"Hira?!" Deina tergesa-gesa menghampiri Hira. Melihat pak Amir di depan rumahnya sepertinya dia tahu apa sedang terjadi. Mungkinkah Pak Amir kesini untuk menjemput Hira?
Hira tersenyum lebar. "Oh, Tante Deina."
Hadi dan Diana menoleh bersamaan. Mata Hadi melebar saat melihat Deina. Sementara itu Diana tersenyum tipis menyambut kedatangan pemilik rumah itu.
Tanpa menghiraukan kedua orang disebelah Hira, Deina langsung bertanya pada Hira,"Sayang, apa mereka mau menjemputmu?"
Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Hira akan pulang secepat ini. Dia berharap Hira bisa sedikit lebih lama lagi di rumahnya. Hira cuma mengangguk. Dia juga tidak menyangka bahwa secepat ini ditemukan. Mengetahui bahwa Pak Amir yang menemukannya, Hira berpikir ternyata Pak Amir lebih teliti dari yang dia duga.
"Oh, ya tante. Kenalin, ini om aku dan tante kecil," kata Hira. Deina menoleh dan dia sedikit terkejut karena sosok di hadapannya yang kini tersenyum ramah padanya.
"Sudah lama ya, senior Deina."
"Hadi?"
"Eh, eh...," Hira dan Diana terlihat kebingungan. Mereka bergantian menatap Hadi dan Deina.
***
"Jadi begitu?" Hira terlihat takjub saat mengetahui bahwa tante Deina yang dia kenal adalah teman papanya dan juga senior om Hadi di sekolah dulu. Bahkan beliau juga pernah menjabat sebagai ketua OSIS, berdampingan dengan papanya yang menjabat sebagai wakilnya.
"Apa dia adalah wanita 'itu'?" tanya Diana sambil berbisik pada Hadi.
Mereka kini berada di dalam rumah Deina dan Deina menjamu mereka dengan menyuguhkan teh serta cookies yang dibuatnya bersama Hira kemarin. Hira dengan bangga menyombongkan cookies buatannya pada om dan tantenya. 'Menggemaskan', pikir mereka.
"Wanita 'itu' apa maksudmu?" balas Hadi pelan.
"Itu loh, cinta pertama kak Halim. Aku pernah dengar bahwa dia adalah ketua OSIS di sekolahnya."
"Ah, iya kamu benar." Hadi mengangguk.
Diana menatap Deina secara teliti. Yah, pantas saja kakak iparnya itu dulu jatuh cinta dengan Deina, wanita itu masih terlihat begitu cantik dan muda meski usianya sudah kepala empat, pikir Diana.
Sudah menjadi rahasia umum di keluarga mereka bahwa ada wanita lain yang di cintai oleh Halim. Kakaknya, Sabrina dan Halim menjalani perjodohan atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga. Jadi bisa di bilang mereka menikah tidak atas dasar cinta, tapi Halim tidak tahu bahwa sebenarnya Sabrina jatuh cinta padanya. Halim yang waktu itu memilih jomblo lama karena belum bisa melupakan cinta pertamanya, akhirnya memutuskan untuk menjalani perjodohan itu dan ternyata tidak buruk juga menikahi Sabrina. Meski pada akhirnya Halim tidak pernah bisa jatuh cinta padanya, tapi Halim menyayanginya sebagai seorang teman hidup.
Deina adalah orang yang selalu ingin di temui oleh kakaknya sampai akhirnya dia meninggal karena sakit pada saat usia Hira tujuh tahun. "Aku bertemu dengannya, kak. Dan seperti yang sudah bisa kita perkirakan, dia memang cantik dan sangat baik. Siapa sangka bahwa dia sangat menyayangi putrimu." batin Diana.
Dia bisa berpikir seperti itu karena tatapan mata wanita itu pada keponakannya adalah tatapan yang sama dengan miliknya.
