Chereads / Sekarang dan Selamanya / Chapter 15 - LIMA BELAS

Chapter 15 - LIMA BELAS

Wajah Halim memucat saat mendengar kabar buruk yang disampaikan oleh Bu Rina. Deina yang menyadari itu mendekati Halim dan menanyakan apa pria itu baik-baik saja. Halim meminta maaf pada Deina karena dia tidak bisa mengantarnya pulang seperti janjinya, sebagai gantinya dia akan mentraktirnya makan siang jika memang urusannya sudah selesai.

"Baiklah. Selesaikan urusanmu dulu. Aku bisa pulang sendiri, kok."

Halim cuma bisa mengangguk dan meninggalkan Deina sendirian. Deina memutuskan untuk pulang dengan memesan taksi online. Sambil menatap jam tangan, Deina bergumam. "Aldo pasti sudah tidur."

***

Brakkk...

Halim masuk kedalam rumah dengan wajah marah dan cemas. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Hira akan pergi dari rumah. Sepertinya keputusannya untuk membawa Gladys ke rumah memang terlalu terburu-buru. Sejak awal putrinya itu memang tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyukai Gladys. Tapi Halim tidak punya pilihan, Gladys sedang mengandung anaknya.

Meski awalnya Halim terkejut dengan berita kehamilan Gladys tapi sebagai orang yang ingin memiliki putra, Halim sangat berharap bahwa wanita itu akan memberikannya seorang putra yang sangat dia inginkan.

Gladys sedang berdiri di depan pintu kamar Hira yang didalamnya ada Bu Rina dan beberapa orang pelayan rumah.

"Sayang, ini semua salahku. Hikss...," Gladys menangis lirih saat melihat Halim. Halim tidak punya pilihan selain menghampiri wanita itu dulu dan menenangkannya.

"Tidak, tidak... ini bukan salahmu. Ini sudah malam sebaiknya kamu kembali ke kamar. Helen, tolong antar nyonya Gladys ke kamarnya," perintah Halim pada seorang pelayan yang terlihat masih muda. Pelayan itu mengangguk dan mengikuti langkah Gladys yang sudah lebih dulu meninggalkan kamar Hira sambil tersenyum puas.

Hah, keputusannya untuk hamil memang tepat, karena akhirnya Halim jatuh ke pelukannya seutuhnya. Selama ini agak sulit menggoda pria itu meski mereka sering bercumbu, tapi Halim selalu membatasi diri. Namun, Gladys yang tidak hilang akal membuat pria itu mabuk dan membuat mereka melakukan hal tersebut hingga akhirnya Gladys bilang bahwa dia hamil. Jika dia tidak hamil, belum tentu Halim akan segera menikahinya, karena pria itu tidak akan menikahinya tanpa ijin dari putrinya.

"Hah, baguslah. Sebaiknya kamu jangan pernah kembali lagi anak sialan," batin Gladys.

***

"Jadi, bisa jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" Halim menatap tempat tidur Hira yang selimutnya terbuka sedikit dan bantal guling muncul dari dalam selimut itu. Wajahnya tampak frustasi.

Bu Rina menjelaskan bahwa dia hendak memberikan Hira susu sebagai pengganti makan malam yang tidak boleh di berikan untuknya sebagai hukuman. Bu Rina khawatir jika nanti Hira akan sakit karena pencernaan Hira memang sedikit terganggu. Saat mengetuk pintu kamar dan tidak ada jawaban dari dalam kamar, Bu Rina pikir majikan kecilnya itu sedang tidur, dia akhirnya membuka pintu untuk masuk ke dalam kamar.

Tapi alangkah terkejutnya bu Rina saat dia berusaha membangunkan Hira yang tertutupi selimut. Benda yang terbungkus selimut yang dia kira adalah Hira, ternyata adalah bantal guling. Setelah itu Bu Rina memeriksa jendela dan menyadari bahwa jendela memang tidak terkunci dan sedikit terbuka. Bu Rina juga menjelaskan bahwa dia sudah berusaha menghubungi ponsel Hira namun rupanya Hira mematikan ponselnya.

Halim mengacak-acak rambutnya dan segera memberi instruksi untuk melihat rekaman cctv yang memang terpasang di sekeliling rumah dan luar rumah. Pelayan yang ditugaskan untuk melihat rekaman cctv memberitahu bahwa Hira terlihat keluar dari rumah di jam sekitar pukul setengah lima. Gadis itu berjalan kearah halte bis dan karena cctv yang terpasang tidak sampai ke arah sana, jadi mereka kehilangan jejak Hira.

"Sebenarnya kemana dia? Apa mungkin dia ke rumah Hadi?" Halim berpikir keras. Rumah kerabatnya yang terdekat adalah Hadi, adik kandung Halim. Sedangkan rumah kakaknya Herman dan Herlin, berada di Surabaya dan Malang, jadi sangat tidak mungkin bagi Hira untuk pergi ke rumah mereka.

Dengan tergesa Halim menekan nomor telepon Hadi dan meneleponnya. Pada dering ketiga adiknya itu mengangkatnya.

"Ya, halo, kak?"

"Apa Hira ada di rumahmu?" tanya Halim tanpa basa-basi.

Hadi mengerutkan keningnya. "Tidak ada. Hira tidak bilang mau kesini."

"Begitukah?"

"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Hadi.

"Hira hilang."

"Apa?! Kamu bercanda, kak?"

"Aku serius. Dia hilang. Lebih tepatnya dia pergi dari rumah. Aku meneleponmu karena kupikir dia pasti ke rumahmu."

"Kenapa Hira pergi dari rumah?"

"Hahh, panjang ceritanya. Kalau begitu aku akan tutup teleponnya."

