Ha Wook's pov
07:00 KST
Aku yang sedang memakai bedak terhenti saat pandangan tertuju pada bibirku. Senyum kembali mengembang saat kejadian kemarin kembali teringat. Aku meletakkan bedak dan memegangi bibirku. Katakan, siapa yang tidak senang jika dicium seseorang yang kau sukai?
Meskipun aku tidak tahu apa maksud dan tujuannya, aku senang.
"Yeaay!" aku melompat ke kasur dan menutupi wajahku dengan bantal. Kedua kakiku menendang-nendang udara, aku bersorak keras dan membungkam mulutku dengan bantal agar tidak terdengar dari luar.
Tok
Tok
Tok
"Uri Ddal, sarapanlah sekarang atau kau akan terlambat!" Aku menyingkirkan bantal dari wajahku.
"Ne, Eomma!" teriakku sambil melompat turun dari kasur.
Dengan riang aku membuka pintu kamar, terlihat Oppa dan Halmoni sarapan disana. Mulai sekarang, kami berempat sarapan bersama sebelum masing-masing dari kami beraktifitas.
"Tambah lagi dagingnya. Kau harus makan banyak." Eomma memindahkan daging ke mangkuk nasiku.
"Gumawo, Eomma." Eomma tersenyum, ia menyematkan kecupan sayang di keningku. Aku sangat bersyukur akan perubahan sikap Eomma ini. Kehadiran Oppa memang benar-benar obat untuknya.
"Oh ya, hari ini Ha Seonsaeng mengadakan garden party di rumahnya. Kemungkinan akan menginap." kataku dengan mulut penuh nasi dan daging.
"Ya, bersenang-senanglah. Sekarang habiskan dulu makanmu, lalu kau-"
"Ne, Eomma. Lihatlah aku makan sangat banyak." Aku menjejalkan nasi ke mulutku hingga benar-benar penuh.
"Uri Ha Wook sepertinya sedang bahagia."
"Tentu saja, kemarin dia berkencan dengan Hyung." Eomma dan Halmoni menatapku dengan senyuman.
Sejujurnya aku bahagia bukan karena itu, tapi karena Ha Seonsaeng menciumku. Walau aku tidak tahu alasannya. Yang jelas, ciuman kemarin tanpa nafsu.
Aku melipat bibirku saat kembali mengingat ciuman kami. Jujur ku katakan, ciuman ini untuk yang pertama kalinya.
"Jagiya, cepat habiskan. Oppa akan mengantarmu sekolah." Aku tersenyum dan mengangguk pada Oppa yang sudah selesai.
"Ayo berangkat sekarang, aku sudah selesai." Aku memeluk Eomma dan Halmoni lalu menggandeng Oppa. Kami berjalan keluar rumah, sesekali aku melompat.
"Kau sangat menyukai yang terjadi kemarin?" Aku memandang Oppa dan mengangguk. Oppa mengelus rambutku dan menyematkan kecupan disana.
"Oppa senang jika kau senang." Aku berjinjit dan mencium pipi Oppa membuatnya terkekeh.
#
Aku harus menelan pil kekecewaan, hari ini Ha Seonsaeng tidak masuk. Bagaimana beliau masuk jika tidak ada mata pelajaran hari ini? Memang sih di kelasku tidak ada jadwalnya, tapi kan siapa tahu Ha Seonsaeng mengajar di kelas lain.
Aku menghela napas panjang ketikanmengingat kejadian pasca adegan ciuman di pantai. Setelah adegan itu hingga Ha Seonsaeng mengantarku pulang kami hanya diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Sebenarnya aku penasaran dengan alasan dibalik adegan itu.
Kenapa Ha Seonsaeng tiba-tiba menciumku?
Apakah ia memiliki rasa yang sama denganku?
Tapi, sepertinya itu tidak mungkin.
"Kau sangat sedih hari ini tidak bisa bertemu Ha Seonsaeng?" Aku memandang Bok Hae yang tersenyum.
"Memangnya kenapa?" Soo Ji menatapku dan Bok Hae penuh selidik.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dari kami?" Giliran Ha Na memandangku dan Bok Hae tajam.
"Biar ku beritahu, kemarin Ha Wook berkencan dengan Ha Seonsaeng." Tidak hanya Soo Ji dan Ha Na yang terkejut, tapi aku juga.
