Jam di dinding menunjukkan pukul 06.45 pagi. Hira terbangun karena mencium wangi makanan yang memenuhi rongga hidungnya. Wanginya yang begitu sedap membuatnya lapar dan dia baru teringat kalau semalam dia hanya makan mie instan. Dengan hati-hati Hira turun dari tempat tidur dan berjalan dengan sedikit tertatih menuju pintu kamar dan mendapati Aldo yang tertidur di sofa panjang ruang tengah sambil memeluk buku dan selimut yang menutupi badannya kini sudah berantakan. Sedangkan kacamatanya tergeletak begitu saja di atas meja.
Hira mendekatinya berniat untuk merapikan selimut yang dipakai Aldo, mama Deina melihat itu dari arah dapur dan tersenyum.
"Hira sudah bangun?" tanya mama Deina sambil mendekati Hira untuk menuntunnya ke meja makan yang berdekatan dengan ruang tengah.
"Oh." Hira terkejut lalu tersenyum ceria. "Pagi tante."
"Gimana kakinya? Kalau masih terasa sakit nanti siang kita ke klinik, oke."
Hira menggeleng. "Aku sudah benar-benar baik-baik saja tante. Aldo merawatku dengan baik."
"Baiklah. Tapi kamu harus janji jangan menahan sakit."
"Iya. Tentu saja." Hira menjawab dengan wajah ceria seperti biasanya.
Mama Deina ikut merasa senang serta menghela napas lega. "Syukurlah dia terlihat ceria." batinnya.
"Oh ya, Aldo kenapa tidur di sofa tan?" tanya Hira saat mereka sudah duduk bersama di meja makan dan mama Deina menyajikan sepiring nasi goreng pada Hira. "Dia ga ikut sarapan bareng kita?"
Mama Deina cuma tersenyum. "Semalam Aldo ketiduran di sofa. Gak apa-apa, Hira makan duluan aja ya."
Mama Deina tidak mungkin memberitahu Hira kalau Aldo terjaga hampir semalaman di ruang tengah sambil membaca buku dan putranya itu baru tidur menjelang subuh.
Mama Deina yang sempat terbangun melihat putranya itu sedang mengolesi salep pada kaki Hira. Sepertinya dia memang sengaja bergadang supaya bisa mengobati kaki Hira lebih sering. Makanya sekarang luka terbuka itu sudah terlihat mengering.
"Baiklah." Hira tersenyum tipis, lalu mulai makan sarapannya sambil melirik Aldo yang terlihat kelelahan.
Dirinya tidak mungkin salah lihat, meski setengah sadar tapi Hira tahu bahwa itu pastilah Aldo yang semalam mengoles-oles kakinya dengan salep dan meniupi lukanya lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut seraya menenangkannya saat kakinya terasa perih waktu salep itu terkena lukanya.
Meski Hira merasa bersalah pada Aldo, tapi tidak tahu kenapa ada kehangatan yang menjalari sekujur tubuhnya karena belum pernah dia diperlakukan semanis itu oleh seorang cowok.
Wajah Hira memerah saat memikirkannya membuat mama Deina yang menyadari itu kemudian bertanya apakah dia demam.
"Aku baik-baik saja tante. Aku tidak demam. Hehehe...," Hira terkekeh.
Hira menyelesaikan sarapannya dengan cepat dan masih duduk di tempatnya sambil menunggu mama Deina yang sedang sibuk mencuci piring.
"Tante, aku mau pamit," kata Hira pelan.
Mama Deina sempat berhenti membilas cucian piringnya lalu menoleh pada Hira yang menatapnya sendu.
"Hira mau pamit kemana? Hira mau pulang?"
Hira menggeleng.
"Kalau begitu Hira disini aja tinggal sama Tante dan Aldo kalau Hira belum mau pulang."
"Aku gak bisa ngerepotin Tante dan Aldo terus. Aku mau ke rumah eyang di Solo."
Mama Deina terdiam. Dia juga sadar bahwa Hira pasti merasa terbebani jika tinggal dalam waktu lama bersama orang-orang yang bukan keluarganya.
