"Kenapa?" tanya cewek di sebelah Rio yang masih melihatnya cukup serius, sesekali juga dia menghela nafasnya kasar. "Masih kepikiran masalah Kak Salsha? Kenapa harus ikut campur terus? Urusan mereka ya urusan mereka, kenapa Kak Rio masih aja ikut campur yang sebenarnya bukan urusan kakak. Percuma juga kakak memberi nasihat ke mereka kalau mereka enggak cocok sama nasihat kakak," Rio menganggukkan kepalanya, dia masih murung.
"Sebenarnya mereka cocok, mungkin waktunya aja yang enggak pas. Buktinya sebelum Bastian masuk ke Sekolah ini, mereka oke-oke aja, dasar Bastiannya aja yang perusuh," Casa masih diam saja, dia tidak habis pikir dengan apa yang ada dikepala Rio. Mungkin semua orang sudah dinasihatinya, tapi ingatkan Casa jika dia tidak bisa dinasihati semua jenis nasihat sedikitpun.
"Kak, jangan bertindak seakan-akan kakak itu orang berpengaruh, jangan bertindak seakan-akan mereka yang salah. Kakak juga salah, kalian berdua salah,"
"Kak Bastian enggak salah kalau dia datang di hidup kalian, dan Kakak juga enggak salah belain Kak Iqbal. Kalian berdua salah dibagian kalian ikut campur urusan mereka. Itu aja kak," Casa memutar bola matanya cukup kesal sekarang. "Permasalahan percintaan Kak Aldi, Kak Salsha sama Kak Iqbal, kenapa kakak yang perang dingin sama Kak Bastian? Enggak ada gunanya Kak," Casa menjelaskannya dengan cukup kasar sekarang. "Tapi, gue--" Casa menggelengkan kepalanya menolak tahu.
"Mungkin awalnya kakak perduli, tapi apa kakak pernah berpikir gimana perasaan aku? selama kita berdua dekat pembahasan kakak cuma Kak Aldi, Kak Salsha sama Kak Iqbal. Kenapa harus mereka bertiga terus. Kak Salsha harus sama siapa, apa lah, ini lah, itu lah. Kak, aku juga butuh penjelasan. Kalau kakak enggak mau serius sama aku, kenapa kakak ngajak aku serius? Apa kakak akan selamanya ikut campur urusan Kak Salsha dan lainnya terus Kakak sendirian aja begitu?"
Rio terdiam, dia mencerna semua kata demi kata yang Casa ucapakan padanya. Dia juga masih bingung, apakah jika Iqbal dengan Salsha bersama dia juga ikut bahagia?
"Bukan begitu, gue bingung memulai pembicaraan kita lebih dulu, dan gue enggak begitu hamble sama orang lain," Casa memutar bola matanya malas. "Kak apa Kak Rio mau serius sama aku?" tanya Casa sedikit menuntut jawabannya.
"Kak aku sayang sama Kak Rio, tapi bukan begini cara Kak Rio memperlakukan perasaan aku. Aku tahu kakak perduli sama mereka, tapi bukan dengan mempermainkan perasaan aku. Aku enggak sekuat itu Kak," ucap Casa memperjelas perasaannya.
"Kak, langsung aja kalau kakak enggak suka sama aku lepasin semua hubungan gila ini. Aku enggak mau terus menjalani hubungan kalau kakak enggak benar-benar suka sama aku. Aku enggak bisa terus perjuangin hubungan ini sendirian, Kak. Apa kakak benar-benar saya sama aku?" tanya Casa meminta Rio untuk menjawabnya
"Gue sayang sama lo," Casa menganggukkan kepala menerimanya. "Kalau kakak mau serius sama aku. Ayo buktikan Kak," ajak Casa dengan mata memohon pada Rio.
"Gue serius, gue sayang sama lo. Harus gimana lagi gue membuktikannya?" tanya Rio bingung dengan permintaan Casa. "Ayo mulai dari kakak jangan ikut campur urusan Kak Salsha. Apa Kak Rio mau menepati janji ini?"
°°°
"Iqbal," panggil Salsha melihat Iqbal berjalan sendirian di pinggir jalan. Mendengar ada yang memanggilnya, Iqbal mencepatkan jalannya untuk menghindari masalahnya sendiri.
"Bal!" Sekarang Salsha berseru untuk mendapat perhatian dari Iqbal, sayangnya itu tidak merubahnya. "Bal, lo kenapa?" tanya Salsha berhasil menghentikan Iqbal yang membuang wajahnya tidak ingin melihat pada Salsha.
"Lo nangis?" Salsha kembali menanyakan apa yang terjadi padanya. "Apa? Kenapa gue harus nangis, gue cowok. Mana ada cowok nangis," jawab Iqbal menyangkalnya.
"Gue lihat mata lo merah," ucap Salsha kembali memperhatikan wajah Iqbal, yang ditatap mengalihkan wajahnya. "Banyak debu disini," jawab Iqbal sekenanya, Salsha menganggukan kepalanya percaya saja.
"Dimana mobil lo? Kenapa pulang jalan kaki?" Iqbal mengangkat bahunya malas. "Ayah ngantar gue tadi, ayah bilang dia enggak bisa jemput gue. Gue pulang jalan kaki sekarang," Salsha tersenyum mendengarnya.
