Aldo mengikat tali sepatunya kemudian berdiri dan menyandangkan tasnya ke bahu.
Dia mengalihkan pandangannya kearah Hira yang berdiri manis di depan pintu sambil tersenyum tipis.
"Dadah, Aldo."
"Kamu tidak akan pergi diam-diam kan selagi aku sekolah?" Tanya Aldo.
Hira terkekeh. "Tidak akan. Aku akan di rumah menunggumu pulang."
"Baiklah. Kalau ternyata kamu pergi aku akan menyusulmu," raut wajah Aldo terlihat serius.
Hira terkesiap. Dia cuma bisa tersenyum.
"Oh ya, kamu mau titip beli sesuatu?" Tanya Aldo, tangannya terulur ke sisi kiri Hira dan dia menyelipkan rambut Hira yang terlihat berantakan ke belakang telinganya. Semuanya terjadi begitu cepat dan Hira bahkan tidak sempat untuk mengelak.
Wajah Hira memerah, dadanya berdegup kencang, sementara itu Aldo tampak biasa-biasa saja, cowok itu bahkan sekarang sedang memanaskan motornya.
"Jadi ada yang mau kamu titip beli?" Ulang Aldo.
"Oh, aku mau batagor bang Maman sama es krim biru yang rasa matcha ya."
"Es krim biru?" Aldo mengerutkan keningnya.
"Es krim yang logonya biru, beli yang rasa Matcha. Oh sebentar, aku ambil uangku dulu."
"Gak usah. Aku yang mau belikan, kamu ga usah ganti."
"Tapi'kan...,"
"Tidak," Aldo menyilangkan tangannya tanda menolak. Cowok itu lalu menaiki motornya dan meluncur keluar halaman rumah setelah melambaikan tangannya pada Hira. Hira merasa Aldo sedikit berubah, cowok itu tidak terlalu suram seperti sebelumnya, dan dia lebih mudah diajak mengobrol, meski sebelumnya juga Hira bisa mengobrol santai padanya tapi terkadang Aldo suka membalasnya dengan ketus.
Tanpa Hira sadari, sepasang mata mengawasinya dari jauh, itu adalah pak Amir. Pak Amir terlihat lega saat melihat Hira memang berada di rumah Aldo dan dia bersyukur bahwa Hira terlihat ceria.
Pria itu lalu menghubungi seseorang.
"Halo, tuan. Saya menemukan nona. Saya akan kirimkan alamatnya lewat pesan. Iya, non Hira tampak baik-baik saja."
Halim tampak menghela napas lega saat mendengar kabar dari Pak Amir bahwa putrinya telah di temukan.
"Ada dimana Hira, kak?" Tanya Hadi saat Halim sudah bersiap-siap untuk keluar rumah menjemput Hira.
"Di rumah temannya. Aku akan menjemputnya sekarang."
"Kak, biar aku saja yang menjemput Hira bersama Diana."
Halim menatap adiknya itu dengan pandangan bertanya.
"Coba pikirkan, apa Hira mau pulang meski kamu datang menjemputnya? Dia pasti masih tidak mau bertemu denganmu. Jadi daripada dia tidak mau pulang, lebih baik aku dan Diana yang pergi."
"Tapi Diana sedang menjaga mama mertuaku di rumah sakit."
"Aku akan minta Bu Rina untuk menggantikan Diana sebentar."
"Apa aku tidak bisa ikut juga?" Halim kelihatan keberatan. Dia adalah papanya, dia juga memiliki hak untuk menjemput putrinya.
"Kakak tunggu disini saja. Aku tidak mau mempertaruhkan sesuatu yang tidak pasti."
Halim hanya bisa menghela napas. "Baiklah. Tolong sampaikan pada Hira kalau papanya ini menyesal."
Hadi mengangguk.
***
"Jadi ini rumah siapa?" Tanya Diana pada pak Amir yang masih menunggu di dekat rumah Aldo.
"Ini rumah teman non Hira, non Di," jawab pak Amir.
"Oh ya, jadi Hira ada disini selama ini?" gumam Diana.
Wanita itu menoleh pada Hadi. "Apa kita harus berteriak?" Tanyanya karena dia tidak dapat menemukan bel dimanapun.
Hadi yang juga bingung cuma bisa mengangguk. Tanpa menunggu waktu lagi, Diana berteriak "permisi" beberapa kali dan kini mereka tinggal menunggu pemilik rumahnya keluar.
