Chereads / Sekarang dan Selamanya / Chapter 12 - DUA BELAS

Chapter 12 - DUA BELAS

Aldo menenteng plastik berisi buku-buku pilihannya untuk mengisi liburan semester 1 nanti. Sambil melihat-lihat toko-toko Aldo berencana untuk makan siang di salah satu foodcourt di lantai atas mall.

Saat itulah matanya tanpa sengaja menangkap sosok Hira yang sedang berdiri di depan counter jus. Disebelahnya seorang cowok tinggi atletis dan terlihat tampan mengambilkan jus yang diberikan karyawan counter pada Hira. Hira menerimanya dengan wajah canggung yang terlihat seperti malu-malu di mata Aldo.

Aldo termenung beberapa saat sambil menatap kearah Hira yang tidak lama pergi dari counter jus tersebut dan menghilang kearah lain. Setelah sadar akhirnya Aldo memutuskan untuk berjalan menuju pintu keluar .

***

Aldo berdiri di depan cermin kamarnya dan menatap pantulan dirinya. Rambut berantakan yang menutupi hampir sebagian besar dahinya, kacamata besar bertengger di hidung mancungnya, tubuhnya yang terlihat kurus. Mau dipikir bagaimanapun, dia tidak terlihat seperti cowok normal kebanyakan.

Aldo membuka kacamatanya dan menaikkan rambutnya sehingga dahinya terlihat.

"Ah. Gue pasti udah gila," pikir Aldo.

Dia lalu kembali memakai kacamatanya dan membiarkan rambutnya kembali berantakan. Dari arah depan pintu terdengar suara orang masuk. Itu pastilah mamanya yang baru saja pulang.

"Oh, kamu udah pulang? Udah makan belum, Do? Mama bawa kwetiau goreng kesukaan kamu loh."

Aldo menggeleng. Lalu menghampiri mamanya yang meletakkan bungkusan makanan di atas meja makan di ruang tengah. Sementara mama Deina ke kamar untuk berganti baju, Aldo membuka plastik pembungkusnya dan menemukan tiga kotak berisi kwetiau goreng.

"Ma? Mama ga salah beli? Kok belinya banyak banget?"

"Iya mama sengaja beli tiga. Barangkali Hira ada disini."

Aldo mengernyit.

"Apa yang membuat mama berpikir kalau Hira ada disini?"

"Yah, kadang dia suka buat kejutan'kan. Waktu itu saja mama ketemu dia lagi nunggu didepan gerbang rumah sendirian. Lagipula mama senang kalau ada Hira disini. Rumah kita jadi terasa ramai."

Aldo menghela napasnya. "Ma, Hira kesini bukan karena mau main seperti teman pada umumnya. Dia kesini ya karena memang untuk belajar."

Mama tersenyum. "Mama tahu, mama tahu."

Aldo masih terlihat cemberut. Dia mulai makan dengan perasaan kesal.

"Apa kamu ga pernah menganggap Hira sebagai teman kamu, Do?"

Gerakan Aldo terhenti dan menatap mama. "Tidak."

"Begitu ya. Hmmm... Ini hanya feeling mama saja, sih. Tapi sepertinya Hira benar-benar tulus berteman sama kamu."

"Entahlah," Aldo mengangkat bahunya.

"Cobalah membuka hati sedikit, Do. Hira anak yang baik, loh."

"Aku tahu ma."

***

Sabtu sore itu hujan turun dengan deras. Aldo sedang setengah tertidur di ruang tamu saat ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan suara yang cukup keras.

Aldo bangun dan duduk, menatap ke arah pintu dan berpikir sejenak. Siapa pula yang mengetuk pintu rumahnya di hari hujan seperti ini? Dan bukannya tadi dia sudah menutup gerbang halaman depan?

Dengan sedikit bermalas-malasan Aldo bangun dan berjalan kearah pintu, saat membuka pintu itulah Aldo bisa melihat sosok Hira yang tersenyum padanya sambil setengah menggigil kedinginan. Hoodie dan tas ransel yang dibawanya basah kuyup.

Sambil tersenyum tipis dan canggung Hira bertanya dengan malu-malu. "Hai, Do. Boleh aku menginap untuk semalam?"

