Hira duduk sambil memeluk kedua lututnya , menatap kearah luar jendela rumah Aldo yang menghembuskan udara dingin karena hujan masih turun. Jam di dinding rumah Aldo sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Saat ini, orang-orang yang ada di rumahnya pasti sudah tahu kalau Hira menghilang.
Hira tersenyum kaku, "Yah, aku menghilang-pun, papa sepertinya tidak akan begitu peduli. Dia'kan akan segera punya anak dari wanita itu."
Pikirannya melayang ke kejadian tadi siang. Dia baru saja tiba dirumah setelah melepas Arabella yang kembali ke Inggris dengan penerbangan siang. Saat itu sudah pukul dua siang. Hira yang sudah makan siang diluar berniat untuk langsung ke kamarnya saja dan tidur siang. Ketika dia melihat sosok wanita yang dia benci ada di ruang tamu rumahnya dengan dua buah koper besar teronggok manis di sebelahnya. Wanita itu sedang duduk sambil menikmati secangkir teh dan sepotong kue yang memang di sajikan oleh ART nya.
'"Sedang apa kamu disini?" tanya Hira ketus tanpa berusaha untuk menyembunyikan kebencian yang tersirat secara jelas dari nada bicaranya.
Wanita itu cuma tersenyum manis. Dia meletakkan cangkir tehnya lalu menatap Hira yang memandangnya dengan tatapan benci.
"Seperti yang kamu lihat, aku akan tinggal disini mulai hari ini," sahut Gladys.
"Ha? Kamu bercanda ya, siapa yang mengijinkan kamu tinggal disini?"
Gladys angkat bahu. "Tanya saja pada papamu."
Saat itulah, papa muncul dari arah dalam rumahnya dengan memakai setelah jas tanpa dasi seperti hendak keluar.
"Papa yang nyuruh dia tinggal disini?" tanya Hira menuntut. Matanya memerah karena menahan marah dan tangis yang sepertinya hampir tumpah.
Papa mengangkat alisnya. "Cara bicara macam apa itu? Kemana sopan santunmu pada orang yang lebih tua?"
Hira tidak peduli, selama ini dia diam karena dia pikir papanya mungkin saja akan segera bosan pada wanita itu seperti yang sudah-sudah. Tapi, ternyata papanya lebih serius dari yang di pikirkannya.
Papa menghela napas karena melihat Hira yang terlihat lebih keras kepala dari biasanya.
"Papa yang menyuruhnya tinggal disini karena Gladys sedang hamil. Kami akan segera menikah sebelum kandungannya semakin besar."
Bagai disambar petir di siang bolong, wajah Hira memucat mendengar fakta mencengangkan yang terlontar dari mulut papanya.
"Papa pasti bohong'kan?" Air mata mulai menetes dari sudut mata Hira. Wajahnya yang selalu ceria mendadak dipenuhi dengan kesedihan.
Gladys yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran antara Hira dan papanya diam-diam mengulas senyum, dan dia semakin puas saat melihat Hira menangis. Dia sangat tidak sabar membuat Hira menangis lebih banyak dari ini saat dirinya sudah resmi menyandang mama tirinya Hira.
"Tidak. Tidak ada untungnya buat papa berbohong sama kamu. Karena kamu akan segera punya adik, dan Gladys sebentar lagi akan menjadi mamamu, papa harap kamu lebih menghomatinya dan tidak bicara kurang ajar lagi."
"Aku tidak sudi!" teriak Hira membuat papanya terkejut dan ART yang ada di sekitar mereka ikut syok. Baru kali ini mereka melihat Hira berteriak seperti itu dan hal itulah yang membuat papanya marah.
"Cepat minta maaf dan katakan kalau kamu menyesal!" bentak papa marah.
"Aku tidak mau minta maaf dan aku juga tidak menyesal," Hira tidak mau kalah, kini suaranya ikut meninggi.
