Langit sudah gelap dan beberapa lampu penerangan di sekitar kawasan ruko terbengkalai itu menyala temaram. Aldo yang mulai tersadar, meringkuk kesakitan di tanah yang kotor dan sepi, kacamatanya rusak parah, wajahnya lebam, jaketnya sobek begitu juga dengan celananya, lalu tasnya terlempar cukup jauh dari tempatnya berada.
Dengan penuh perjuangan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Aldo meraih tasnya dan berjalan dengan terbungkuk-bungkuk naik ke atas motornya yang masih berdiri tegak. Aldo menghela napas lega, setidaknya motornya tidak di rusak oleh gerombolan preman berkedok anak SMA itu.
Dia pun mulai menyalakan motornya. Dia sangat ingin segera pulang ke rumah. Makanya, meski tubuhnya sakit semua, Aldo tidak peduli, dan bahkan orang-orang yang berpapasan dengannya memandangnya ngeri, Aldo tetap tidak peduli. Dia hanya terus fokus mengemudikan motornya menuju rumahnya.
***
Hira sedang makan martabak telur bersama mama Deina. Kebetulan sekali saat gadis itu sedang menunggu Aldo yang tidak kunjung pulang, malah mama Deina yang muncul membawa dua kotak martabak telur.
Mama Deina tersenyum melihat Hira yang sangat lahap makan martabaknya.
"Pantas aja tadi rasanya tante tuh pengen beli martabaknya 2 loyang, ternyata memang ada Hira di rumah."
Hira tersenyum ceria. "Hehe, prediksi tante memang selalu tepat."
Mama Deina mengelus-elus rambut Hira yang panjang dan lembut.
"Tapi kamu kok ada di luar sendirian? Aldonya ga pulang bareng kamu?"
Hira menggeleng. "Sebenarnya hari ini aku ga ada jadwal belajar bareng Aldo, tan."
"Oh ya, lalu kenapa kamu kesini? Kamu ga pulang?"
Hira kembali menggeleng. "Gak ah, males. Di rumah juga aku ga ngapa-ngapain, tan. Bosen. Mendingan disini, aku bisa gangguin Aldo."
Mama Deina tertawa mendengar alasan Hira yang terdengar lucu.
"Tante tuh berterima kasih loh sama kamu, Ra. Kamu udah mau berteman sama Aldo. Kamu teman pertama Aldo yang datang ke rumah ini."
"Ah, tante. Justru aku yang berterima kasih sama Aldo karena udah bersedia aku susahin. Dia pasti stres ya ngadepin aku?" Kata Hira.
Mama Deina menggeleng. "Dia memang pernah bilang sih kalau awalnya dia sulit mengajari kamu, tapi menurut dia tidak ada orang yang bodoh, yang ada itu hanya orang yang malas. Buktinya sekarang nilai kamu sudah lumayan kan kalau lebih rajin belajarnya?"
Hira tersenyum malu. Dia memang paling malas di suruh belajar.
"Iya, tan. Ini semua berkat Aldo."
"Berkat usaha Hira juga kok."
Hira tersenyum. "Tante tau ga, Hira tuh kepengen deh punya mama seperti tante. Baik dan suka kasih Hira makanan. Tapi papa malah pacaran sama sekretarisnya yang judes dan jahat itu."
Mama Deina mengangkat alisnya lalu tertawa. "Kamu boleh kok anggap tante sebagai mama kamu."
Hira mengangguk-angguk ceria lalu meneruskan makan martabaknya.
***
Terdengar suara sepeda motor dari halaman depan. Mama Deina dan Hira saling berpandangan.
"Oh, itu pasti Aldo, tan."
Mama Deina mengangguk, mereka berdua lalu bersama-sama keluar rumah untuk menyambut Aldo. Dan betapa terkejutnya mereka berdua melihat kondisi Aldo yang tampak memprihatinkan.
"Aldo?" Panggil Hira.
Aldo mendongak. "Oh, kamu disini?"
"Astaga, Do, kamu kenapa sayang?" Mama Deina menghampiri Aldo yang terlihat bersusah payah untuk berdiri.
"Aku baik-baik saja, ma."
"Baik apanya? Siapa yang melakukan ini sama kamu?" Mama Deina mulai menangis. Air matanya bercucuran melihat putranya.
Hira sendiri terlihat syok dan mulai menangis bersama mama Deina.
"Kita ke rumah sakit ya, Do." Kata mama Deina.
Aldo menggeleng. "Ga usah, ma."
"Kenapa kamu ga mau ke rumah sakit?" Tanya Hira kesal. "Kamu sadar gak sih kondisi kamu tuh sekarang kayak gimana? Pokoknya aku gak mau tau. Kita ke rumah sakit sekarang. Titik," Hira marah mendengar penolakan dari Aldo.
Aldo tersenyum lemah. "Beneran ga usah, Ra."
"Aku ga peduli kamu mau atau tidak, pokoknya aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Pak Amir!" Hira berlari keluar halaman rumah Aldo dan memanggil supirnya yang sedang asik nonton televisi di warkop sebrang jalan. Aldo hanya bisa pasrah dan membiarkan dirinya di bawa ke rumah sakit oleh Hira dan mamanya dengan di antar oleh pak Amir, supir pribadi Hira.
Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Mama Deina dan Hira menangis tanpa henti membuat Aldo merasa bersalah.
"Kamu kenapa bisa begini sih, Do?" Tanya mama Deina.
"Aku jatuh ma," Jawab Aldo lirih.
Sungguh sebuah kebohongan, namun Hira tidak mengatakan apa-apa, gadis itu masih sibuk mengelap ingus dan air matanya menggunakan tissue.
***
Hira berdiri sambil bersandar di lorong bangsal rumah sakit. Sementara itu di dalam ruang IGD Hira bisa mendengar suara merintih dari Aldo yang sedang di obati oleh dokter dan para perawat.
Cowok itu kuat, dia bahkan tidak menangis dan berusaha menahan rasa sakitnya.
"Anak ibu jatuh dimana sampai seperti ini lukanya?" Tanya dokter. "Tapi kalau di lihat dari lukanya ini seperti luka pukulan. Kamu habis berkelahi?"
Aldo terdiam. Dia melirik mama Deina yang masih fokus memperhatikan dokter membersihkan luka-luka di tangan Aldo.
Dokter mengangkat wajahnya dan melihat Aldo yang membuang mukanya lalu menoleh pada mama Deina yang menggeleng. Akhirnya dokter itu berhenti bertanya dan kembali fokus mengobati luka Aldo.
Aldo harus di rawat inap. Meski sebenarnya cowok itu menolak tapi mama Deina bersikeras menyuruhnya agar di rawat. Hal itu membuat Aldo tidak bisa menolaknya.
"Kamu boleh tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada mama. Tapi kamu tidak boleh menolak kalau mama memintamu untuk di rawat."
Aldo mengangguk pasrah. Dia menatap Hira yang berdiri di pinggir brankar dengan wajah cemas.
"Hei, aku tidak apa-apa. Jadi jangan pasang wajah seperti itu."
Hira tidak menjawab. Mama Deina menatap Hira, "Ini sudah malam. Lebih baik Hira pulang, ya."
Gadis itu cuma bisa mengangguk. "Besok aku akan kesini."
"Ga kesini juga gak apa-apa, kok," Kata Aldo.
Hira menggeleng. "Pokoknya aku akan kesini."
"Iya, iya," Aldo hanya mengangguk. Kalau sifat keras kepalanya sudah keluar, Hira bisa sangat menyebalkan, jika sudah begitu biasanya Aldo hanya akan menurut saja.
***
Sejak pagi, Hira sudah bangun, semalam dia menitipkan pesan ke koki keluarganya untuk membuatkan bubur besok pagi. Dan pagi ini dia melihat 2 termos makanan berisi bubur yang sudah siap sedia di meja makan.
"Hira, hari ini kamu pergi dengan papa. Kita ke rumah Om Hadi. Tante Alika sudah pulang dari rumah sakit," Kata papa yang sedang berkutat dengan koran paginya tanpa memandang Hira sama sekali.
Hira yang sudah siap berangkat ke rumah sakit setelah menyelesaikan sarapannya terdiam sejenak. Dia benar-benar lupa.
"Ah, kenapa harus hari ini?" Keluh Hira dalam hati.
"Haruskah hari ini, pa? Apa tidak bisa besok saja? Hari ini aku ada urusan."
"Besok papa tidak bisa, papa ada urusan. Lagipula bukannya kamu sendiri yang bilang ingin menjenguk tante Alika kalau dia sudah melahirkan?" Papa mengerutkan kening. "Lalu ada urusan apa kamu di weekend seperti ini?"
"Aku, mau menjenguk temanku yang sedang di rawat di rumah sakit," Jawab Hira.
"Sepagi ini?"
"...," Hira tidak menjawab.
"Siapa temanmu?"
Hira diam. "Kalaupun aku bilang siapa temanku, papa tidak mengenalnya," Jawabnya pelan.
"Memang kamu pikir papa tidak bisa mencari tahu siapa temanmu itu? Ikut papa atau kau tidak boleh keluar sama sekali."
"Baiklah," Hira mengangguk dengan terpaksa. Dia benar-benar tidak bisa membantah papanya.
Karena hanya tinggal papanya yang dia miliki, jadi Hira sangat menyayangi papanya dan memiliki kecenderungan menuruti perintah papanya, meski kadang perintah yang di berikan tidak sesuai dengan keinginan hatinya.
Hira membawa termos itu ke pak Amir yang sedang mengelap mobil.
"Pak, tolong antar ini ke rumah sakit ya. Buat Aldo. Kamar 311."
"Loh, non Hira tidak jadi pergi?"
"Saya ada urusan lain, pak. Tolong ya, pak."
"Baik non."
Tak lama kemudian pak Amir sudah meninggalkan parkiran mobil dan menuju rumah sakit bersama 2 termos bubur. Sementara Hira kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke rumah adik bungsu papanya, Om Hadi yang tinggal di Bogor.