"Aduh, gimana ini, mama jadi pingsan begini," ujar Diana cemas sambil mengipasi mamanya.
Halim terlihat merasa bersalah, sementara Hadi terdengar menghela napas dari tadi.
"Kak, aku tahu kalau sudah lama kebutuhan batin kamu tidak terpenuhi, tapi serius kamu sampai menghamili wanita itu?" tanya Hadi, dia tampak marah dan kecewa bersamaan.
"Aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, aku berani bersumpah aku tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk melakukan hal kotor seperti itu sebelum menikah, kamu juga tahu aku orang yang seperti apa. Tapi, waktu itu aku mabuk saat sedang bersama Gladys, dan sepertinya saat itulah hal itu terjadi."
"Kamu baru sekali melakukan itu dan wanita itu langsung hamil?" tanya Diana yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka.
Hadi menatap Halim juga dengan pandangan bertanya.
"Yah, dia bilang begitu. Dan dia juga menunjukkan bukti testpack padaku."
"Kak, tolong lebih peka untuk hal seperti ini. Pergilah ke dokter bersama dan pastikan bahwa wanita itu memang hamil. Jika dia memang hamil, pastikan kalau bayi itu memang anakmu," kata Hadi gemas.
"Jika dia hamil karenaku sudah pasti bayinya adalah anakku."
"Memangnya kamu yakin kalau dia hanya melakukan itu denganmu?" tanya Diana.
"Hati-hati dengan ucapanmu, Diana. Kamu tahu kan kalau ucapan yang tidak benar itu bisa jadi sebuah fitnah."
"Kak, Diana benar. Bagaimana bisa kamu seyakin itu kalau bayinya adalah anakmu? Sebaiknya wanita itu jangan tinggal disini sampai dia melahirkan dan sudah dipastikan kalau bayinya adalah anakmu," kata Hadi.
"Kau gila, mana bisa aku melakukan itu pada wanita yang sedang hamil?"
"Kamu yang sudah gila, kak. Lihat apa yang terjadi sekarang karena kamu memaksa membiarkannya tinggal disini."
"Benar, Hira pergi dari rumah, semua karena kakak membawa wanita itu kesini, Sekarang apa yang harus kita lakukan, kita bahkan tidak tahu kemana Hira pergi. Kakinya terluka dan dia sendirian," Diana menghapus air matanya yang menetes saat mengingat Hira yang sendirian diluar sekarang. "Dan sekarang mama juga pingsan karena berita kehamilan wanita itu."
Melihat itu Halim tambah merasa bersalah. Sedari awal dia memang terlalu terburu-buru membawa Gladys untuk tinggal disini, tapi dia tidak punya pilihan karena Gladys memaksanya dengan alasan kehamilannya.
"Hah, baiklah, baiklah. Aku akan mengirimnya tinggal di apartemen bersama seorang pelayan sampai dia melahirkan."
"Ingat ya kak, jangan berani-berani untuk menikah sampai kamu memastikan bahwa bayi itu benar-benar anakmu," ancam Hadi.
Halim meringis. "Iya... Iya. Aku akan menunda pernikahannya. Tolong kamu bantu urus mama mertuaku, aku mau ketemu Gladys dulu dan bicara dengannya."
Sepeninggal Halim, Hadi menyenderkan kepalanya yang pening ke sandaran sofa.
"Sebenarnya dimana dan bagaimana dia bisa bertemu wanita pelacur seperti itu?" Kata Diana dengan nada kesal.
"Entahlah." Hadi menatap Marissa yang masih pingsan dan wajahnya terlihat pucat. "Sebaiknya kita bawa tante Marissa ke rumah sakit."
Diana mengangguk. Mereka buru-buru memanggil beberapa pelayan laki-laki untuk membantu mereka membawa Marissa ke mobil untuk di bawa ke rumah sakit.
Sementara itu...
"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kamu meminta aku untuk pergi dari sini?"