Dengan marah papa menarik Hira dan membawanya ke ruang kerjanya, Gladys hanya menonton kejadian barusan dengan perasaan gembira. Dia senang sekali karena papa Hira membelanya, yah tentu saja pria itu harus membelanya karena dia akan memberikannya seorang anak.
Bu Rina yang menyaksikan hal tersebut dengan terburu-buru berlari mengikuti langkah lebar papa dan Hira yang terseok-seok menjerit di belakangnya.
"Semakin besar kamu semakin kurang ajar. Sepertinya papa memang harus memberi pelajaran lagi supaya kamu bisa tahu tata krama."
"Tidak pa, jangan, tolong," rintih Hira yang pergelangan tangannya terasa sakit.
"Tuan, tolong jangan tuan," Bu Rina ikut memohon sambil berlari di sebelah Hira, wajahnya terlihat khawatir.
Papa tidak menggubrisnya, dia lalu masuk ke dalam ruang kerjanya dan menguncinya, dan tak lama kemudian terdengar jeritan dan rintihan yang keluar dari mulut Hira disertai dengan bunyi ikat pinggang yang beradu dengan kulit kaki Hira yang mulus. Sambil memukuli Hira dengan ikat pinggangnya, papa terus mengumpat dengan kata-kata kasar.
Bu Rina menangis di luar ruang kerja milik tuannya karena mendengar tangisan Hira diantara umpatan papanya. Dia benar-benar tidak sanggup mendengar Hira, anak yang dia besarkan sejak kecil dan sudah dia anggap seperti cucu sendiri sedang dipukuli, meskipun yang melakukannya adalah papanya sendiri.
Sekitar 20 menit berlalu, papa keluar dari ruang kerjanya dengan keringat yang bercucuran, wajahnya masih terlihat marah, dia lalu mendekati bu Rina yang masih menunggu di dekat pintu.
"Kurung Hira di kamarnya dan jangan beri dia makan malam. Lalu berikan kamar di sebelah kamar saya untuk Gladys, siapkan semua keperluannya dan turuti setiap permintaannya. Saya akan keluar dan kembali nanti malam."
Bu Rina hanya mengangguk pelan, setelah papa Hira berlalu dari situ, Bu Rina segera berlari kearah Hira yang sedang meringkuk di dekat sofa ruang kerja, celananya robek dan terlihat jelas bekas pukulan ikat pinggang di kaki Hira yang mulus. Luka yang berdarah dan bengkak itu sempat membuat Hira tidak bisa bangun, sampai akhirnya bu Rina meminta tolong pada pak Amir untuk menggendong Hira ke kamarnya. Sepanjang menuju kamarnya, Hira tidak berhenti menangis membuat kedua orang yang sudah mengenalnya sejak kecil merasa sedih.
Bu Rina mengoleskan obat ke kaki Hira dan yang bisa Hira lakukan hanya menahan rasa sakitnya. Tapi dibanding rasa sakit di kakinya, hati Hira terasa lebih pedih. Dia seperti tidak mengenal papanya dan ini semua karena wanita jahat itu.
"Papa jahat ya, bu." Hira terisak-isak.
"Yang sabar ya, non." Bu Rina mengusap-usap kepala Hira. Dia melakukan itu sampai Hira tertidur lelap, baru bu Rina keluar dari kamar Hira dan mengunci pintu kamar itu. Meski dalam hati kecilnya dia tidak ingin mengurung Hira di kamarnya, tapi mengingat itu adalah perintah dari papa Hira, tuannya yang memegang otoritas tertinggi di rumah ini, suka tidak suka, mau tidak mau Bu Rina mematuhinya.
Setelah itu Bu Rina sibuk membantu Gladys pindah ke kamar barunya yang terletak di sebelah kamar papa Hira di lantai 2 dan mendengarkan dengan baik semua perintah wanita itu yang sangat tidak masuk akal namun bu Rina tidak dapat membantahnya.
