"Lo udah siap?" Pertanyaan Iqbal yang perhatian membuat Kania seperti direndahkan.
"Lo mengatakan gue sampai sebodoh itu? Gue cerdas bukan pintar, kenapa gue harus belajar?" Iqbal merasa menyesal bertanya sekarang. "Gue lebih baik diam, gue tarik pertanyaan gue tadi," Kania terkekeh kecil.
"Lo belajar?" Iqbal menganggukan kepalanya tegas. Terlalu kencang dan erat sampai Iqbal seperti jika yang Iqbal sudah siapkan sudah sangat rapi sekali. Kania mendengarnya hanya terkekeh.
"Terlalu berpikir rumit, belajar terlalu banyak, takut, ragu, gugup dan gelisah membuat lo merasa terburu-buru mengerjakan nanti," nasihat Kania sekarang, Iqbal merotasikan matanya malas. "Gue melakukannya karena, gue perlu," jawab Iqbal tidak satu pendapat.
"Gue paham, akan tertapi lo keterlaluan," sahut Kania sedkit membatasi, Iqbal mengangkat bahunya malas menanggapi dan memilih diam. "Apa yang lo dapat dari belajar? Soal akan semakin mudah, lo terlalu tertuju pada jawaban paling sempurna dan hanya fokus pada satu dan mengingatnya sampai melupakan semua yang udah lo pelajari. Percuma belajar kalau hanya untuk mengingat," Lagi-lagi Iqbal kesal sekarang.
"Berhenti mengoceh dan fokuslah dengan cara belajar lo sendiri, gue enggak mengganggu. Gue berusaha bertanya satu kali dan lo terus menceramahi gue, gimana gue bisa belajar kalau lo terus mengoceh?" Sekarang Iqbal kehilangan kesabaran, Kania memberingsut kesal dan mulai diam. "Nah, diamlah," tikam Iqbal tidak main-main.
"Lo terlalu serius tadi, gue hanya mengacaukannya sedikit, lanjutkan aja. Gue masih terus diam dan belajar dengan cara gue," Iqbal tidak merespon, dia terus melihat tulisannya agar saat Iqbal mendapatkan pertanyaan atau pertanyaan tentang hal yang sama dia bisa mengawai atau menerawangnya nanti.
"Bal, apa lo yakin akan lolos dari tes ini? Akan menjadi bangsat kalau sampai lulus, gue rasa lebih baik mengaku kalah agar masa perkembangan gua sama dengan teman-teman pada umumnya," Iqbal melirik Kania sebentar lalu kembali membalik buku terakhir setelah dia mereview banyak.
"Gue enggak mau dijodohkan hanya karena gagal," jawab Iqbal tiba-tiba sekali, alis Kania terangkat bingung. "Dijodohkan?" Kania mengulang permasalahan itu dengan suaranya, Iqbal menganggukan kepalanya pelan.
"Gue enggak mau semakin kehilangan harapan untuk mencintai atau seenggaknya total buta mengharapkan Salsha. Ayah benar-benar melihat yang seharusnya enggak dia lebih, melompati kenyataan itu. Ayah gue terlalu serius, dan hal kemarin dianggap serius dengan keterlaluan," jelas Iqbal memperjelasnya lagi, Kania menghela nafasnya berat.
"Apa kalau waktu itu gue enggak kabur dari rumah dan diusir, hubungan kita masih baik-baik aja sampai sekarang?" Pertanyaan terdengar retorik itu membuat Iqbal diam saja. Dia tidak benar-benar serius mengatakannya, namun Iqbal terkesan tidam ingin menjawabnya.
"Usahakan hasil test ini, kalau karena gue hubungan lo sama pacar lo merenggang dan putus, gue akan bertanggung jawab demi itu. Syaratnya hanya, lo lolos bersamaan dengan gue hari ini," Mata Kania melotot sangat terkejut. Dia benar-benar seperti mendapat lotre dan menang dari undian nomor acak. Kania sebenarnya tidak benar-benar mengharapkan. Hanya saja, Kania menginginkan kenyamanan dari orang yang sama. Dan dia adalah orang yang sama yang sedang berdiri di depannya.
"Lo serius?" Iqbal menganggukan kepalanya tegas. "Tentu, ini dua dan tiga lebih serius hanya dari satu," Kania menggigit bibirnya keras, dia benar-benar tidak ingin kehilangan kesempatan ini.
"Deal?" tanya Iqbal mengarahkan tangannya untuk membuat perjanjian, Kania menatap tangan sepupu jauhnya itu dengan sangat menginginkannya namun hatinya masib memiliki banyak keraguan.
"Kalau gue gagal?" tanya Kania membuat Iqbal terkekeh mendengarnya. "Lakukan rencana C dan pergi menjauh dari hidup gue selamanya,"
Deg! Seperti jantung Kania berhenti berdetak. Ini seperti antara hidup dan matinya, Kania tidak bisa memilih. "Putuskan sekarang,"
°°°
"Kenapa? Apa yang lo tunggu sejak tadi pagi?" tanya Aldi pada pacarnya yang masih sangat fokus pada sisi kelas yang lain. "Enggak, hanya berusaha memperhatikan," jawab Salsha membuat Aldi tidak percaya sama sekali.
