"Kenapa?" tanya Salsha bingung saat Sasha digandengn oleh tangan Aldi terang-terangan bahkan mereka baru saja sampai di kelasnya. "Lo duduk samping gue," perintah Aldi membuat Salsha menaikan satu alisnya bingung bukan main.
"Gue biasanya duduk bareng Iqbal, dan lo sama Tania. Kenapa tiba-tiba?" Aldi langsung menggelengkan kepalanya tidak mengatakan apapun langsung menarik tangan Salsha untuk duduk di sampingnya tanpa babibu.
"Lo aneh," tungkas Salsha menurut dan mulai duduk di kursi yang beberapa bulan yang lalu dia duduki dengan Aldi tanpa adanya Tania. "Gue hanya sedikit menetralisir," sahutAldi membuat Salsha memutar bola matanya malas.
"Gue nurut aja," ucap Salsha menghela nafasnya berat berusaha baik-baik saja. Limabelas menit duduk ditempat itu, Salsha mulai gelisah. Sebenarnya semua kursi terlihat sama saja.
Dan seharusnya juga Salsha tidak merasa takut dan segelisah ini. "Gue pindah aja, kalah Tania minta tempat duduknya gimana?" tanya Salsha was-was sendiri, Aldi menggelengkan kepalanya pelan.
"Bukannya ini juga tempat duduk siapa aja? Enggak mengharuskan harus Tania dan Tania. Lagipula lo juga duduk di sini sebelum Tania dateng dan ikut campur urusan kita," Salsha mengalah, dia hanya bisa menggigit bibirnya sedikit gugup.
"Ada yang aneh, banyak berubah juga ternyata," ucap Salsha memulainya lebih dulu. "Apanya yang berubah? Gue rasa semuanya baik-baik aja," ucap Aldi menimpali, Salsha menggelengkan kepalanya tegas sekali. Dia tidak terima jika Aldi menganggapnya masih sama-sama saja dan biasa saja. Lain lagi yang dirasakan Salsha.
"Posisi, waktu, keadaan dan perasaan," Aldi memutar bola matanya kasar saat Salsha mulai mempermasalahkan hubungannya lagi. "Percuma mengingat masalalu dan terus menetus mengungkit," ucap Aldi menyadarkan Salsha pada kenyataan yang benar-benar seharusnya sudah berubah dari yang lalu.
"Akan bodoh juga kalau lo terus memikirkan bagaimana perasaan orang lain, biarkan orang merasakan apa. Jangan terlalu bersimpati, itu membunuh hati dan perasaan lo. Jangan juga memberi banyak nurani ke orang disekitar lo enggak semua orang apa paham," Salsha menganggukan kepalanya paham. Yang Aldi katakan memang ada benarnya juga.
"Lo udah baikan sama Iqbal?" tanya Salsha penasaran, dia juga menanyakan ini hanya mempertegas bagaimana hubungan Aldi dengan Iqbal secara terang-terangan. Aldi mengangkat bahunya tidak perduli.
"Gue udah baik-baik aja," jawab Aldi dengan sedikit tersenyum miring. "Tania semakin gila, gue rasa dia akan bertindak melebihi ini dari biasanya," Salsha menghela nafasnya berat. "Itu salah lo sendiri, lo memberi harapan ke Tania sedangkan lo tahu kalau sebenarnya hati lo ke siapa dan tindakan lo ke siapa," Salsha melirik Aldi sebentar, sedikit sekali.
"Sorry buat yang waktu itu,"Salsha menganggukan kepalanya. "Gue mudah memaafkan," ucap Salsha dengan suara baik-baik saja.
"Bukan masalah besar gimana keadaan gue merasakannya, yang gue perjuangkan hanya hubungan ini," Aldi menganggukan kepalanya paham, tangannya mengelus puncak kepala Salsha dengan pelan.
"Gue enggak bisa memberi beberapa harapan besar ke lo, cuma untuk sekarang. Gue hanya mau lo dan gue merasakan apa yang sebenarnya kita harapkan dari beberapa tahun yang lalu," Salsha menganggukan kepalanya setuju.
"Gue menerima maksud baik lo terhadap gue," jawab Salsha santai sekali keduanya menjadi terdiam dan menghening. Beberapa siswa mulai masuk dan dibarengi dengan Tania dan Iqbal yang masuk ke kelasnya.
Salsha juga bisa melihat Kania yang melambaikan tangannya pada Iqbal tepat di depan matanya sekali. "Pulang bareng gue nanti," ucap Iqbal cukup keras, Kania menganggukan kepalanya dan berjalan santai ke kelasnya.
Tania berdiri cukup lama saat dia melihat tempat duduknya sudha ada Salsha. Slasha yang melirik Aldi justru membuang wajahmya tidak eprduli. Aldi fokus pada Iqbal yang menatap Aldi dengan tatapan meremehkan.