Halim mengangguk, dua hari ini dia sungguh merasa frustasi dan dia berharap wanita di hadapannya ini bisa mengerti dirinya yang sedang kesusahan menghadapi semua hal yang terjadi secara tib-tiba.
"Iya sayang. Aku akan menyewakan apartemen yang luas untukmu dan aku akan mengirimkan satu pelayan di rumahku untuk tinggal bersamamu. Akan aku pastikan semua kebutuhanmu terpenuhi."
"Kenapa aku tidak boleh tinggal disini?"
Halim terdiam sesaat. "Karena kita belum menikah."
"Kalau begitu segera nikahi aku. Dengan begitu aku boleh tinggal disini."
Wajah Halim berubah sedikit muram. "Sepertinya kita tidak bisa menikah dalam waktu dekat. Semua hal menjadi kacau dan aku harus pastikan semuanya beres, baru setelah itu kita bisa menikah dengan tenang."
"Ini semua pasti karena keluargamu kan? Apa aku tidak berharga untukmu sampai kamu tidak bisa memperjuangkan aku di depan mereka?"
"Tidak, tentu saja kamu berharga. Tapi keluargaku juga berharga. Aku ingin menikah dengan restu semua orang termasuk putriku. Tolong turuti permintaanku kali ini, oke."
Gladys tampak keberatan. Sudah susah payah sejauh ini dan dia juga sudah berhasil masuk ke dalam bagian rumah ini tapi sekarang dia harus keluar dari sini.
"Bagaimana dengan paviliun? Aku akan tinggal disana dan akan hidup seperti udara. Keluargamu bisa anggap aku tidak ada."
Halim menggeleng. "Tidak bisa."
Gladys terus merajuk tapi Halim tetap pada pendiriannya. Pada akhirnya wanita itu mengalah dan kembali membereskan pakaian-pakaiannya yang sudah berjejer rapi di lemari ke dalam koper, beserta peralatan make upnya yang tertata di meja rias. Lalu koper-koper itu di bawa oleh Pak Sulis, supir pribadi Halim ke mobil. Gladys pergi bersama dengan Helen di ikuti tatapan lega oleh hampir seluruh penghuni rumah.
"Lihat saja, aku kalah kali ini, tapi setelah aku berhasil menikah dengan Halim, akan aku pastikan bahwa mereka semua tidak akan bisa mengganggu dan merendahkanku lagi."
***
Hira mencomoti kue kering yang baru saja matang keluar dari oven.
"Harum banget, tante kuenya. Enak lagi."
"Benarkah? Kalau begitu makan yang banyak ya sayang."
Hira tersenyum ceria dan kembali memakan kue kering itu dengan lahap. Deina sangat senang dengan pemandangan itu, dari dulu memasak bersama adalah salah satu wishlistnya jika memiliki anak perempuan ataupun menantu perempuan.
Hira membawakan sepiring cookies yang baru matang itu pada Aldo yang sedang membaca buku di ruang tengah.
"Do, nih ada cookies. Enak loh."
Aldo melirik Hira dan mencomot satu buah cookiesnya dan cuma mengangguk. Responnya yang begitu datar membuat Hira merasa gemas.
"Enak ga?"
Aldo mengangguk lagi.
"Ngomong sesuatu kek. Misalnya bilang enak banget atau wow enak," kata Hira merajuk. "Padahal kamu bisa makan cookies seenak ini loh dan mama kamu sendiri yang buat."
Aldo terkekeh. "Mama aku buat cookies hanya karena ada kamu disini. Kalau kamu ga ada, aku biasanya cuma makan angin."
"Sembarangan ya kamu Do, mama sering beliin kamu cemilan kan," kata mama Deina.
"Iya beli bukan buat sendiri," kata Aldo.
Mama Deina terkikik. "Bener juga sih."
"Masa sih Tante ga pernah buat cookies buat Aldo?"
