Aldo merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamarnya. Hatinya kesal tapi di sisi lain dia lega karena Hira memiliki keluarga yang masih mempedulikannya.
Kring...kring... Terdengar bunyi panggilan masuk di ponselnya, Aldo melirik ponsel yang berada di sebelahnya dan mengambilnya dengan malas. Namun begitu melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, mata Aldo membesar. Dia bangun dan duduk dengan tergesa.
"Ya, halo," sapanya.
"Halo, Do. Apa aku mengganggumu?" Tanya Hira di seberang sana.
"Tidak. Ada apa?"
"Umm, begini, aku mau minta maaf karena sudah pergi tanpa berpamitan langsung padamu dan juga aku baru sempat meneleponmu karena ponselku baru saja di charge. Aku khawatir kamu mungkin saja akan menyusulku ke Solo. Tolong jangan lakukan itu karena aku pulang ke rumahku bersama Tante dan omku. Jadi aku... Ng...," Hira terdiam karena bingung harus mengatakan apalagi.
Aldo tertawa pelan.
"Baiklah, baiklah, aku mengerti maksudmu. Apa kamu baik-baik saja?"
Hira tersenyum ceria. "Ya. Aku senang karena wanita jahat itu sudah diusir dari rumah dan eyangku ada disini bersamaku."
"Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya."
"Makasih ya. Aku bisa melewati ini semua karena aku di kelilingi dengan orang-orang yang baik," ujar Hira dengan jujur. Dia ingin berbagi tentang perasaannya yang begitu bersyukur dengan keluarga yang di milikinya sekarang.
"Lalu aku juga senang memilikimu di sisiku," kata Hira pelan hingga nyaris tidak terdengar oleh Aldo. Meski begitu Aldo bisa mendengarnya. Jantung Aldo berdegup kencang dan dia menutupi wajahnya yang memanas dengan satu tangannya.
"Ah, tolong jangan salah paham. Maksudku adalah aku senang karena kamu dan tante Deina membantuku waktu itu," kata Hira buru-buru. Dia tidak ingin membuat hubungan mereka menjadi canggung karena kata-kata tidak berguna yang dilontarkannya.
"Tentu saja," kata Aldo singkat.
Hening lama diantara mereka sampai akhirnya Hira memecahkan keheningan yang begitu menyesakkan itu dengan mengatakan bahwa dia akan masuk sekolah besok.
"Begitu ya. Kalau begitu sampai jumpa di sekolah besok," kata Aldo kemudian mengakhiri telepon mereka. Aldo rasa dia tidak akan dapat menyembunyikan rasa kecewanya lebih lama jika mereka terus berbicara.
Hira menatap layar ponselnya yang sudah menggelap. "Argh, aku pasti sudah gila."
***
Marissa menyambut kedatangan Hira dengan senyum lebar. Meski sudah lebih sehat, tapi dokter masih belum mengijinkan Marissa untuk pulang.
"Hira sayang, sini," Marissa mengusap-ngusap kepala Hira dengan lembut saat cucunya itu memeluknya dengan erat.
"Eyang, maaf ya, gara-gara aku eyang sakit," bisik Hira lirih.
"Ini bukan salah kamu, sayang. Eyang memang sedang kurang sehat saja. Yang penting sekarang kamu sudah kembali. Eyang benar-benar khawatir kamu sendirian di luar sana, apalagi kamu juga terluka," kata Marissa.
Hira menggeleng. Dia bilang bahwa dia tinggal bersama keluarga baik yang mau menerimanya dan mengurusnya dengan telaten. Bahkan sekarang kakinya itu sudah tidak terasa sakit lagi.
"Bukankah kita harus berterima kasih pada mereka karena sudah mengurus kamu dengan baik?"
"Itu benar. Kita bisa undang mereka untuk makan malam di rumah," kata Diana mengusulkan.
Hira menatap tante kecilnya yang kini tersenyum lebar. "Itu ide yang bagus sekali tante."
Marissa manggut-manggut setuju pada usul putri bungsunya itu. Dan dia bilang bahwa dia akan meminta dokter untuk mempercepat proses kepulangannya.
"Oh, ngomong-ngomong jika lain kali Hira mau minggat, Hira langsung minggat ke rumah eyang aja, ya," kata Marissa sambil mengusap-usap kepala Hira lembut.
"Aduh, ma. Masa mama ngajarin Hira buat minggat, sih," Diana menepuk jidatnya.
"Yah memangnya kenapa? Kalau memang tidak betah di rumah itu, Hira boleh tinggal sama mama kapanpun itu."
"Ma, harusnya mama ngajarin Hira bahwa bagaimanapun dia adalah pewaris sah rumah itu jadi yang mesti minggat dari rumah itu ya si wanita begundal itu dong. Hira harus di ajari mempertahankan miliknya sendiri," kata Diana.