Mereka menunggu cukup lama membuat Diana tidak sabar. Sebagai orang yang memiliki kesabaran setipis tissue, putri bungsu Marissa itu sering tantrum jika disuruh menunggu lama apalagi menunggu tanpa kejelasan seperti yang terjadi padanya saat ini.
"Kak, apa kita masuk saja?" Tanya Diana gemas. Wajahnya sudah cemberut tanda kesabarannya hampir habis. Hadi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa keputusannya mengajak Diana ini keputusan yang baik atau tidak.
"Em, gimana kalau kita tunggu sebentar lagi saja? Tidak baik menerobos masuk ke rumah orang lain. Bisa saja orangnya sedang pergi." Kata Hadi menenangkan. Dia sungguh tidak ingin berurusan dengan polisi jika mereka dilaporkan atas tindakan menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa ijin.
"Errgghh...," Diana menghentakkan kakinya lalu berteriak lagi. "Permisi!!"
Tak lama pintu rumah yang sederhana itu terbuka sedikit, dan sebuah kepala menyembul keluar dari dalamnya, Hira.
Hira sedang menonton televisi saat dia mendengar keributan diluar rumah. Awalnya dia pikir suara ribut itu berasal dari tetangganya Aldo, tapi setelah dia menajamkan pendengaran, dia sadar bahwa itu ditujukan ke rumah ini.
"Astaga." Hira berjalan dengan perlahan dan membuka pintu dengan cepat karena khawatir membuat orang yang mungkin saja tamu Tante Deina menunggu lama didepan gerbang.
Mata Hira melebar saat melihat kedua sosok yang amat dikenalnya kini berada di hadapannya. Diana terlihat tersenyum lebar dan Hadi menghela napas lega.
"Hira sayang." Diana melambaikan tangannya pada Hira yang matanya mulai berkaca-kaca.
"Tante kecil? Om Hadi?" Tanyanya tak percaya sambil melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera menghampiri mereka. Kakinya yang masih terasa sakit pun tidak dia rasakan karena dia sangat senang melihat kedua orang itu. Apalagi salah satunya adalah orang yang amat dia rindukan.
"Hai Hira, kami datang menjemputmu." Sapa Hadi. Hira tersenyum lebar.
"Tante kecil?" Hira lalu mengalihkan pandangannya pada Diana yang memeluknya dengan erat.
"Sayang, kamu kemana saja? Kamu tidak tahu kan kalau kami mencarimu kemana-mana."
"Maaf Tante, om." Hira merasa bersalah. Hadi mengusap kepala Hira dengan sayang. Diana lalu melepaskan pelukannya dan menatap Hira dari kepala hingga ke kakinya. Hira tersenyum ceria.
"Ada yang terlihat berbeda darimu. Apa ya?" Diana berpikir sejenak. Hira mengangkat bahunya.
"Oh ya, aku tahu. Kaos apa ini yang kamu pakai? Seperti kaos cowok?" Diana bertanya-tanya karena Hira memakai kaos yang terlihat kebesaran untuknya. Tante Deina memberikannya bajunya hanya saja Hira merasa canggung memakainya karena itu adalah baju untuk wanita setengah baya.
"Kaos milik temanku. Aku dipinjamkan."
"Temanmu?" Mata Diana melebar lalu dia menatap rumah bergaya Belanda di belakang Hira. Karena terlalu senang bisa bertemu Hira, dia benar-benar lupa bahwa mereka saat ini sedang berada di rumah 'teman' yang sudah menampung Hira selama dua hari ini.
"Benar juga. Mana temanmu?"
"Dia sekolah."
"Kamu sendirian kah didalam?" Tanya Hadi.
"Tidak. Aku bersama mama temanku. Tapi saat ini beliau sedang pergi belanja sebentar."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang. Bawa barang-barangmu," kata Diana.
"Tidak." Hira menggeleng.
"Kenapa? Kalau kamu masih takut pada papamu, tenang saja, kami sudah mengatasinya. Bahkan wanita begundal itu saja sudah berhasil kami usir," ujar Diana bangga.
"Hei, perhatikan kata-katamu didepan anak kecil." Tegur Hadi. Diana manyun.
Hira tersenyum. Dia senang sekali memikirkan bahwa Gladys sudah tidak ada di rumah tercintanya tapi bukan itu yang menjadi alasan kenapa dia belum bisa pulang sekarang.
"Bisakah kita menunggu sebentar lagi? Aku harus berpamitan pada Tante Deina."
