Sabtu pagi itu Hira bangun lebih awal. Biasanya dia selalu memilih untuk bangun siang karena dia libur sekolah. Tapi hari ini berbeda, hari ini dia memiliki janji dengan Aldo dan hal itu membuat dia sangat bersemangat sejak pagi.
Tante kecilnya mengerutkan keningnya keheranan melihat Hira yang sudah duduk manis di ruang makan Dan seda menghabiskan sarapannya. Keponakannya itu bahkan sudah mandi.
"Sayang? Kamu mau kemana?"
"Hehehe, aku ada janji sama teman hari ini," Hira tidak dapat berhenti tersenyum.
Diana saling melemparkan pandangan dengan Marissa. Mereka lalu ikut tersenyum.
"Teman atau pacar?" Goda Diana.
Wajah Hira bersemu merah. "Teman kok Tante."
Halim muncul dari arah dalam lorong ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur utama. Pria itu juga sudah berpakaian rapi dengan kemeja dan jas tanpa dasi.
"Mau kemana, kak?" Tanya Diana basa basi pada Halim yang duduk dan mulai memakan nasi goreng sarapan hari itu sambil sesekali membaca berita di koran.
"Ambil rapor Hira," sahutnya singkat.
"Ambil rapor kok rapi banget?" Tanya Diana lagi. Hira melirik papanya yang terlihat menghela napas frustasi.
"Lalu haruskah aku pakai kemeja compang camping ke sekolah Hira?!" Tanyanya ketus.
Diana nyengir sementara Hira dan eyangnya menahan senyum mereka.
"Aku kira kakak mau ke rumah si wanita jalang itu sepagi ini," kata Diana terang-terangan membuat Halim tersedak nasi gorengnya.
"Diana, jaga ucapanmu. Lalu mau aku ke rumah Gladys atau tidak itu bukan urusanmu. Tolong jangan campuri urusanku," Halim melirik Hira yang tampak asik menghabiskan sarapannya, terlihat tidak peduli meskipun hatinya merasa kesal karena papanya masih saja mempedulikan wanita itu.
" Baiklah, baiklah. Aku salah sudah bertanya." Kata Diana mengalah.
Halim cuma bisa geleng-geleng kepala dan tanpa berniat untuk menghabiskan sarapannya, dia bangun dari duduknya kemudian menghilang ke arah pintu keluar. Pria itu benar-benar terlihat kesal dengan Diana yang selalu melontarkan pertanyaan konyol.
"Oh iya, benar. Kak Halim tunggu sebentar!" Diana berlari keluar mengejar Halim yang sudah berdiri di depan pintu mobilnya.
"Kenapa lagi?"
"Besok siang aku berencana mau mengundang kak Deina dan putranya untuk makan siang disini. Ah, aku bukannya bermaksud minta ijin darimu, tanpa kamu ijinkan pun aku tetap akan mengundang mereka," kata Diana.
Halim memijit pelipisnya, "Lalu apa gunanya kamu memberitahukan ini padaku?"
Diana tersenyum. "Besok tolong pergilah dari pagi sampai sore, jangan sampai ada di rumah saat mereka disini."
"Hah?"
"Karena kak Deina kesal sekali pada kakak. Jadi aku khawatir dia tidak akan mau kesini jika kakak ada di rumah," kata Diana.
Halim mendengus. "Haha... lucu sekali. Jadi besok aku tidak boleh berada di rumahku sendiri?"
Diana mengangguk tanpa dosa. "Tepat sekali. Aku tidak ingin membuat kak Deina merasa tidak nyaman."
Halim menghela napas.
"Tenang saja. Besok kalian tidak akan melihatku ada di rumah seharian," sahutnya ketus. Dengan gusar dia masuk ke dalam mobil, namun Diana menahan pintunya dan mengatakan hal yang membuat Halim tambah kesal.
"Tapi, kak. Kamu pergi kemanapun tidak masalah, asal jangan ke rumah si jalang itu."
Tanpa menjawab, Halim segera menutup pintu mobilnya dan menyuruh supir pribadinya, Pak Sulis untuk berangkat. Sepertinya dia bisa tambah jengkel jika terus bicara dengan Diana.
"Heh, dia semakin menjengkelkan dari waktu ke waktu."
***
Langkah Deina terhenti saat matanya bertatapan dengan Halim yang sedang berjalan di koridor sekolah. Deina sudah membawa rapor milik Aldo dan bersiap-siap untuk pulang. Sementara itu Halim baru saja tiba dan hendak ke kelas Hira di iringi Pak Teguh, guru Olahraga yang akan mengantarnya ke kelas Hira berada.