Marissa berpikir sambil manggut-manggut setuju dengan ucapan Diana. Bagaimanapun Hira adalah putri pertama dan ada dalam daftar paling atas pewaris rumah dan perusahaan milik Halim. Marissa menatap Hira dan menilai bahwa Hira memang masih terlalu lembek dan karena sifat cerianya itu membuatnya menjadi orang ga enakan.
"Hira, selalu ingat ini, kamu adalah keturunan keluarga Wiryawan dan kamu pewaris utama perusahaan papamu. Jadi kamu tidak boleh lemah, kamu harus menjadi anak yang lebih kuat dan tegas terutama pada wanita pelacur itu. Kamu tidak mau kan kalau semua milikmu diambil oleh wanita baru?"
Hira mengangguk meskipun dia sebenarnya enggan tapi eyangnya benar, semua yang dia miliki sejak kecil bisa saja lenyap tak bersisa jika dia lemah. Harusnya dia tidak perlu kabur kemarin, harusnya dia melawan lebih keras. Dia menyadari bahwa papanya bisa sangat keras dan sangat lemah jika menyangkut dirinya, terbukti dari papanya yang meminta maaf sambil berkaca-kaca dan menyesali kebodohannya.
"Ah ya, apa Diana sudah memberitahumu kalau dia akan tinggal bersamamu untuk sementara waktu."
Hira menatap Diana yang tersenyum lebar, "Beneran?"
"Ya."
"Lalu bagaimana dengan eyang?"
"Setelah semuanya beres eyang akan pulang ke Solo."
Hira kembali memeluk Marissa.
"Aku akan sering-sering ke Solo nengokin eyang putri dan eyang Kakung."
***
Deina mengerutkan keningnya saat melihat Halim berdiri di depan gerbang rumahnya sambil merokok.
"Bagaimana dia bisa tahu rumahku? Apa Hadi yang memberitahu?" batin Deina.
"Ada urusan apa kamu kesini?" tanya Deina ketus. Hari ini dia merasa lelah sekali karena pekerjaannya di kantor begitu banyak dan tidak ada waktu untuknya istirahat. Niatnya segera pulang hanya untuk tidur lebih awal. Aldo bilang bahwa dia sudah membelikan makan malam, jadi Deina tidak membeli makanan lagi di luar.
Halim membuang puntung rokoknya dan menatap Deina yang kini sedang membuka pintu gerbang. Wajah wanita itu merengut kesal.
"Aku dengar Hira tinggal disini sewaktu dia kabur dari rumah."
Deina tidak menjawab. Dia benar-benar tidak punya energi untuk marah-marah sekarang meski dia ingin sekali menyumpahi Halim. Pria yang dengan tidak tahu malunya malah datang ke rumahnya.
"Aku mau berterima kasih. Karena kamu sudah merawat Hira. Dan maaf, kalau dia merepotkanmu."
"Hira sama sekali tidak merepotkan. Malah aku berharap jika dia tidak pernah kembali ke rumahmu. Rumahku cukup besar untuk dia tinggal disini daripada tinggal bersamamu tapi dia menderita."
"Jika yang kamu maksud adalah luka-luka di kakinya, itu memang salahku. Tapi kamu sama sekali tidak mengerti, aku melakukan itu karena hanya ingin mendisplinkannya yang sudah tidak sopan pada orang yang lebih tua."
"Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik untuk memberitahunya selain memukulinya?"
Halim memijit pelipisnya. "Saat itu aku sangat emosi, tanpa sadar aku sudah melakukan itu. Aku khilaf. Tapi, kelakuan Hira saat itu memang sudah kelewat batas dan aku rasa dia memang perlu di berikan sedikit teguran."
Deina tersenyum masam. "Sebagai orang yang pernah kehilangan anaknya, aku menyadari satu hal. Seorang anak, yang tidak bisa memilih dimana dia di lahirkan, adalah hal berharga yang harus dijaga. Bagaimana pada akhirnya dia tumbuh besar, itu tergantung bagaimana kita sebagai orang tua memperlakukan dan membesarkannya. Hira adalah seorang anak yang sangat baik. Aku sangat menyayanginya seperti putriku sendiri. Jika pada akhirnya dia berlaku tidak sopan pada orang tua seperti yang kamu katakan, bukankah itu salahmu? Kamulah yang patut di pertanyakan, apakah kamu sebagai orang tua sudah memberikan contoh yang baik padanya atau belum. Menghukumnya dengan cara memukulinya sangat tidak beradab. Bukannya kamu introspeksi dirimu sendiri kamu justru menyalahkan orang lain karena berlaku tidak sesuai harapanmu. Bahkan sampai akhir kamu masih menganggap tindakanmu itu tidak salah."
Deina menatap tajam Halim yang tidak mampu berkata-kata apapun.
"Aku sungguh kecewa padamu. Pulanglah. Aku sungguh lelah dan tidak ingin bicara apapun lagi padamu."
Selepas itu, Deina membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Halim.