuk melepaskannya namun pria pirang itu sendiri bersikokoh untuk tetap mempertahankan putri bungsunya. Nafas nya berhembus diudara yang dingin dimalam itu, ia melepas sarung tangan kulit dan menyayat tangan kanannya memunculkan sebuah tanda pentagram yang sama dengan milik Eve sebelumnya.
Para komplotan pria itu mundur dan berusaha menyerang pria dihadapannya yang kini tengah dilingkupi cahaya berwarna hijau. Viscount Van Alen baru saja membuat segel pembatas guna melindungi keluarga kecilnya dengan darahnya sendiri, si bungsu menangis dan beberapa kali merapal mantra untuk menyembuhkan luka sang Ayah namun luka yang terlalu dalam membuat regenerasinya semakin lambat.
" Caroliana dengarkan Ayah, lakukan perintah Ayah saat ini seperti biasa, apa kau bisa?" Tanya pria pirang itu membelai wajah penuh darah si bungsu yang kini mengigit bibir, kemudian pria itu tersenyum dan mengecup pipi kanan dan kiri putrinya barulah dahi si bungsu.
" Buatlah kontrak dengan Thanatos, Carol yang sekarang pasti sudah bisa melakukannya. Kemudian panggil salah satu makhluk kegelapan yang kau rasa kuat untuk menyelamatkan dan melindungi kalian."
" Ayah akan melakukan segel pada ingatan dan kekuatanmu agar tak dapat meninggalkan jejak apapun kecuali kau telah menghadapi ketakutan dan kelemahanmu selama ini."
" Buatlah dengan harga memberikan seseorang yang paling berharga dan kau cintai sayang." Terhenyak sesaat putri bungsunya berteriak menolak namun segera pria pirang tersebut mendekapnya dan mengusap punggungnya.
" Ayah mohon, kau tau sudah tak ada waktu untuk Ayah. Cepat atau lambat Ayah akan kehabisan waktu karena luka ini. Jadi lindungi keluarga kita, kau dan Ayah yang akan melakukannya. Ini tak seberapa, hanya saja Ayah pergi lebih cepat." Carol menggeleng pelan namun segera mengangguk kecil, ia sangat mengerti apa maksud sang Ayah. Gadis itu berdiri setelah menatap manik zamrud serupa dengan miliknya, manik teduh bak telaga yang menenangkannya selama ini cukup lama, cairan bening kembali mengalir membasahi pipi porselene nya yang mati rasa.
" Atas seijinmu dan dengan kuasamu bukalah kembali rantai jiwa yang terputus, Wahai sang pembawa pesan kematian aku memanggil mu untuk merangkai perjanjian, Thanatos."
Gadis itu mengucap lirih seiring dengan air matanya yang terus mengalir menatap sang Ayah dihadapannya masih tersenyum dan mengangguk. Ia tak merasakan perihnya luka sayat ditangan atau rasa besi dari darahnya, si bungsu Van Alen hanya merasakan sakit teramat sangat menyerang dadanya.
Sosok berjubah membawa sabit kematian muncul membuat komplotan pria berjubah berteriak histeris dan memunculkan makhluk aneh yang menyerang mereka membabi buta menyebabkan retakan pada pembatas yang dibuat sang pria.
Evelyna menangis meraung memperhatikan sang Ayah yang terbatuk darah dan dirinya dimasa lalu yang menjerit histeris memanggilnya. Tangis telah pecah sedari ia mendengarkan permintaan sang Ayah untuk menjadikannya sebagai harga dari melakukan perjanjian, ia pun tak pernah ingat monster pernah menyerang mereka dan sejak kapan dirinya dapat menggunakan mantra begitu pula sang Ayah.
" Wahai anakku, apa yang ingin kau tawarkan untuk menjalin perjanjian denganku?" Tanya sang Dewa Kematian.
" Thanatos sang Dewa Kematian, saya menawarkan perjanjian untuk membangkitkan makhluk kegelapan yang akan menjadi pelayan serta ksatria ku." Si gadis pirang berujar gemetar masih menatap sang Ayah yang mengangguk tetap tersenyum. Tangannya yang besar dan sedingin es itu mengusap kembali wajah putri bungsunya.
" Dan harga apa yang akan kau berikan sebagai gantinya?" Tanya sang Dewa, Gadis itu menunduk dalam menghirup oksigen sebanyak-banyaknya barulah menatap sang Dewa lagi.
" Sese-orang yang paling berhaga hiks- dan yang sangat aku cintai." Eve muda berucap dengan suara parau dan kelewat lirih, tubuhnya bergetar hebat saat sang Ayah memeluknya dan merapal beberapa mantra membuatnya terjatuh mencium hamparan salju, kedua manik zamrud itu saling bertatapan lama hingga bibir pucat berdarah si gadis mengucap lirih.
" Medusa[2] datanglah."
Samar-samar sebelum segalanya memutih Evelyna dapat mendengar suara yang sangat dirindukannya selama ini berbisik sebelum sang Dewa membawanya.
" Jaga dirimu putriku, Ayah mencintaimu."
[1] Wakil count dalam mengurus provinsi, dan sering bertanggung jawab atas masalah kehakiman
[2] Makhluk mitologi Yunani yang berwujud seorang wanita cantik dengan ular sebagai rambutnya. Siapapun yang menatap langsung pada matanya akan berubah menjadi batu.