Sebagai seorang donatur terbesar di sekolah, Halim menerima sedikit perlakuan istimewa dari sekolah. Dia tampak berbicara pada Pak Teguh dan guru olahraga itu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kita bertemu lagi."
Deina melengos membuang pandangannya ke arah lain.
"Apa kamu masih akan terus marah padaku?" Tanya Halim.
"Tidak. Aku tidak marah padamu. Hanya malas saja melihatmu sekarang."
Halim tersenyum masam. Mau bagaimanapun Deina tetaplah Deina, meski usianya sudah menginjak kepala empat, tetap saja wanita itu tidak berubah jika sedang merajuk. Dia wanita yang sulit di hadapi, baik dulu maupun sekarang.
"Anakmu penerima beasiswa dari sekolah bukan? Aku dengar dari Hira dia sudah banyak membantunya untuk belajar."
Halim memang diberitahu oleh Hira bahwa dia bisa mengenal Deina karena Deina adalah orang tua dari Aldo, orang yang sudah membantunya belajar belakangan ini. Selain itu, Halim juga mendengar dari Pak Amir, bahwa putrinya itu belajar dengan giat di rumah Deina karena hampir setiap hari Hira kesana.
Padahal sebelumnya Halim pernah mempekerjakan seorang tutor untuk Hira, tapi putrinya itu selalu memiliki segudang alasan untuk menolak belajar hingga akhirnya Halim menyerah.
"Terima kasih. Berkat anakmu nilai Hira mengalami sedikit kemajuan."
Deina cuma mengangguk, tanpa basa basi dia langsung berjalan pergi meninggalkan Halim yang termenung sendirian di depan kelas.
Deina berhenti sebentar untuk mengangkat telepon yang ternyata dari Diana. Wanita itu begitu bersemangat bicara untuk mengundangnya makan siang di rumah Hira sebagai ucapan terima kasih. Karena tidak punya alasan untuk menolaknya, Deina mengiyakan dan dia akan menanyai Aldo apakah putranya itu mau pergi atau tidak.
***
Aldo menatap cermin di kamarnya dan menimbang-nimbang akan memakai baju apa untuk bertemu dengan Hira hari ini. Biasanya dia tidak akan terlalu peduli. Tapi Aldo kepikiran soal kata-kata teman Hira yang bilang bahwa dia terlihat aneh dan mempunyai aura yang suram.
Namun, meski sudah berusaha beberapa kali mencocokkan kaos dan kemeja yang dia punya, Aldo tetap merasa penampilannya tidak berubah menjadi lebih baik. Sungguh membuat frustasi. Dia menatap jam dinding di kamarnya dan terkejut menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat. Padahal rasanya dia belum melakukan apapun.
Akhirnya Aldo memakai style yang biasa dia pakai. Kemeja yang di masukkan ke dalam celana panjang berbahan katun. Selesai bersiap-siap, Aldo keluar dari rumah dan memanaskan mesin motornya sambil memakai jaket. Saat itulah mamanya pulang dari sekolahnya sambil menenteng-nenteng rapor dan satu bungkus nasi padang.
"Kamu janjian jam berapa, Do?" Tanya Deina.
"Jam 11, ma."
"Hati-hati di jalan ya, Do. Lalu, ini uang jajan buat kamu," Deina mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Aldo. Namun Aldo terlihat menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku juga punya uang, ma."
"Eiy, jangan menolak. Hari ini kan kamu kencan sama Hira, jangan sampai kamu kekurangan uang. Anggap saja ini hadiah dari mama karena kamu dapat ranking satu lagi."
Aldo terlihat berpikir sejenak lalu mengangguk.
"Baiklah, aku terima uangnya. Makasih ya ma. Tapi aku bukan kencan sama Hira, ma. Tolong jangan bicara begitu, orang yang dengar bisa salah paham."
"Siapa yang bakal salah paham? Disini kan cuma ada kamu sama mama."
Aldo angkat bahu. "Bahkan dinding saja punya telinga, ma."
Deina terkekeh. "Oke, baiklah. Yasudah kamu hati-hati ya, Do."
Aldo mengangguk dan menaiki motornya kemudian cowok itu hilang dari balik pagar.
Deina cuma bisa tersenyum menyadari bahwa putranya ternyata sudah besar dan bahkan hari ini dia punya janji nonton dengan seorang anak gadis.
Seandainya saja Hira benar-benar menjadi pacar Aldo, rasanya Deina lebih tenang karena dia tahu bahwa Hira adalah gadis yang baik. Tapi, Aldo pernah bilang bahwa gadis itu bukanlah tipe idealnya. Entah, gadis seperti apa yang akan jadi pacar putranya itu, Deina hanya bisa berharap putranya akan bahagia dengan gadis pilihannya nanti.