"Gue mau lo jelasin semuanya," minta Salsha pada Aldi dengan to the point saja. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman kota sore ini. Salsha bisa mendengar Aldi menghela nafasnya berat.
"Apa yang lo tanya semuanya benar, gue hampir buat Bastian meninggal ditempat karena efek minuman," jawab Aldi lirih, Salsha memasang wajahnya sangat datar. "Dimana sisi lo yang dulu? Yang terus terang melakukan apa yang menurut lo benar dan nyakitin siapa aja yang deketin gue?" tanya Salsha membuat Aldi terdiam.
"Lo Al, gue bingung mau percaya yang mana. Gue enggak tahu harus bersikap seperti apa, gue seneng lo bisa jaga gue sampai separah itu. Tapi gue masih enggak habis pikir kenapa lo bisa sampai mukulin Bastian karena gue," Aldi terlihat murung sekarang. "Lo tahu gue dulu egois, dan entahlah. Gue udah melupakan apa yang pernah gue lakukan ke Bastian. Itu udah lama banget," Salsha tertawa mendengarnya.
"Apa lo gila sampai-sampai mau bunuh orang demi perasaan konyol lo itu?" Aldi berdecit sebal. "Gue enggak tahu, dan gue saat itu enggak sadar kalau gue mukulin Bastian, kenapa lo memperpanjang masalah yang sebenarnya udah enggak dipermasalahkan!"
"Apa lo enggak pernah berpikir dampak buruknya?" Aldi memutar bola matanya malas. "Terus terang aja kenapa lo mau ngomong apa sama gue, gue enggak mau membahas kejadian yang udah terjadi,"
"Apa lo udah minta maaf ke Bastian?" tanya Salsha memastikannya, Aldi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Salsha meringis pelan, Aldi sudah tidak mau membahasnya lagi, dan dia juga tidak meminta maaf. Apa yang ada dipikirkan Aldi sebenarnya.
Aldi memainkan jarinya sedikit gugup, dia melirik Salsha sebentar. "Lo pasti benci banget sama gue," ucap Aldi setelahnya. "Gue hampir kecewa sama lo," jawab Slasha menatap ke jalan raya dengan tatapan kosong.
"Lo yang selama ini baik-baik aja, humoris, romantis, perhatian, selalu perduli sama siapa aja. Semua yang lo lakukan ke gue terasa hambar akhir-akhir ini. Apa lo merasakannya juga?" Salsha majukan bibirnya sedikit cemberut.
"Kenapa bisa orang semanis lo bisa melakukan hal diluar kendali manusia cuma gara-gara cinta aneh lo yang belum jelas. Apa lo sadar Al? Selain gue melihat lo dengan sedikit keraguan, lo juga bisa aja jadi penjahat karena gue," Aldi menganggukan kepalanya setuju. "Gue tahu, dan gue juga sadar apa yang gue lakukan akhir-akhir ini," Salsha merasa lebih baik lagi hari ini.
"Kalau lo sadar kenapa lo enggak minta maaf sama Bastian?" Aldi menggelengkan kepalanya tidak ingin. "Gue enggak punya waktu baik buat ngomongin ini, dia terus-terusan maksa gue buat pacaran sama lo. Dia enggak mau tahu kalau kondisi sekarang jauh lebih sulit dari yang dia bayangkan," Salsha tersenyum tipis.
"Apa lo suka sama Tania, Al?" Pertanyaan Salsha mampu membuat Aldi terdiam tidak menjawab, mereka berdua diam cukup lama hanya untuk memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan masing-masing. "Apa lo ada rasa sama Iqbal?" Salsha menghela nafasnya berat.
Kenapa Aldi justru membalik pertanyaannya sekarang? "Kenapa lo balik tanya sama gue?" Aldi terkekeh mendengar Salsha mengembalikan pertanyaannya lagi. "Gue butuh Iqbal," jawab Salsha dengan sura pelan, Aldi mendengarnya.
"Al, gue benar-benar enggak bisa berpikir harus seperti apa kedepannya," Aldi menganggukkan kepalanya menyetujui. "Gue sayang sama lo Sal," ucap Aldi mengikutinya. "Tapi, gue juga butuh Tania," Salsha menghela nafasnya pelan.