"Kamu mau kemana?" Suara serak Aldo memecah keheningan dan mereka melihat Aldo yang kini duduk di sofa sambil memakai kacamatanya. Rambutnya terlihat lebih berantakan dan matanya masih mengantuk.
"Oh, Aldo."
Aldo bangun dari sofa dan berjalan kearah kamar mandi lalu mencuci mukanya disana. Tak lama kemudian cowok itu kembali dan duduk di meja makan berhadapan dengan Hira yang langsung menunduk karena tatapan Aldo begitu tajam dan mengintimidasi.
"Coba katakan lagi, kamu mau kemana dengan kondisimu sekarang?"
Hira berkata lirih. "Rumah eyang di Solo."
Aldo menghela napas panjang. "Baiklah, tapi aku akan mengantarmu sampai ke Solo. Boleh kan, ma?"
Mama Deina mengangguk. "Tentu. Toh ujian sudah selesai. Dan sebentar lagi juga libur akhir tahun."
"Tidak. Jangan. Aku sudah banyak merepotkan. Kalau kamu melakukan lebih dari ini, itu akan semakin membebaniku."
"Tidak usah merasa terbebani. Aku dan mamaku baik-baik saja. Kami tidak merasa direpotkan olehmu."
Hira tampak serba salah. "Ah, baiklah baiklah. Aku tidak akan ke Solo."
Aldo tersenyum tipis. "Janji ya. Kamu tidak akan pergi diam-diam dari sini'kan?"
Hira mengangguk. "Aku tidak akan kemana-mana. Lagipula aku tidak punya tempat tujuan lain."
"Baiklah kalau begitu. Aku mau kembali tidur lagi." Aldo masuk ke kamarnya dan menutup pintunya meninggalkan Hira yang terbengong-bengong dan mama Deina yang terkikik geli.
***
"Sayang, cepat pulang sekarang." Halim mengerutkan keningnya saat membaca pesan dari Gladys yang memintanya untuk segera kembali ke rumah. Apalagi sekarang? Apa wanita itu tidak mengerti bahwa sekarang dirinya sedang sibuk mencari Hira. Sejak hamil, Gladys begitu manja padanya, saking manjanya terkadang Halim merasa muak.
Halim tidak membalasnya, dia kembali berbicara dengan seorang polisi kenalannya untuk membantunya mencari Hira. Dia tidak bisa lagi menunggu dan memikirkan sendiri kemungkinan-kemungkinan Hira berada sekarang.
Tak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi, kali ini telepon dari Hadi.
"Kak, aku di rumahmu. Kamu dimana?"
"Hah? Aku sedang di kantor polisi. Kenapa kamu ada di rumahku?"
Pantas Gladys mengirim pesan padanya, wanita itu pasti terkejut menerima kedatangan Hadi di rumah sekarang. Dan dia juga bisa menduga bahwa Hadi-pun sama terkejutnya. Yah, dia memang belum memberitahu siapapun tentang rencananya untuk menikah lagi dan Gladys yang akan tinggal di rumahnya.
"Sebaiknya kamu segera pulang sekarang. Tante Marissa ada di rumahmu."
Kata-kata terakhir dari Hadi membuat Halim terkejut. Tanpa menunggu waktu lagi, Halim segera keluar dari kantor polisi dan memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh menuju rumahnya.
***
Hadi menghela napas dan melirik kearah seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan belum kehilangan keanggunannya di usianya yang sudah menyentuh kepala tujuh. Tante Marissa, Hadi memanggilnya demikian. Beliau adalah ibu dari Sabrina, almh mama Hira dan mertua Halim.
Dia benar-benar tidak sangka bahwa Tante Marissa akan langsung datang dari Solo dengan penerbangan paling awal setelah mendengar berita bahwa cucu perempuannya menghilang dari rumah. Makanya Hadi-pun bergegas ke rumah kakaknya untuk menemui Tante Marissa yang sudah lebih dulu tiba.