Lamunannya tidak berlangsung lama karena tidak lama kemudian Hadi memberikan kode membuat Diana tersentak ketika sikut Hadi menyodoknya.
"Jadi, seperti itu senior. Kami kesini untuk menjemput Hira pulang," kata Hadi. Diana ikut mengangguk.
"Bagaimana jika aku tidak mengijinkannya?" Tanya Deina.
"Hah?" Kali ini Diana melongo bingung.
"Mana mungkin aku menyerahkan Hira pada orang tua yang kejam yang tega memukulinya sampai terluka begitu."
"Hmm... Benar juga. Aku-pun tidak sudi mengembalikan Hira pada kak Halim," Diana mengangguk-angguk setuju.
"Hei, kenapa kamu malah ikut-ikutan? Kita disini untuk membawa Hira pulang," tegur Hadi.
"Oh iya," Diana tersenyum malu.
Setelah itu terjadi perdebatan diantara mereka bertiga memperebutkan Hira. Deina bersikeras untuk menahan Hira di rumahnya. Dia sangat tidak rela Hira pulang setelah di perlakukan dengan kasar oleh papanya yang ternyata adalah Halim. Deina benar-benar merasa di tipu, Halim yang membranding dirinya seperti seorang papa yang cinta keluarga ternyata seseorang yang kejam.
"Hah, apa itu pria cinta keluarga. Cih." Batin Deina kesal.
Setelah perdebatan panjang yang tak kunjung usai itu, Deina akhirnya mengijinkan Hira untuk pulang. Dia memikirkan perasaan Hira juga yang mungkin saja merindukan rumahnya. Padahal selama dua hari ini Deina merasa senang dengan kehadiran Hira di rumahnya yang membawa kegembiraan di rumah kecilnya itu.
"Makasih ya senior sudah merawat Hira selama dua hari ini," kata Hadi. Dia menunggu diluar bersama Deina sementara Hira dan Diana sedang membereskan barang-barang yang akan Hira bawa pulang.
"Sebenarnya aku masih ga ikhlas loh. Apalagi waktu tahu alasan Halim memukuli Hira hanya karena seorang wanita? Dasar pria gila," umpat Deina.
Hadi terkekeh. "Yah, dia memang sedikit gila. Ngomong-ngomong bagaimana kabar senior? Sudah lama sekali tidak ada kabar dari senior."
"Kabarku baik. Oh, aku memang baru sekarang-sekarang ini ikut reuni. Sebelumnya aku masih ragu untuk muncul di hadapan teman-teman."
"Senior ikut reuni? Hari Sabtu lalu?"
"Iya. Aku tidak melihatmu disana. Kamu tidak datang?"
Hadi menggeleng. "Istriku baru melahirkan jadi aku tidak bisa meninggalkannya hanya untuk ikut reuni."
"Seperti yang di harapkan dari seorang Hadi. Si cowok gentleman. Kamu benar-benar tidak berubah."
"Sudah seharusnya seorang pria bertanggung jawab terhadap keluarganya'kan?"
Deina terkekeh. "Aku kenal dua orang pria yang kompeten tapi tidak bertanggung jawab pada keluarganya, yang pertama adalah mantan suamiku dan yang kedua Halim."
Hadi meringis.
"Apa senior bertemu dengan kakak di reuni?"
Deina mengangguk. "Ya. Disana aku ketemu Halim. Teman-teman semuanya cerita tentang betapa hebatnya Halim dalam mengurus perusahaan dan keluarganya setelah jadi duda keren. Mereka tidak tahu saja kalau Halim itu benar-benar berbeda dari rumor. Aku saja merasa tertipu. Dia sangat berubah, aku pikir dia masih Halim yang alim."
"Dia masih alim kok, kak. Cuma memang sifatnya jadi lebih tegas, tidak sekalem waktu masih sekolah dulu."