"Tante jarang buat karena ga ada yang makan. Si Aldo makan paling hanya satu dua buah terus udah. Jadi males deh buatnya. Makanya Tante paling senang saat Hira ada disini, karena Hira suka makan, semua yang Tante buat pasti habis."
Terdengar seperti pujian tapi membuat Hira malu karena tandanya dia begitu gembul dan suka makan.
***
"Kira-kira non Hira pergi kemana ya, pak?" Bu Rina bertanya-tanya dengan wajah khawatir.
Beberapa pelayan sedang berkumpul di ruang khusus pelayan dan mengobrol sambil makan kudapan yang dibuat oleh koki rumah.
Pak Amir menyesap kopinya dan terlihat berpikir sejenak. Langit sudah berubah menjadi lembayung, senja sudah tiba dan sudah satu hari berlalu tanpa ada hasil kemana Hira pergi.
"Entahlah Bu, kalau di pikir-pikir non Hira itu jarang punya teman dekat. Yang kita tahu cuma non Bella, itupun kemarin non Bella baru aja kembali ke Inggris." Pak Amir tahu karena dialah yang mengantar Hira ke bandara.
"Oh iya. Ada satu orang lagi," pak Amir terlonjak.
Bu Rina menatap pria yang sudah mengabdi di keluarga ini selama 30 tahun itu dengan wajah kebingungan.
"Den Aldo. Kenapa dari kemarin ga terpikirkan sama sekali?"
"Cowok? Maksudmu non Hira tinggal sama cowok begitu?"
"Yah tidak. Den Aldo kan punya keluarga. Ada mamanya juga, Bu Deina."
"Yasudah coba kamu bilang ke tuan biar non Hira bisa di jemput sekarang."
"Jangan dulu. Besok saya lihat dulu ke rumah den Aldo apa non Hira ada disana atau tidak. Kalau benar-benar ada, baru saya beritahu tuan."
Bu Rina mengangguk-angguk.
"Semoga benar non Hira ada disana dan baik-baik saja."
***
Hira menatap Aldo yang sedang berjongkok di depannya sambil mengolesi salep luka. Lukanya hampir sembuh tapi masih butuh waktu untuk sembuh total dan tidak meninggalkan bekas.
"Makasih ya Do." Kata Hira hampir seperti bisikan.
Aldo tersenyum. "Your wel, Ra."
"Udah di salepi kakinya Hira Do?" Tanya mama Deina dan Aldo hanya mengangguk.
"Nah, ayo kita bobo, sudah malam. Aldo juga besok harus sekolah."
"Aku libur dulu, deh ma buat jagain Hira. Lagipula ga ada kegiatan apa-apa di sekolah."
"Tidak. Yang jaga Hira besok mama. Kamu sekolah aja, oke. Sayang loh mama udah bayar SPP kamu."
Aldo memutar bola matanya. "Baiklah, baiklah," katanya mengalah.
"Anu, aku gak apa-apa kok di tinggal sendirian," kata Hira menyela.
"Tidak, masa kamu di tinggal sendiri. Besok kamu di rumah sama mamaku."
"Tapi, aku ga enak kalau Tante Deina sampai ambil cuti cuma untuk jagain aku."
"Tante ga cuti kok, Tante kerja dari sini. Hira tenang aja ya, Tante sering kerja dari rumah."
Hira cuma mengangguk pasrah. Keluarga di rumah ini memperlakukannya begitu hangat dan perhatian membuatnya sangat betah tinggal disini.
"Kalau begitu selamat tidur," kata Aldo yang kemudian berlalu begitu saja ke kamarnya yang terletak di sebelah kamar mama Deina. Tak lama terdengar suara pintu tertutup.
"Nah, kita juga tidur sekarang, yuk."
Hira mengangguk. Lalu mama Deina mematikan lampu kamarnya dan hanya menyisakan lampu tidur yang menyala temaram.