Chereads / Sekarang dan Selamanya / Chapter 6 - ENAM

Chapter 6 - ENAM

Hira dan Aldo turun dari mobil berbarengan di depan gerbang sekolah yang sudah mulai ramai dengan siswa-siswa yang juga baru saja tiba di sekolah.

Melihat mereka berdua turun dari mobil yang sama, orang-orang langsung heboh dan berbisik-bisik. Aldo berusaha mengabaikan mereka dan terus berjalan ke arah kelasnya yang berbeda arah dengan kelas Hira. Hira bisa merasa kalau cowok itu kesal padanya, hanya karena Hira menolak menurunkan Aldo di halte yang tidak jauh dari sekolah dan memilih untuk turun bersama di depan gerbang sekolah yang sudah pasti mengundang banyak gosip dan rumor.

Hira sudah duduk manis di kelasnya saat Kesha berlari-lari ke arahnya dengan wajah penasaran. Di belakangnya Farah mengikuti.

"Apa yang barusan gw liat itu beneran? Lo kok bisa bareng cowok aneh itu?" Tanyanya bertubi-tubi.

"Namanya Aldo dan gue udah bilang kalo dia bukan cowo aneh, ya, Kesha sayang."

"Ah, whatever. Lo beneran ga jadian sama cowok aneh itu kan?"

"Kalo gue jadian kenapa dan kalo gue ga jadian kenapa?" Tanya Hira.

"Yah, gue ga percaya aja lo kok mau-maunya pacaran sama cowok aneh itu? Masa standar lo turun sih dari kak Jeff."

"Perasaan gue ga pernah bilang kalo tipe idaman gue itu kak Jeff, deh."

"Ih, iya kok. Kan lo sendiri yang bilang waktu itu kalo kak Jeff itu ganteng dan keren banget," Kesha ngotot.

Hira tertawa. Hanya karena dia bilang kalau kak Jeff, kakak kelasnya di kelas 3 IPA 1 itu terlihat keren waktu di pertandingan basket antar kelas, Kesha sampai berpikir kalau tipe cowoknya adalah cowok seperti itu.

"Baiklah. Lo ga salah, tapi lo ga benar juga. Pertama, sebagai cewek, gue suka ngeliat cowok ganteng, dan bagi gue kak Jeff memang cukup ganteng, tapi bukan berarti dia tipe cowok gue," Hira berhenti sejenak untuk terkekeh melihat Kesha yang merasa menang.

"Tuh, kan lo sendiri bilang kalo kak Jeff ganteng. Ga usah menyangkal ya kalo lo suka sama dia," Sahut Kesha tidak mendengarkan ucapan Hira yang terakhir.

Farah cuma bisa geleng-geleng kepala melihat mereka berdua sudah beradu argumen pagi-pagi. Sangat berfaedah.

Hira lalu menyuruh Kesha untuk berhenti bicara karena dia mau melanjutkan ucapannya.

"Kedua, Aldo bukan pacar gue. Gue udah bilang kalo dia itu dewa penyelamat gue. Dan karena dia sudah menjadi dewa penyelamat gue, gue hanya balas membantu dia. Itu aja kok."

Kali ini Kesha mendengar dengan baik ucapan Hira.

"Dewa penyelamat gimana?"

"Dia jadi tutor lo kan, Hir?" Tiba-tiba muncul Santi yang langsung duduk di sebelah Kesha.

Kesha bergantian menatap Santi dan Hira.

Hira tersenyum. "Yah kurang lebih seperti itulah."

"Hemm, sudah gue duga. Nilai geografi lo yang meningkat tajam pasti hasil diajari sama Aldo. Secara dia juara umum."

Kesha menatap Hira. "Beneran?"

Hira mengangguk. Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan Aldo di hari dia di panggil oleh Pak Bambang.

"Oalah, jadi begitu toh. Tapi memang sih, nilai lo amburadul banget. Bisa-bisanya Pak Bambang kepikiran buat nyuruh Aldo ngajarin lo." Kali ini Kesha menyebut nama Aldo dengan benar, bukan dengan sebutan cowok aneh.

"Kasian banget ga sih, si Aldo? Dia pasti stres banget ngajarin lo," Kata Santi.

Hira tertawa. "Coba nanti gue tanya, dia stres atau ga ngajarin gue."

"Yah tapi untunglah lo ga beneran jadian sama dia. Huftt...," Kesha menarik napas lega.

"Lo Kesh, dari tadi kayak ga terima banget kalo misalnya Hira jadian sama Aldo," Farah ikut nimbrung.

"Loh, ya tentu saja. Sebagai teman yang baik, gue ga setuju kalau teman gue yang cantik ini jadian sama cowok aneh. Minimal cowok Hira harus kayak kak Jeff, sih."

"Yaelah, kak Jeff lagi, kak Jeff lagi," Kata Farah mencibir sementara Kesha hanya cengengesan.

***

Hira kembali menunggu Aldo di depan gerbang dekat parkiran sepeda motor. Aldo terlihat jalan sendirian dan teman-teman sekelasnya di belakang menggodanya dengan memberikan lirikan sambil mesem-mesem. Semua itu membuat Aldo jengah dan merasa terganggu.

Dari jauh dia melihat Hira yang berdiri santai sambil memainkan ponselnya. Si penyebab masalahnya ada di depannya sekarang dan Aldo bertambah kesal melihat Hira yang terlihat biasa saja. Padahal gadis itu sudah membuatnya menjadi sorotan orang-orang.

Aldo melewati Hira begitu saja tanpa bicara sepatah katapun. Hira yang melihat Aldo lewat di depannya buru-buru mengejar cowok itu dan mensejajari langkahnya.

