"Mau?" tawar Aldi memberikan beberapa cemilan yang Aldi beli untuknya. "Apa lo udah kenyang?" Aldi menganggukan kepalanya santai. "Makan aja," Salsha menerimanya dengan santai. Tidak ada makanan yang dibuang jika membawa Salsha, dia makan banyak. Sayangnya Aldi tidak terlalu memperhatikan hal seperti itu.
"Bastian apa kabar?" tanya Salsha memulai pembicaraan lebih dulu dengan Aldi. "Dia udah enggak di rumah gue sekarang, dia di apartemen orang tuanya. Kemarin dia masih baik-baik aja, gue enggak tahu buat sekarang," jawab Aldi mendapati Salsha terkekeh mendengarnya.
"Lo, apa kabar?" Salsha menanyakan lagi sekarang, tapi dia mengatakan untuk Aldi dan itu terkesan aneh bagi Aldi. "Gue? Kenapa gue? Gue baik-baik aja," jawab Aldi sedikit bingung.
"Gue juga baik-baik aja," balas Salsha membuat Aldi terdiam, dia tersentak sedikit. "Gue kurang peka ya selama ini?" tanya Aldi dengan nada yang lirih, dia merasa jika apa yang sebenarnya terjadi tidak membuatnya merasa baik-baik saja.
"Gue nyakitin perasaan lo pasti," sahut Aldi lagi.
"Sedikit, tapi gue menikmatinya," jawab Salsha gampang sekali. "Gue minta maaf," ucap Aldi lagi, Salsha menggelengkan kepalanya. "Enggak perlu, gue benar-benar enggak merasa keberatan dengan hubungan ini karena gue juga masih bingung apakah dengan pacaran sama lo gue nyaman atau dengan hubungan ini gue justru membohongi perasaan gue sendiri," Aldi paham sekarang.
"Ada sedikit masalah yang seharusnya gue bilang dari awal ke lo, tapi gue terlalu takut lo marah," ucap Aldi berusaha keras untuk terus terang padanya. "Oh ya, apa?" tanya Salsha justru penasaran, Aldi melihatnya sedikit khawatir.
"Awalnya memang ini salah gue," Aldi menghela nafasnya berat, dia mengambil tangan Salsha agat bisa digenggamnya cukup erat. "Maaf gue enggak konsisten dengan apa yang gue bilang, gue nyuruh lo untuk bilang ke Iqbal agar jauhi lo. Tapi gue di sini, memberi ruang untuk Tania memperjuangkan gue, maaf satu kali lagi. Tapi waktu itu, gue benar-bener berbohong sama lo karena gue takut kalau selama ini yang gue suka adalah lo, bukan Tania," Salsha menghela nafasnya berat, dia justru mengelus punggung Aldi dengan ibu jarinya.
"Gue tahu, tapi balik lagi ke topik utamanya. Gue pura-pura enggak tahu biar hubungan ini baik-baik aja, sebenarnya secara enggak langsung gue lagi mempertahankan hubungan ini, tapi lo enggak terlalu peka gimana gue melakukannya," sahut Salsha dengan wajah biasa saja, dia bahkan masih bisa tersenyum sangat lebar sekarang. Aldi tersentuh melihatnya.
"Gue udah memutus hubungan gue dan rencana awalnya, gue akan fokus lo sekarang dan melupakan Tania," Salsha menganggukan kepalanya santai. "Gue butuh buktinya," sahut Salsha tidak ingin kalah, Aldi tersenyum mendengarnya.
"Ayo pergi keluar berdua, sorry gue mengirim kado ulang tahun bukan sesuatu yang lo harapkan," ucap Aldi tiba-tiba kembali mengingat sesuatu. "Ayo, gue mau aja," jawab Salsha tidak keberatan sama sekali, dia bahkan melupakan apa yang sebenarnya terjadi dengan sebentar.
"Gue ke rumah lo nanti malam," Salsha menganggukan kepalanya. "Siap," seru Salsha dengan memberi hormat pada Aldi sedikit terkekeh. "Gue siap kapan aja," sambung Salsha membuat Aldi sedikit tersenyum lembut.
"Gue sayang sama lo," Aldi melihat wajah Salsha dengan serius, dia menarik tangan mereka yang sedang saling menggenggam agar semakin mendekat.
"Gue tahu," sahut Salsha ingin mengikis jarak diantara mereka berdua dengan menarik tangannya cukup keras. "Lepas, ini di sekolah. Lo apa-apaan si," kesal Salsha tidak main-main, banyak beberapa dari mereka yang seumuran melihatnya tidak suka.
"Kenapa? Mereka semua udah tahu kita pacaran? Apa lo risih?" Salsha menggelengkan kepalanya jika Salsha tidak risih atau apapun.
"Gue malu aja," cicit Salsha menyembunyikan wajahnya dari Aldi yang melihatnya terlalu serius dengan jarang yang tidak jauh sama sekali.