"Apa yang lo cari itu Iqbal? Dia pergi, dengan Kania. Mereka berdua menjadi dua siswa pilihan yang akan dikirim untuk ikut tes perguruan tinggi hari ini. Lo menunggu Iqbal?" Salsha lega mendengarnya, dia menjawab pertanyaan Aldi dengan gelengan kepala. "Enggak,"
"Gue cuma sedikit berpikir kalau Iqbal sakit, itu aja," jawab Salsha mengalihkan semuanya, Aldi malas mendengarnya. "Gue berharap Iqbal diterima, lo sendiri dan hanya akan bergantung untuk hidup dengan hanya sendiri," ucap Aldi cemburu, entab kenapa Salsha menjadi sangat bodoh, dia menolak tahu soal itu.
"Lo benci dia?" Aldi menjawabnya dengan gelengan kepalanga tegas. "Enggak, sama sekali enggak benci. Tapi gue benci keberadaan dia di dekat lo, ini mempersulit dan mengganggu hubungan kita. Bukankah lo juga merasakannya juga?" tanya Aldi membuat Salsha terdiam cukup lama.
"Kenapa lo harus membenci Iqbal sedangkan gue hanya risih dan marah ke Tania?" Aldi menjadi malas sekarang. "Enggak bisakah lo enggak membawa-bawa Tania dalam pembicaraan ini?" Terkesan marah sekarang, Salsha tidak terima dan langsung mengatakan.
"Jika itu Tania, bisakah lo juga memperposisikan Iqbal juga? Gue hanya enggak mau lo terus mempermainkan gue disaat seperti ini. Saat Iqbal pergi dengan Kania dan lulus bukankah hanya lo sendiri yang masih bisa bertemu dengan Tania yang lo sayang? Ini merugikan," sadar Salsha dengan posisinya, Aldi memutar bola matanya malas.
"Lupakanlah! Aku sudah tidak ada apapun dengan Tania. Aku sudah tidak pergi dengan Tania juga, hanya kamu sekarang. Apa kamu masih kurang menyadarinya?" Salsha memutar bola matamya malah.
"Laki-laki masing sangat banyak memuji dan memberi kesan baik pada kebanyakan perempuan, tapi terkadang kesannya hanya untuk berteduh sebentar sekali," ucap Salsha mengatakan jika Iqbal hanya seperti itu, dan Salsha juga menginginkan jika Tania juga sama seperti Iqbal di dalam hidupnya.
"Lupakan Iqbal dan lupakan apa yang berusaha dan sudah dia lakukan pada lo, maka gue akan melakukan hal yang sama ke Tania setelah lo melakukannya," Salsha terkekeh menggampangkan sekarang.
"Gue menjauhi Iqbal dan lo enggak malakukannya, kenapa gue harus percaya soal itu? Perasaan perduli lo keterlaluan dan sangat berlebih. Itu sangat membuat Tania diuntungkan. Bukankah gue yang sangat dirugikan? Menyenangkan gue baru menyadarinya sekarang," Aldi menyadari sesuatu.
"Apa yang berusaha lo katakan, bukan itu tujuan awalnya," cegah Aldi berusaha memaksa keluar pikiran kotor Salsha padanya.
"Memang, hanya saja gue udah terlalu percaya. Maafkan gue," Aldi mengeluh, dia menghela nafasnya berat. "Awasi hati dan perasaan lo sekarang. Jangan buat gue membenci Iqbal walaupun sebenarnya dia enggak ada di sini. Gue takut semua hal ini membuat gue semakin membenci Iqbal hanya karena masalah sepele," Aldi mengingatkan sekarang, dan dia berusaha memperingati Salsha.
"Gue enggak bermaksud," sadar Salsha membuat Aldi menganggukan kepalanya pelan. Aldi mulai berdiri dan mengajak Salsha ke kantin. Salsha menerimanya, dua detik setelah Sasha berhasil terciduk melihat kursi kosong Iqbal lagi oleh mata marah Aldi.
"Gue bisa merasakan seberapa besar hasrat lo menginginkan Iqbal hanya karena ini," celetuk Aldi menyadarkan Salsha, Salsha menjawab dengan gelengan kepala dan gerakan tangannya juga.
"Enggak-enggak enggak, gue hanya masih berpikir kalau sebenarnya Iqbal sakit," Aldi memutar bola matanya malas.
"Sebesar ini kah perasaan dan rasa takut lo kalau Iqbal sakit? Sadarlah! Pacar lo itu gue, bukan Iqbal!"
Aldi total marah sekarang, Salsha menggigit bibir bawahnya dalam. Satu hal yang tidak Aldi sadari jika dulu dan kemarin malam masih sama. Aldi masih berhubungan dan mengirim pesan rutin pada Tania tanpa dosa. Dan sekarang?
Sudahkan Aldi terkesan brengsek, sekarang?