"Bagaimana kau tahu?" Bok Hae hanya menaikturunkan alisnya membuatku geram. Tidak salah lagi, pasti laki-laki itu yang memberikan informasi rahasia ini padanya.
"Pasti Oppa yang memberitahumu, kan?" Soo Ji dan Ha Na menatap Bok Hae dengan wajah bingung mereka.
"Beberapa hari lalu, Bok Hae meminta nomor Oppa. Sepertinya sekarang mereka sudah sangat dekat. Mereka saling menyukai, sepertinya setelah ini Oppa dan Bok Hae akan meminta restu dariku." Bok Hae melotot.
"Kau juga sekarang dekat dengan Ha Seonsaeng. Kemaren kalian pergi hanya berdua saja. Jujurlah, kau menyukai Ha Seonsaeng kan?"
"Benar, Ha Wook? Kau menyukai Ha Seonsaeng?" tanya Soo Ji.
"Katakan saja, hanya kita yang tahu." Aku menatap ketiga sahabatku yang tampak penasaran.
"Salahkah aku jika menyukai tunangan orang lain?" Mereka bertiga menggeleng cepat.
"Tidak, tentu saja tidak. Selama belum ada ikatan suci, tidak masalah." Soo Ji dan Bok Hae menangguk setuju dengan ucapan Ha Na.
"Rahasiakan ini dari Jun Goo dan Ho Jae." Soo Ji dan Ha Na hanya menatapku bingung, sedangkan Bok Hae mengangguk mantap.
#
Jeong Il's pov
"Senang sekali hari ini, hmm?" Aku yang sedang memasang lampion menoleh ke arah Ra Im yang membawakan minuman dingin di nampan. Ia menyodorkan gelas berisi ice americano padaku.
"Kau sangat senang menghabiskan waktu dengan Ha Wook hingga melupakanku." Ra Im mencebikkan bibirnya.
"Aku sangat senang kemarin, memiliki adik perempuan ternyata sangat menyenangkan." Senyuman kembali mengembang di wajah Ra Im.
"Jadi, kau hanya menganggapnya adik?" Aku mengambil lampion dan memasangnya, tak perlulah ku jawab pertanyaan itu. "Syukurlah. Maaf aku sudah berpikiran buruk padamu dan Ha Wook." Aku hanya tersenyum tanpa repot-repot menjawabnya.
Tidak mungkin kan aku mengatakan padanya jika aku menyukai Ha Wook?
Bukannya tidak mau mengakui, aku hanya tidak ingin ada keributan di hari bahagiaku ini. Bicara tentang hari bahagia, aku teringat adegan yang baru pertama kali ku lakukan. Ya, ciuman pertamaku bersama Ha Wook dan itu terjadi kemarin.
Selama tujuh tahun pacaran dengan Ra Im, aku tidak pernah menyentuhnya apalagi hingga tidur bersama. Ra Im yang menggandengku lebih dulu, ia juga memelukku lebih dulu. Hanya sesekali aku membalas pelukannya agar tidak menyakiti hatinya. Ra Im juga yang terkadang menyematkan kecupan di pipiku dan aku tidak pernah membalasnya.
Jangan salah, aku tidak ingin melakukan adegan seperti itu tanpa cinta. Hmm, apa itu artinya aku mencintai Ha Wook?
"Baiklah, mulai sekarang aku akan sangat senang jika kau menghabiskan waktu dengan Ha Wook. Kau tahu aku sangat sibuk beberapa hari ini."
"Ya, nikmati saja pekerjaanmu. Aku baik-baik saja dengan Yoon dan Ha Wook."
Ra Im mengangguk, "Syukurlah. Aku senang sekarang Jeong Ilku tidak kesepian lagi." Ra Im merangkum pipiku dengan kedua tangannya.
Jeong Ilnya?
Tidak.
Jeong Il bukan milik Ra Im, Jeong Il milik Ha Wook.
Ra Im memelukku erat, ia menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku tak ada pilihan lain selain membalas pelukannya. "Kau adalah milikku yang paling berharga, Jeong Il-ah." Ra Im mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata sayu, pandangan mata yang sangat ku benci.
"Apa kau belum juga merasakannya?" Aku menelan ludah mendengar pertanyaannya. "Benar kan? Harus bagaimana lagi, Jeong Il-ah? Maafkan aku." Mataku membulat sempurna saat tiba-tiba Ra Im menarik kepalaku mendekat ke arahnya.
"Ha Wook-ah, sepertinya kita datang di saat yang tidak tepat."
***