"Do, kok buru-buru banget jalannya."

"..."

"Eh, tunggu. A...aakk..," Hira tersandung batu dan lututnya terluka. Aldo menghentikan langkahnya dan melihat Hira yang meringis kesakitan karena dengkulnya berdarah.

"Astaga." Aldo menghela napas frustasi.

Cowok itu menghampiri Hira. "Kamu baik-baik saja?"

Hira mengangguk. Tapi sedetik kemudian wajahnya kembali meringis.

"Ayo kita segera pulang biar dengkul kamu bisa di obati."

Aldo membantu Hira menuju mobilnya yang sudah terparkir manis, dengan di bantu oleh pak Amir, Hira berhasil masuk ke dalam mobilnya dan duduk dengan nyaman. Aldo duduk di sebelah pak Amir. Padahal Hira sudah menyuruhnya agar dia duduk di belakang bersamanya, tapi Aldo tidak mau mendengar.

***

Mereka sampai di rumah Aldo yang terlihat sepi. Wajar saja karena mama Deina sedang bekerja.

Hira kembali duduk di teras dan melihat lututnya yang mengeluarkan darah lebih banyak. Aldo yang panik segera masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan kotak P3K. Setelah membasuh kaki Hira dengan air bersih, Aldo mulai mengobati kaki Hira dengan hati-hati.

"Terima kasih, Do."

Aldo cuma mengangguk lalu masuk ke dalam rumahnya. Hira tampak canggung, apakah dia di perbolehkan masuk atau tidak ke dalam rumah Aldo.

Tak lama kemudian Aldo muncul dan menyuruhnya untuk masuk. Hira duduk di sofa dan merebahkan tubuhnya, semilir angin yang masuk melalui daun jendela yang terbuka lebar membuat Hira merasa mengantuk.

Aldo yang keluar dari kamarnya setelah berganti baju, terheran-heran melihat Hira yang begitu mudahnya tertidur.

"Bisa-bisanya dia tidur di rumah orang lain," Meski geleng-geleng kepala melihat kelakuan Hira, tapi Aldo segera menuju kamarnya dan kembali bersama dengan selimut panjang. Cowok itu menyelimuti Hira yang tampak pulas tidur bersandar di sofa rumahnya. Yah, Aldo tidak menampiknya, rumahnya memang sejuk. Dia-pun tak jarang bisa tertidur lelap jika sedang bersantai di sofa ruang tamunya.

Aldo duduk di sofa sebrang Hira dan mulai membaca buku pelajarannya. Hanya ada keheningan, suara napas teratur dari Hira yang tertidur lelap, dan suara jam yang berputar pelan. Ditambah dengan semilir angin membuatnya juga sedikit mengantuk. Aldo menguap. Tapi masih bisa di tahannya.

Sekitar sejam kemudian, Hira menggeliat-geliat dan membuka matanya perlahan, pemandangan di depannya agak berbeda, rasanya dia tidak mengenal rumah ini. "Oh, dimana gue?" Batin Hira terkejut, dengan sedikit terlonjak Hira bangun, dan mendapati Aldo yang sedang sibuk mencorat-coret bukunya dengan latihan soal.

"Oh...," Hira menghela napas lega. Hira menatap selimut tipis yang menutupi tubuhnya.

"Sudah bangun?" Tanya Aldo.

Hira tersenyum malu. "Maaf ya, Do. Habisnya ngantuk banget."

Aldo tak menyahut.

Hira menatap jam dinding dan kaget karena dia tidur cukup lama.

"Kenapa aku ga di bangunkan?" Gumamnya pelan. Hira benar-benar merasa malu dan bersalah dalam waktu yang bersamaan. Padahal tujuan dia kesini adalah untuk belajar, tapi dia malah tidur.

"Bagaimana kalau kita makan dulu?" Tanya Aldo.

Hira menatap Aldo. Rasa bersalahnya bertambah karena cowok itu belum makan siang sama sekali.

Melihat Hira yang tidak menjawab dan tampak berpikir keras, Aldo menghela napas.

"Tadi aku belum lapar. Baru laparnya sekarang. Jadi ayo kita makan. Atau kamu ga mau makan siang?"

Mendengar ucapan Aldo barusan, semangat Hira timbul lagi.

"Tentu saja aku mau. Aku sudah lapar sekali."

Mereka berdua menuju ruang makan dan makan masakan mama Deina yang sebelumnya sudah di hangatkan oleh Aldo.

"Wah, enak sekali." Kata Hira dengan lahap.

"Tentu saja. Ini adalah masakan mamaku," Kata Aldo bangga.

"Kamu beruntung sekali, Do," Ucap Hira sungguh-sungguh tanpa ada maksud lain.

Aldo terdiam, tiba-tiba saja dia merasa bersalah pada Hira. Gadis itu kehilangan mamanya dalam usia yang relatif muda.

"Tadi suara perutmu berisik sekali. Aku rasa kalau bukan karena perutmu lapar mungkin kamu tetap akan tidur sampai besok pagi." Aldo mengalihkan pembicaraan.

Mendengar ucapan Aldo, wajah Hira menjadi semerah kepiting rebus.

"Apa iya perutku berbunyi?" Tanya Hira malu.

Aldo tidak bisa menahan tawanya melihat wajah Hira yang memerah.

"Hahaha...., aku cuma bercanda."

Hira menghela napas lega. "Aku kira perutku benar-benar berbunyi. Jahil banget sih, Do."

Aldo masih tertawa yang kemudian diikuti oleh Hira. Mereka pun lanjut makan bersama sambil sesekali mengobrol santai.