"Ah, gue rasa bibir lo itu," Aldi membasahi bibirnya sendiri dengan lidah dan ludahnya dengan ekspresi sangat lapar. Salsha memasukan bibirnya dengan menekuknya kedalam menjauhkan Aldi dari tatapan gilanya.
"Terlalu mengundang bibir gue," Salsha menarik tangannya untuk menutup wajahnya sangat malu karena sesuatu yang menyebalkan dari mulut Aldi. "Ternyata lo mesum ya!" kesal Salsha yang tidak bisa dijelaskan.
•••
"Gue lihat kemarin malam lo nangis dipeluk Aldi, dan gue lihat tadi pagi kalian berdua berangkat berdua?" tanya Iqbal mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi pada Tania dengan Aldi, namun Tania hanya sedikit tersneyum manis.
"Lo seharusnya paham apa yang gue lakukan," Kania di samping kakaknya bahkan hanya bisa memutar bola matanya malas. "Gue mau pulang aja kalau enggak dibutuhkan di sini," keluh Kania mengambil seling pembicaraan diantara kakaknya dengan Aldi. Kania berhasil mengambil perhatian kakaknya.
"Kenapa? Lo harus tetap di sini agar gue bisa pantau lo dengan mudah. Terlebih lo beda dua tahun sama gue, gue khawatir lo di Vietnam sendirian," Kania memutar bola matanya malas sekali.
"Kenapa gue harus di sini kalau momy sama dady aja enggak membutuhkan gue?" Iqbal cukup terkejut mendengarnya, dia melirik Kania sedikit. "Maksudnya?" Kania menatap Iqbal datar sekali. "Bukan urusan lo!" Iqbal meringis mendengarnya.
"Gue akan kasih tahu keberadaan lo di sini," Kania berdecit benci mendengarnya. "Gue enggak butuh, percuma juga mereka tahu kalau mereka enggak butuh. Jangan kasih tahu, bahkan untuk tahu gue masih hidup di sini aja gue rasa dia enggak akan perduli," Iqbal mendengar pertengkaran antara kakak dan adik itu.
Iqbal mendengarnya dengan jelas, dan dia sendiri yang tidak bisa mengatakan apapun. "Maaf selama ini gue sebagai kakak masih enggak bisa memberi apa yang lo mau sampai detik ini," ucap Tania dengan suara sangat lriih, Iqbal menaikan satu alisnya bingung.
Kania membuang wajahnya tidak terlalu fokus dalam pembicaraannya. Kania mendorong makanannya dan berdiri untuk pergi. "Gue ke kelas," pamit Kania berjalan meninggalkan Iqbal dengan kakaknya di tempat duduk yang sama.
Iqbal melihat punggung belakang Kania berjalan menjauh sampai pada persimpangan jalan, Iqbal menaikan satu alisnya mengejek pada Tania. "Oh, jadi hubungan kalian enggak baik-baik aja?" tanya Iqbal menyeringai membuat Tania berdecit benci.
"Seperti yang lo lihat," Iqbal tertawa cukup kuat mendengarnya. "Kania enggak salah, kalau keberadaannya enggak dibutuhkan di keluarganya. Gue rasa dengan hidup sendiri lebih leluasa daripada di samping tapi tidak diharapkan,"
"Tutup mulut lo!" bentak Tania benar-benar tidak besahabat, Iqbal terkekeh mendengarnya. "Kania yang gue tahu dia perempuan yang lembut. Tapi saat dia hadapkan dengan lo dan keluarga kalian, dia sangat pembenci. Gue tahu apa kesulitan yang dia rasakan," Tania memutar bola matanya malas. "Lo bukan siapa-siapa yang paham,"
Iqbal menunjuk dahinya. "Gue punya kepala dan isinya," ucao Iqbal membuat Tania mengernyitkan kepalanya bingung. "Maksud lo?"
"Lo udah di tolak mentah-mentah sama Aldi, dan sekarang lo udah puas bahagia. Tinggal gue yang mendapatkannya, lakukan rencana yang gue minta tadi malam. Mungkin selama ini gue baik-baik aja, tapi gue butuh perjuangan lo memberi gue kebahagiaan sama Salsha," Iqbal menepuk-nepuk bahu kanan sapupu jauhnya.
"Stop, gue enggak meminta lo berjalan terlalu jauh. Hentikan sekarang, sekarang lo harus menjadi babu gue karena selama ini gue udah memanjakan lo," Iqbal menyeringai dengan tersenyum miring.
"Lo harus siap menutupi apapun yang adik gue lakukan mulai dari sekarang," balas Tania saat dia setuju dengan rencana yang Iqbal katakan padanya tadi malam, Iqbal menganggukan kepalanya setuju.
"Lakukan yang gue minta, dan gue akan menutupi apa yang akan terjadi untuk kedepannya," perintah Iqbal yang diangguki balasan oleh Tania.
"Gue akan memintanya ke Kania baik-baik," Iqbal tersenyum penuh arti sekarang, Tania memutar bola matanya malas. "Memang itu yang harus lo lakukan dari awal,"