"Gue duduk di sini sekarang," ucap Salsha mengatakannya dengan tidak bergetar. Prinsip Salsha hanya satu, jangan takut dihadapkan dengan apapun jika tidak ingin diinjak terlalu parah. Salsha melakukannya, walaupun sebelumnya memikirkan akan seperti apa yang pasti praktik lapangannya sangat membagongkan.
"Oh? Bagus, biar Aldi tahu siapa yang seharusnya mendapat dan di beri perhatian. Bilangin pacar lo buat jangan mementingkan hasratnya untuk membantu gue kalau pada akhirnya cuma memberi harapan palsu. Sakit loh yang gue rasakan, hati-hati. Bisa aja lo jadi korban selanjutnya," ucap Tania memberi Salsha sedikit nasihat, Salsha tersenyum miring.
"Lo duduk sama Iqbal aja, kalian sepupu jauh kan? Gue rasa duduk sama sepupu sendiri jauh lebih aman dan enggak akan memikirkan gimana diberi harapan dan berharap," Boom! Bukankah tidak kalah menyakitkan?
Salsha hanya menggunakan naluri, sayangnya ucapannya menjadi sangat mematahkan hati Tania yang tidak bermaksud mengejek dan menghina Salsha sama sekali. "Maaf, mulut dan lidah gue kesleo. Maafkan kedongkolan gue yang mulai panas melihat ular melingkari orang," sambung Salsha menggunakan mata sangat bersalah dan sayu berkaca-kaca ingin menangis.
Tania berdecit kesal, Salsha tersenyum miring ke arahnya. "Apa sekarang lo mulai ada sedikit keberanian? Kenapa baru sekarang? Kemana aja lo selama ini? Menjadi pengecut lebih dulu?" Tania menertawai respon Salsha yang menjadi pura-pura tidak lemah dihadapannya.
"Tan," panggil Salsha menatap mata Tania serius sekali.
"Gue bukan menjadi pengecut, gue hanya memberi lo sedikit ruang untuk mendapatkan belas kasihan dari gue yang memiliki banyak cinta dari semua orang," ucap Salsha mempertegas ucapannya agar Tania tahu apa maksudnya selama ini padanya.
"Mulut lo!" tuding Tania seperti sangat kesal dia tidak bisa membalas perkelahian mulutnya dengan Salsha hanya bisa menghentakkan kakinya ke lantai kelas dan berjalan ke tempat duduk Salsha dimana dia duduk di samping Iqbal.
Beralihkan ke Aldi dan Iqbal. Bagaimana mereka sing bertukar tatapan dengan sangat tajam dari pihak Aldi dan mata Iqbal yang melihat pada Aldi yang meremehkan. "Oh, ini usaha pertama lo?" Aldi memutar bola matanya malas.
"Bodoh sekali," timpal Iqbal menarik emosi Aldi tepat di depan Salsha. "Bukan urusan lo!" balas Aldi masih tidak ingin terpancing semudah ini. "Akhirnya lo sadar dan paham apa yang seharusnya lo perjuangkan dan mana yang seharusnya lo tinggalkan," Aldi memutar bola matanya malas.
Ketahuilah, rencana Iqbal hanya dengan terus membolak balilan bagaimana mereka bermain. Seperti saat Tania menjatuhkan harga diri Iqbal di depan Salsha dan begitupun sebaliknya.
Ini hanya permasalahan waktu, Iqbal tidak ingin mengedepankan akan seperti apa dan terjadi atau tidak untuk kedepannya. Iqbal tidak berharap lebih, akan tetapi ingin berusaha sekeras yang dia bisa dulu sebelum dia benar-benar merasa tidak bisa memperjuangkan dan memilih putus asa saja.
"Lo terlalu perhatian sama gue, sampai-sampai lo lupa dimana posisi lo dan apa kabar sama hati lo," timpal Aldi bermaksud memaki Iqbal dengan kata yang paling halus, Salsha melihatnya. Dia terus diam dan tidak bisa mengatakan lebih jelas jika Iqbal sangat membantunya disaat-saat Aldi pergi dengan Tania. Sangat disayangkan bukan? Salsha terus diam melihat Iqbal yang tidak bisa melawan sedikitpun.
"Bisa lo jaga sepupu lo? Dia terlalu centil dan berharap besar ke gue. Dan bukankah lo sama Kania putus enggak baik-baik. Balikan sama mantan lo aja daripada lo mengerecoki hubungan orang lain. Enggak ada baiknya juga lo membantu Salsha dengan maksud lain," Iqbal berdecak sebal, dia memutar bola matanya malas.
"Jangan ikut campur," ucap Iqbal keberatan, Aldi terkekeh mendengarnya. "Jangan memerintah orang untuk jangan ikut campur urusan lo kalau lo aja gatel ngurusin hidup gue dan orang lain,"
"Jangan jadi sok pahlawan, enggak ada pahlawan suka sama orang yang di tolong!"