"Sakit ternyata dengar langsung dari bibir lo," ucap Salsha dengan mata menahan tangis. "Gue sayang sama lo, dan lo juga sayang sama gue. Kenapa lo butuh Tania juga? Gue bisa satu hari aja enggak sama Iqbal, tapi lo?" 'Aish,' Salsha rasa-rasanya ingin menangis.
"Maaf," jawab Aldi meruntuki dirinya sendiri. "Gue nyaman sama kalian berdua, gue sayang sama lo dan gue butuh Tania setiap waktu," Salsha mengelap aimatanya saat satu matanya menangis tidak diinginkan.
"Gue enggak suka sama Iqbal, gue nyaman dia ada disamping gue sebagai teman selagi lo pergi sama Tania. Kenapa lo enggak mau tahu sampai arah mana gue nunggu lo?" Tangisan Salsha pecah saat mengatakannya. "Al, gue nunggu lo selama ini, gue ngasih kesempatan sama lo karena gue percaya kalau lo benar-benar sayang sama gue,"
"Akhirnya miris, gue sayang sendirian kan?" tanya Salsha pada Aldi, Aldi menggelengkan kepalanya tidak sependapat.
"Enggak, gue sayang juga sama lo," jawab Aldi membuat Salsha memutar bola matanya jengah. "Tapi lo lebih nyaman sama Tania," Salsha menghela nafasnya pasrah.
"Lucu ya," ucap Salsha tiba-tiba. "Kenapa lo enggak putuskan salah satu diantara gue sama Tania?" Salsha meminta jawabannya, Aldu menggelengkan kepalanya sedikit ragu.
"Apa lo mau jauhin Iqbal selagi gue ngasih pengertian ke Tania? Gue benar-benar mau menyelamatkan cinta pertama gue," minta Aldi pada Salsha baik-baik. Salsha menganggukan kepalanya pelan.
"Apa lo mau minta Tania buat jauhin lo?" tanya Salsha menanyakan, Aldi menganggukan kepalanya pelan. "Gue mau Tania tunggu gue, gue mau tahu seberapa gue bisa menyelamatkan lo dan mencampakkan Tania," Salsha terkekeh lucu.
"Kenapa lo mengulangi apa yang seharusnya enggak lo lakukan lagi?" Aldi menaikkan alisnya bingung dengan arah pembicaraan Salsha. "Apa?"
"Lo terus-terusan mencampuri hidup gue dan lo enggak mau kalau hidup lo dicampuri sama orang lain. Kenapa selama ini lo enggak menerapkan cara lo hidup ke orang lain?"
"Lo enggak suka hidup lo diatur orang lain, dan lo juga harus tahu. Orang-orang juga enggak suka hidup mereka lo atur sesuka lo. Gue enggak mau hidup gue lo atur!" Aldi menundukkan kepalanya sedikit. Benar, kenapa dia masih saja melakukan hal itu pada Salsha. Dan kenapa Tania tidak keberatan soal ini.
"Maaf," cicit Aldi sangat merasa bersalah. Dia menatap Salsha cukup dekat. "Bantu gue perbaiki semuanya," minta Aldi dengan wajah bingung, dia masih ingin melakukan banyak hal dengan Salsha. Banyak sekali seperti yang dia bayangkan dulu sekali.
Salsha menganggukkan kepalanya setuju, dia tidak keberatan. "Gue mau lo baik di mata semua orang," ucap Salsha dengan senyumannya. "Gue mau kita baikan, lupakan Tania sama Iqbal untuk hari ini," Salsha menganggukan kepalanya setuju.
Mereka berdiri saling berpelukan melepaskan semua masalahnya. "Gue sayang sama lo," bisik Aldi disamping telinga Salsha. "Gue juga sayang sama lo,"
°°°
"Gue seneng lihat mereka akur," ucap Bastian dari kejauhan, ada Rio juga. "Lo boleh senang karena lo enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama mereka berdua akhir-akhir ini," balas Rio dengan tatapan kesal melihat Bastian tersenyum lebar.
"Gue enggak suka Salsha balik lagi ke Aldi," sambung Rio. Bastian memutar bola matanya malas. "Gue tahu lo enggak suka sama Aldi karena lo sempat diancam juga kan sama dia?" Rio memutar bola matanya malas, apa yang dikatakan Bastian memang benar. "Salah satunya memang itu, tapi gue masih punya alasan lain selain itu,"
"Apa?" Tanya Bastian penasaran dengan teman satu kelasnnya itu. "Lo lihat cowok di sebelah sana?" tunjuk Rio pada seseorang yang menggenakan pakaian sekolah yang sama, Bastian menganggukan kepalanya mengatakan jika dia melihat.