"Lebih jahat tepatnya." Hadi cuma bisa tertawa mendengar umpatan dari Deina.
"Aku titip Hira ya. Kalau sampai Hira disakiti lagi sama Halim kamu laporkan padaku. Akan ku bawa Hira pergi dan dia tidak akan pernah ku ijinkan pulang sekalipun kalian memohon."
Hadi terkekeh. Ucapan Deina mengingatkannya pada ancaman dari Marissa.
'"Sekali lagi aku dengar kamu memukuli Hira bahkan seujung rambutnya, aku akan bawa Hira dari sini dan akan ku pastikan kamu tidak akan pernah bisa bertemu dia lagi."'
Sungguh unik, bagaimana bisa mereka memikirkan hal yang sama. Dan kedua orang itu sama-sama menyayangi Hira, bedanya yang satu memang terikat darah karena Marissa adalah nenek Hira, tapi Deina berbeda. Deina bahkan tidak memiliki ikatan apapun tapi dia terlihat mencintai Hira tanpa syarat.
Tak lama kemudian Diana dan Hira keluar dari rumah. Diana membawa ransel milik Hira dan Hira terlihat sudah mengganti bajunya.
"Sering-sering main kesini ya, sayang. Lalu kalau kamu di sakiti lagi sama papamu itu, kamu boleh ke rumah Tante lagi. Pintu rumah Tante selalu terbuka lebar buat kamu," Deina memeluk Hira dan mengusap-usap rambutnya dengan sayang. "Kakinya jangan lupa di salepi ya. Salepnya udah di bawa kan?"
Hira mengangguk dan memeluk Deina erat. "Makasih ya Tante. Makasih juga buat Aldo. Aku titip salam buat Aldo ya, Tan."
Diana melirik Hadi. Matanya berbinar-binar seolah menemukan sebuah harta karun.
"Kami pamit ya, senior," kata Hadi.
"Makasih ya kak udah mau jagain Hira kami," kata Diana.
Deina mengangguk.
Mobil yang membawa Hira pulang akhirnya menghilang di ujung jalan meninggalkan Deina yang termangu seorang diri di depan gerbang. Rasanya ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Meski Hira hanya teman putranya, tapi entah mengapa Deina begitu menganggapnya istimewa sejak pertemuan pertama.
***
Sekitar pukul 12 siang Aldo pulang, suara motornya memasuki halaman rumah dan terdengar cowok itu bersenandung kecil.
Setelah melepas sepatunya, Aldo masuk ke dalam rumah dan memanggil nama Hira.
"Ra, aku bawa semua pesanan kamu, nih."
Deina keluar dari arah dapur dengan wajah khawatir.
"Kenapa ma? Hira mana?"
"Hira sudah pergi, Do."
"Ap...apa?" Batagor dan es krim pesanan Hira jatuh menghantam lantai dan membuat berantakan.
"Dia kan sudah janji? Apa dia ke Solo?" Tanya Aldo dengan nada nyaris marah.
Deina menggeleng. "Jangan marah, Do. Hira pulang karena Om dan tantenya menjemputnya."
Raut wajah Aldo yang sempat mengeras perlahan melunak.
"Begitu, ya." Aldo berjongkok dan memunguti es krim yang berceceran dan batagor yang tadi jatuh. Dengan langkah gontai dia membuang semua makanan itu ke tempat sampah.
"Apa kamu kecewa, Do?"
"Tidak. Memangnya aku siapa yang pantas untuk kecewa? Aku kan bukan siapa-siapa bagi dia. Dia pulang saja tidak memberitahu aku. Lewat pesan pun tidak."
"Mungkin Hira belum sempat mengirim pesan padamu. Tapi dia titip pesan pada mama untuk berterima kasih sama kamu." Deina berusaha menghibur Aldo yang terlihat tidak bersemangat.
Aldo cuma mengangguk dan dan masuk kedalam kamarnya tanpa bicara apa-apa lagi.