"Kenapa enggak naik bus?" Iqbal menggelengkan kepalanya menjawab dia tidak bisa. "Gue di rumah sendirian, jadi lebih seru gue jalan pulang kaki," jawab Iqbal sekenanya.
"Lo kenapa bisa di taman kota di jam segini? Enggak langsung pulang?" Salsha menggelengkan kepalanya. "Masalah gue selesai sekarang," Iqbal tersenyum melihatnya.
"Oh ya?" Salsha menganggukan kepalanya antusias. "Gue ikut senang lihatnya," Salsha tersenyum puas sekali sekarang.
"Terimakasih semua nasihat lo selama ini Bal," Iqbal menganggukan kepalanya merasa tidak keberatan, dia juga memperlihatkan wajahnya jika dia sangat ikut senang melihat Salsha akur dengan masalahnya.
"Gue senang bisa ngebantu lo," Salsha mengelus puncak kepala Iqbal yang lebih tinggi darinya dengan sedikit menjinjit.
"Tanpa lo, gue enggak akan pernah tahu isi perasaan gue sendiri. Tanpa lo, gue enggak bisa berhasil menyadarkan Aldi kalau dia sayang sama gue," Iqbal membelakangkan rambutnya dengan satu tangannya.
"Lo tahu Sal, dengan cara gue ngebantu lo sadar dengan perasaan lo. Secara enggak langsung, gue juga lagi menyadarkan perasaan gue sendiri kalau gue enggak bisa memiliki lo seutuhnya. Sayangnya dia enggak mau bisa ngerti kalau gue terlalu memaksakan diri," ucap Iqbal membuat Salsha terdiam.
"Sal, lo tahu gue suka sama lo. Dan lo juga tahu kalau gue membantu lo demi keinginan gue bisa dekat sama lo. Seperti ini aja gue udah bahagia, kenapa harus mau jadi pacar lo. Gue tahu diri soal itu," Iqbal mengelus puncak kepala Salsha pelan. "Jaga diri lo," Salsha menggelengkan kepalanya keberatan.
"Kenapa gue harus jaga diri gue sendiri sedangkan lo masih ada buat jagain gue?" Iqbal terkekeh mendengarnya. "Enggak akan ada yang tahu kedepannya akan seperti apa," jawab Iqbal sekenanya. Dia tersenyum sedikit simpul.
"Gue pulang dulu, jaga diri lo baik-baik. Walaupun lo ada gue, enggak seharusnya juga lo enggak bisa jaga diri lo sendiri," pamit Iqbal mengelus rambut belakang Salsha dengan pelan seperti 'puk-puk'.
"Bal, maaf," lirih Salsha saat Iqbal sudah berjalan lima langkah menjauh darinya. Iqbal menghentikan langkahnya.
"Kenapa minta maaf?" tanya Iqbal tidak membalik badannya. "Maaf selama ini gue enggak bisa membalas perasaan lo," Iqbal menganggukan kepalanya merasa dia baik-baik saja.
"Gue enggak bisa menuntut perasaan seseorang buat sayang sama gue. Gue tahu lo enggak bisa memaksakan diri lo sendiri, begitupun gue," Iqbal membalik badannya untuk berjalan lebih dekat pada Salsha.
"Gue enggak bisa maksa lo sayang sama gue, dan gue juga enggak bisa memaksa diri gue sendiri buat sayang sama orang lain. Itu contohnya," Salsha gugup sekarang, dia merasa sangat bersalah dengan apa yang dilakukannya.
"Maaf," lirih Salsha lagi, hatinya sakit sekarang. Iqbal menggelengkan kepalanya tegas. "Kenapa lo menunduk dan merasa bersalah sama gue? Lo enggak salah, yang salah gue. Gue yang terus berharap sama lo, dan gue yang terus enggak tahu diri kalau pemilik hati lo udah ada Aldi disana," Iqbal menujuk dada kiri Salsha sekarang.
"Jangan persilahkan gue masuk ke sana kalau lo benar-benar enggak punya gue disana ya? Gue benar-benar enggak bisa dipaksa untuk masuk kalau lo enggak mau," Tangisan Salsha pecah sekarang, rasa bersalahnya menjadi tiga kali lipat.
"Bal, kenapa bukan lo yang gue sayang sekarang. Kenapa harus Aldi," ucap Salsha dengan air mata mengaliri pipinya. "Kenapa gue enggak bisa mengalihkan perasaan gue sama lo?" tanya Salsha dengan menggigit bibir dalamnya untuk tidak terdengar menangis. Iqbal menghapus jejak air mata Salsha sangat pelan.
"Apa lo tahu Sal? Tuhan punya rencana lain yang lebih indah selain ini," ucap Iqbal membelakangkan rambut Salsha agar tidak menutupi wajahnya. "Tuhan tahu yang terbaik untuk lo kedepannya, mungkin sekarang Aldi benar-benar yang lo mau. Tuhan baik karena dia mempersilahkan itu, lo nunggu dia lama banget. Hal ini terjadi wajar karena lo dulu sangat-sangat berharap sama Aldi,"
"Hapus air mata lo, kenapa lo harus nangis di depan gue sedangkan lo baru aja baikan sama Aldi? Jangan buat gue harus terus perjuangin lo karena tangisan lo adalah teriakan minta tolong untuk melepaskan lo dari hubungan yang lo inginkan sendiri,"