Dan yang membuat mereka terkejut dan akhirnya membuat Hadi menelepon Halim adalah karena keberadaan seorang wanita di rumah itu yang bertingkah seperti nyonya rumah.
Gladys sedang sibuk menyuruh pelayan untuk menurunkan pigura-pigura besar yang berisi potret Sabrina dan menyuruh mereka untuk menyimpannya di gudang karena pigura-pigura itu akan segera di gantikan dengan yang baru dengan potret dirinya bersama Halim saat Tante Marissa tiba.
Begitu melihat hal tidak masuk akal yang sedang terjadi di depan matanya saat itu juga Tante Marissa mengamuk.
Hadi melempar pandangan kearah Tante Marissa dan bergantian menatap kearah Gladys. Wanita itu baru pertama kali Hadi lihat. Pasti dia adalah wanita kesekian yang kakaknya kencani.
"Tapi kalau di pikir-pikir, berani sekali dia menurunkan semua foto kak Sabrina dari dinding." Hadi menghela napas.
"Kenapa Halim masih belum sampai juga? Kemana dia sebenarnya?!" Tanya Tante Marissa setengah berteriak.
Para pelayan saling melempar pandangan sambil menunduk. Gladys diam di sudut ruangan dan tak mampu mengangkat kepalanya.
"Sabar, ma. Kak Halim sedang dalam perjalanan," seorang wanita cantik yang memiliki wajah hampir mirip dengan Tante Marissa berusaha menenangkannya. Dia adalah Diana, adik dari Sabrina.
Brak, terdengar suara langkah kaki tergesa dari arah teras, tak lama kemudian Halim muncul dengan wajah pucat pasi.
"Mama?"
"Pulang juga kamu." Marissa menatap Halim dengan tajam.
"Kenapa mama mertuaku bisa ada disini?" Bisik Halim pada Hadi.
"Aku yang meneleponnya. Kupikir mungkin Hira pergi ke Solo. Maaf kak."
Halim menghela napas frustasi. Dia juga sempat terpikir untuk menghubungi ke Solo tapi pada akhirnya dia mengurungkan niatnya karena dia tahu mama mertuanya orang seperti apa. Beliau adalah wanita baik yang begitu menyayangi keluarganya, tapi temperamennya begitu buruk.
"Sepertinya banyak yang berubah setelah putriku tiada." Marissa menatap tajam Halim yang langsung berkeringat. "Banyak sekali yang harus kita bahas. Terutama tentang wanita yang duduk disana. Tapi sebelum membahas itu, ada yang lebih penting lagi. Jadi, dimana cucuku sekarang dan kenapa dia pergi dari rumah?"
***
"Kamu sudah gila, ya?!" Terdengar suara gelas di banting dari dalam ruang kerja Halim.
"Ma, tenang dulu. Saya melakukan itu bukan tanpa alasan. Hira yang lebih dulu bersikap tidak sopan. Saya hanya memberinya sedikit hukuman."
Hadi dan Diana geleng-geleng kepala mendengar alasan tidak masuk akal dari Halim. Harusnya pria itu mencari alasan yang lebih masuk akal dan bisa di terima oleh mama mertuanya. Marissa mana mungkin terima saat Halim memberitahukan alasannya memukuli Hira hingga Hira kabur dari rumah hanya karena dia berusaha membela Gladys.
"Jadi wanita begundal itu calon mama tiri terbaik yang bisa kamu berikan pada Hira? Dia pengganti Sabrina?!" Marissa berteriak marah.
"Ma, dia bukan wanita begundal. Namanya adalah Gladys."
Marissa tampak tidak peduli. Dia bahkan tidak mau tahu siapa nama wanita itu. Dari penampilannya saja Marissa sudah bisa tahu wanita seperti apa Gladys.
"Pokoknya setelah Hira ketemu, wanita itu harus keluar dari rumah ini. Gara-gara wanita itu, cucuku jadi menderita."
"Tidak bisa, ma. Dia sedang hamil. Jadi dia tidak bisa saya biarkan tinggal sendirian."
Marissa mendelik, begitu juga Hadi dan Diana yang terlihat terkejut.