Menjelang pukul 5 sore, Hira terbangun dan menyadari kalau pintu kamarnya di kunci. Dengan terseok-seok Hira kembali ke tempat tidurnya dan mulai berpikir. Dia sangat benci di perlakukan seperti ini oleh papanya, melihat papanya begitu membela Gladys dan tidak mendengarkan pendapatnya sama sekali, Hira berpikir tidak ada gunanya keberadaannya disini. Hira mulai berkemas, dia memasukkan beberapa potong kaus dan celana miliknya ke dalam ransel, lalu membobol celengan babi kesayangan miliknya, memasukkan semuanya kedalam kantung uang serta membawa foto mamanya yang di bingkai dalam pigura kecil. Semua yang dia bawa hanyalah benda yang dianggapnya berharga baginya.
Hira membuka jendela kamarnya setelah sebelumnya mengatur guling yang dia tutupi dengan selimut agar terlihat seperti dia yang tertidur pulas. Hira mengedarkan pandangannya ke kamar kesayangannya dan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Dengan hati-hati Hira menutup jendela dan mengendap-endap keluar dengan langkap pelan karena kakinya masih terasa sangat sakit. Untunglah kamarnya berada di lantai satu, jadi dia terlalu kesulitan untuk kabur. Sambil mengamati situasi, Hira menunggu di dekat gerbang depan dimana pak Sarino ke toliet.
Rencana kaburnya yang mendadak itu berjalan mulus, Pak Sarino kebetulan sekali sedang sakit perut lantaran salah makan dan sibuk bolak balik ke kamar mandi. Hira berjalan dengan tergesa-gesa takut ada yang mengejarnya, setelah dirasa cukup jauh dari rumahnya, Hira menyetop sebuah taksi. Dia belum tahu akan kemana, yang penting untuk sekarang dia pergi sejauh mungkin dari rumahnya.
Sambil menyenderkan kepalanya di jendela taksi, perlahan titik-titik air hujan mulai turun, makin lama makin deras, supir taksi yang membawanya terlihat bingung karena penumpangnya tidak mengatakan tujuannya mau kemana.
"Neng, ini kita mau kemana tujuannya?" tanya pak supir sopan.
Hira tersentak dari lamunannya dan tersenyum. Dia sudah tahu akan pergi kemana, meski dia tidak tahu apakah penghuni rumah itu akan menyambutnya apabila dia bilang kalau dia ingin menginap. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Bisa saja dia pergi ke rumah Om Hadi, adik dari papanya, tapi Om Hadi pasti akan bertanya macam-macam dan akhirnya malah memberitahukan dimana Hira berada. Hira memutuskan untuk menginap semalam di tempat tujuannya saat ini dan akan pergi keesokkan harinya ke rumah kakek dan neneknya dari pihak mamanya yang ada di Solo. Untung saja UAS sudah berakhir dan minggu depan adalah hari bebas jadi Hira tidak perlu khawatir jika harus membolos.
Pak Supir memandang Hira prihatin karena hujan turun semakin deras, dan Hira tidak memiliki payung saat taksi yang ditumpanginya sampai di tempat tujuan. Rumah Aldo.
Rumah yang serasa seperti rumah kedua bagi Hira, rumah yang nyaman dan terasa hangat baginya yang kesepian di rumahnya yang besar.
"Aku tidak tahu apakah Aldo dan tante Deina bersedia menampungku atau tidak, tapi mari kita coba masuk dulu."
Hira membuka gerbang yang hanya di tutup begitu saja. Meski jarak dari gerbang ke teras rumah Aldo tidak sejauh jarak ke gerbang yang ada di rumahnya, tapi hujan yang turun begitu deras, menerpa dan membasahi tubuh Hira membuatnya menggigil. Hira menahannya, meski kakinya juga mulai terasa sakit. Dengan tertatih Hira berjalan ke teras dan berhenti sejenak sebelum mengetuk pintu. Mempersiapkan diri akan penolakan dari pemilik rumah, tapi entah punya keyakinan darimana, Hira percaya bahwa Aldo tidak akan menolak kedatangannya meski cowok itu keberatan sekalipun. Dan memang seperti itulah kenyataannya.