Hadi tersentak mendengar nama yang barusan keluar dari mulut Hira. Dia seperti mengenal nama itu tapi dia sendiri tidak yakin jika orang yang dikenalnya sama dengan orang yang Hira kenal karena pemilik nama itu sudah lama tidak ada kabar. Tapi, nama 'Deina' itu sangat jarang dipakai orang.
"Um, kamu benar. Kita harus berterima kasih pada temanmu dan keluarganya. Baiklah ayo kita tunggu lagi sebentar."
Hira tertawa ceria, dia lalu mengajak Hadi dan Diana untuk duduk di teras rumah Aldo dan mengobrol disana. Diana lalu menceritakan hal yang terjadi selama Hira menghilang, Hira tercengang mendengarnya. Wajah Hira juga berubah muram saat mendengar bahwa eyang Marissa sekarang terbaring sakit di rumah sakit karena mendengar kabar mengejutkan tentang kehamilan Gladys.
"Maaf ya karena aku sudah kabur dari rumah. Kalau saja aku tidak kabur, eyang pasti tidak akan sakit."
"Tidak. Tentu saja itu semua bukan salahmu. Itu salah papamu yang bodoh itu. Upsss...," Diana nyengir saat melihat Hadi memelototinya.
"Pokoknya itu bukan salah Hira. Jadi jangan menyalahkan diri sendiri. Oke," kata Hadi.
Hira mengangguk.
"Lagipula kalau kamu tidak kabur, kita mungkin tidak akan tahu kalau papamu membawa wanita ular itu ke rumah," Diana bersedekap. Kalau memikirkan wajah Gladys, Diana rasanya ingin muntah.
"Apa itu artinya kamu senang Hira kabur dari rumah?" Tanya Hadi geli.
"Ummm, tidak sih. Tapi kalau memang harus kabur, lebih baik Hira kabur ke rumah eyang. Kenapa tidak ke Solo?" Tanya Diana.
"Kamu pikir Hira dalam kondisi bisa pergi jauh? Tidak dengar apa yang sudah kak Halim lakukan sama putrinya ini?" Tanya Hadi.
"Ah, benar. Aku benar-benar lupa. Maafkan Tante kecil ya, jadi bagaimana kondisi kakimu, sayang?" Diana menatap Hira yang kemudian menunjukkan kakinya yang luka-lukanya sudah mengering. Benar-benar hampir sembuh berkat perawatan yang telaten dari Aldo.
"Oh, apa masih terasa sakit? Habis ini kita ke rumah sakit ketemu eyang sekalian kamu di obati ya?"
"Tidak usah Tante. Ini benar-benar nyaris tidak terasa sakit sama sekali."
"Apa temanmu yang mengobatimu, Ra?" Tanya Hadi.
Hira mengangguk. "Dia mengobatiku dengan rajin dan telaten."
"Hmmm... Benar. Kalau di lihat dari lukanya yang sudah benar-benar kering sepertinya sering di salepi. Temanmu benar-benar orang yang baik."
"Iya, Aldo memang sangat baik, om," Hira tersenyum ceria.
Hadi dan Diana berpandangan. Aldo? Nama seorang cowok.
"Apa hubungan Aldo itu denganmu?" Tanya Diana.
"Kami cuma teman."
"Kalian 'cuma' teman?" Ulang Hadi.
"Iya. Kami berteman dan kebetulan aku kenal sama mamanya karena aku sering main kesini jadi yang terpikirkan waktu kabur cuma rumah ini."
Hadi menghela napas, Diana geleng-geleng kepala.
"Apa kamu tidak terpikirkan untuk pergi ke rumah om?" Tanya Hadi.
"Kalau aku ke rumah om, om pasti akan memberitahu papa kalau aku ada disana."
Diana melirik Hadi yang wajahnya memerah. "Itu ga mungkin terjadi. Kamu tidak percaya sama om? Om jadi kecewa nih."
"Ah bukan begitu. Bukannya aku tidak percaya sama om," Hira berusaha menjelaskan.
"Sudah, sudah. Semua sudah terjadi, yang penting Hira sudah ketemu dan dia baik-baik saja," Diana menengahi.
Sementara itu Deina terkejut saat mendapati pak Amir yang berdiri di luar gerbang rumahnya dan terlihat ada dua mobil terparkir manis di pinggir jalan.
"Pak Amir kenapa bisa ada disini?"
"Oh, Bu Deina?" pak Amir menyapa Deina. Deina menatap ke arah rumahnya dan terlihat ada siluet beberapa orang diteras.
Setengah berlari, Deina masuk ke halaman rumah.
"Hira?"