"Hei, tunggu dul...". Belum sempat Hadi menyelesaikan ucapannya, Halim sudah mengakhiri teleponnya dan kembali berpikir, kira-kira kemana putrinya akan pergi. Apa mungkin ke rumah Arabella? Tidak mungkin, sahabat putrinya itu ada di Inggris, dan tidak mungkin Hira mau menginap di rumahnya jika Arabella saja tidak ada di rumahnya.

"Apa tidak sebaiknya kita telepon polisi saja, Tuan? Saya khawatir terjadi apa-apa dengan non Hira. Apalagi non Hira sendirian di luar sana dan kakinya juga terluka," tanya Bu Rina yang membuat Halim yang sedang berpikir menjadi tersentak. Dia baru saja teringat bahwa kaki putrinya itu terluka akibat dia pukul dengan ikat pinggang.

"Hahhhh. Aku memang sudah gila. Bisa-bisanya aku melakukan itu pada Hira." Halim menghela napas dan menatap meja nakas disebelah tempat tidur Hira, dia menyadari bahwa pigura berisi foto almarhum istrinya juga tidak ada. Itu adalah benda kesayangan Hira, jadi sudah pasti benda itu juga dibawa olehnya.

"Sabrina pasti marah padaku," gumamnya pelan.

Halim bangun dari tempat tidur Hira dan berjalan keluar.

"Tuan? Bagaimana dengan telepon polisi?" tanya Bu Rina lagi.

"Tidak. Itu belum perlu. Lagipula belum 24 jam, jadi kita belum bisa membuat laporan. Hira pasti ada disuatu tempat yang aman. Jadi Bu Rina tidak perlu khawatir."

"Tapi tuan...". Pak Amir yang juga ada di tempat itu memegang pundak bu Rina dan menggelengkan kepalanya membuat Bu Rina mengurungkan niatnya.

Halim berjalan gontai kearah ruang kerjanya. Barangkali jika disana dia akan bisa berpikir jernih dan bisa memikirkan segala kemungkinan kemana sebenarnya putrinya pergi.

***

"Loh, Do. Kamu belum tidur? Ini sudah malam, loh. Sudah jam setengah 12 malam," tanya Deina saat melihat Aldo yang duduk diam di ruang tengah. Mendengar suara mamanya, membuat Aldo kembali ke realita setelah sebelumnya dia memfokuskan diri menatap pintu kamar mamanya yang sedikit terbuka yang didalamnya ada Hira yang masih tertidur pulas.

"Kamu serius banget loh melototin kamar mama. Memang ada apa, toh?" Deina tersenyum geli dan melihat kearah kamarnya juga dan terkejut melihat Hira yang tidur di tempat tidurnya.

"Loh, kok Hira ada disini, Do?"

Aldo menatap mama dengan wajah khawatir. "Aku akan menjelaskannya."

***

Deina mengusap-usap kepala lembut Hira dengan pandangan cemas dan penuh kasih sayang. Sesekali matanya beralih menatap kaki Hira yang terluka. Luka itu sudah di salepi tipis-tipis lagi oleh Aldo saat Hira masih tertidur. Kadang Aldo bisa menangkap raut kesakitan dari wajah Hira.

Deina sudah mendengar ceritanya dari Aldo dan dia sangat marah.

"Kenapa orang tuamu tega melakukan ini, toh?" tanya Deina pada dirinya sendiri. Sebagai seorang ibu yang pernah kehilangan anak perempuannya, Deina sudah menganggap Hira sebagai putrinya sendiri dan dia sangat menyayangi Hira.

Hira yang merasakan ada sentuhan lembut di kepalanya membuka matanya perlahan-lahan dan menatap mama Deina yang tersenyum sayang padanya.

"Tante."

"Iya sayang."

"Tante sudah pulang?" tanya Hira sambil mengucek-ngucek matanya yang masih terasa mengantuk.

"Sudah sejak tadi. Hira tidur lagi saja, ini sudah tengah malam."

"Tidak, aku mau ngomong sama tante."

Aldo yang masih di tempatnya duduk bisa mendengar percakapan Hira dan mamanya.

"Mau ngomong apa?"

"Makasih udah ngijinin aku buat nginap disini dan maaf ya udah ngerepotin tante sama Aldo."

"It's okay sayang. Kamu boleh nginap disini kapanpun kamu mau. Pintu rumah tante selalu terbuka kok buat Hira."

Hira tersenyum, tak lama kemudian Hira terlelap karena mama Deina terus mengusap-usap kepala Hira agar gadis itu kembali tertidur.

"Do, kamu ga mau tidur?" Tanya mama Deina dari dalam kamarnya.

"Yah, sebentar lagi, ma."

"Kamu lagi ngapain, Do? Sudah lewat tengah malam, loh ini."

Mama Deina mengerutkan kening melihat Aldo yang membaca buku di tengah malam begini.

Aldo hanya sedang berusaha mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang dia sukai. Melihat Hira hari ini dan bagaimana gadis itu selama ini menjalani hidupnya dengan tawa ceria, Aldo hanya bisa berpikir bahwa kenapa Hira berusaha sekeras itu untuk terlihat baik-baik saja didepan semuanya?

Padahal tidak apa jika dia sedikit menunjukkan kelemahannya, sebagian orang mungkin akan menertawakan diri kita yang terlihat lemah, tapi sebagian lagi adalah orang-orang yang peduli pada kesulitan yang kita alami. Dan, Aldo sedikit bersyukur bahwa Hira mau menunjukkan kelemahannya pada dirinya yang bukanlah siapa-siapa gadis itu. Karena Aldo ingin menjadi salah satu dari sebagian orang yang peduli pada kesulitan Hira.