"Gue bakal benci banget sama Aldi kalau dia cuma mempermainkan perasaan dia sendiri sama Salsha dan nyakitin dia. Gue lebih suka Salsha sama Iqbal karena dengan begitu enggak akan yang disakiti lagi disini,"
"Aldi di mata gue cuma terobsesi sama Salsha, dia enggak tulus sama Salsha, dia cuma terobsesi mendapatkan dan setelahnya dia enggak cinta beneran sama Salsha. Gue lebih ikhlas Salsha sama Iqbal karena gue percaya Iqbal cuma sayang sama Salsha, sedangkan Aldi punya dua perasaan yang masih diragukan sama dirinya snediri," Belum sempat Bastian akan menyela, Rio kembali bersuara.
"Gue tahu lo yang paling dekat sama mereka berdua, tapi lo jangan terlalu ikut campur urusan mereka berdua juga. Aldi yang punya perasaan, lo enggak berhak maksa seseorang mau ke siapa. Salsha yang punya perasaan, dan lo enggak ada tanggung jawabnya juga terus ganggu Salsha sama Iqbal. Jangan sampai saat Salsha udah dekat sama cowok selain Aldi dan lo datang merusak kepercayaan Salsha agar Salsha suka lagi sama Aldi,"
"Jangan sok tahu, lo bukan Aldi yang bisa memutuskan harus Salsha atau siapa. Cinta enggak selucu itu!" Rio meninggalkan Bastian sendirian. Sudah sangat lama Rio melihat gerak-gerik Bastian yang mencampuri urusan mereka bertiga.
Mereka saja sudah merasakan sakit yang sama, kenapa harus menambah orang dan kembali mempersulit jalan keluar? Bukankah harus membunuh satu persatu agar keluar dari lorong gelap?
°°°
Iqbal menatap kosong pada sepatunya, ah. Dia baru saja mendapat jawaban baik dari Salsha, dan sekarang Salsha dengan Aldi juga berbaikkan juga. Apa hanya sampai sini saja Iqbal bisa dekat dengan Salsha? Kenapa miris sekali.
Padahal dia sudah berfikir jika dia akan semakin dekat dengan adanya masalah ini, kenapa Aldi justru kembali datang dan mendekat dengan Salsha. Apa Iqbal akan dibuang, dan sendirian lagi?
Iqbal kembali mengintip Salsha yang sedang tertawa dengan Aldi karena Aldi mengelitiki perut Salsha. Dia meraba dadanya, kenapa rasa nyeri itu kembali hadir jika melihat Salsha dekat dengan Aldi.
Dulu sebelum Iqbal bisa dekat dengan Salsha rasa sakit ini tidak sebesar sekarang. "Apa gue berhenti sampai sini aja?" gumam Iqbal yang menatap Salsha mulai tersenyum manis dengan Aldi.
"Ayah," gumamnya lagi tanpa tahu jika mencintai akan semenyesakan ini, tanpa sadar ada butir air mata yang menetes dari kedua mata Iqbal. Untuk pertama kalinya dia menangis hanya karena rasa sakitnya mencintai. Ini aneh, Iqbal anak yang kuat. Kenapa dia harus menangis hanya karena ini.
"Gue enggak tahu harus berjuang atau memilih mundur," lirihnya masih bersuara kecil, dia berjalan menjauh dengan cepat seperti lari.
Dia tidak ingin terlihat jika dia lemah. Dia tidak mau ada yang melihatnya menangis. Apa dengan menangis dan menahan rasa sakit bisa mengembalikan Salsha padanya? Iqbal sangat percaya itu tidak mungkin.
Yang Iqbal tahu, Salsha masih mencintai Aldi. Iqbal harus menanam fakta itu diingatannya dan menelannya mentah-mentah.
"Gue bego, gue bego berharap dan perjuangin orang yang jelas-jelas enggak suka sama gue dan gue bodohnya gue terus memaksa diri gue sendiri buat enggak tahu yang sebenarnya," Iqbal menangis diperjalanan pulangnya.
"Apa gue menjadi pecundang aja sekarang?"