Hira duduk di sofa ruang tamu sementara Aldo masuk ke dalam kamar mama Deina dan mengambilkan handuk kering untuk Hira.

Tanpa banyak bicara Aldo duduk menunggu Hira yang sedang berganti pakaian di kamar mandi. Gadis itu keluar beberapa saat kemudian dengan mengenakan kaus miliknya yang kebesaran di tubuh mungilnya.

"Jadi? Bisa kamu jelaskan ada apa ini?" Tanya Aldo.

Hira tersenyum tipis. "Aku kabur dari rumah. Aku tidak tahu mau kemana, dan yang terpikirkan olehku cuma tempat ini."

Aldo mengacak-acak rambutnya. Bisa-bisanya Hira kabur ke rumahnya dan bukan ke rumah kerabatnya yang lain. Dia menatap Hira yang masih kelihatan kedinginan dan wajahnya terlihat sedikit pucat. Ingin sekali dia memarahi Hira, tapi apa gunanya.

Aldo menghela napas. "Kamu sudah makan belum?"

Hira menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tertawa canggung. "Belum."

"Aku hanya bisa masak mie instan. Kamu mau makan mie?"

"Tentu. Aku doyan apa saja, kok."

Aldo tersenyum tipis lalu berlalu ke dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan semangkuk mie yang masih mengepulkan uap panas.

"Wah... Kelihatan enak."

Hira terlihat ragu-ragu dan menatap Aldo yang duduk di hadapannya.

"Ayo dimakan."

"Kamu ga ikut makan juga?"

"Aku masih kenyang."

"Baiklah. Aku makan ya, Do."

Aldo mengangguk. Dia memperhatikan Hira yang akan mie nya dengan lahap dan terlihat menikmati makanan sederhana itu.

"Oh ya, dimana Tante Deina?"

"Hari ini mamaku ada acara diluar. Pulangnya agak malam."

"Oh begitu, aku benar-benar minta maaf karena datang tiba-tiba seperti ini. Aku bahkan belum bilang pada Tante Deina."

"Ga usah dipikirkan. Nanti aku akan bilang pada mamaku."

"Makasih ya, Do." Hira tersenyum namun raut wajahnya terlihat sedih.

Aldo tertegun. "Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?" Batin Aldo.

***

Deina tersenyum lebar di depan sebuah restoran tempat dimana reuni teman-teman SMA nya sedang berlangsung.

Setelah memastikan penampilannya sekali lagi, Deina masuk kedalam restoran yang sudah di booking untuk acara reuninya dengan langkah percaya diri. Sudah lama sekali dia tidak ikut reuni yang biasanya diadakan setahun sekali. Deina lebih sering absen karena dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk hadir. Reuni kadang menjadi ajang pamer pencapaian oleh segelintir orang. Memang tidak semua, tapi untuk orang yang hidupnya biasa-biasa saja bahkan setelah menikah dan tidak memiliki pencapaian besar apapun, reuni bisa menjadi acara yang menakutkan. Dan itulah yang dirasakan oleh Deina.

Teman-temannya sering sekali mengajaknya untuk datang, tapi biasanya Deina punya banyak alasan untuk tidak datang. Tapi kali ini berbeda, Deina memutuskan untuk datang. Dia memutuskan untuk menghadapi cemoohan yang mungkin saja akan keluar dari mulut teman-temannya tentang tidak suksesnya dia.

"Memangnya kenapa kalau hidupku biasa-biasa saja? Mereka tidak tahu saja kalau hidupku luar biasa karena aku memiliki Aldo dihidupku." batin Deina. "Baiklah ayo kita hadapi dengan semangat."

"Nana?" suara berat seorang pria membuat Deina menoleh. Matanya melebar menatap sosok dihadapannya.

"A.... Halim kan?" tanya Deina memastikan.

Halim, pria itu tersenyum. "Kamu masih ingat padaku rupanya."

Deina bersedekap. "Tentu saja. Mana mungkin aku lupa. Halim kelas 3 IPA 1."

"Oh, Deina, lama tidak bertemu." seorang pria lain muncul dari belakang Halim.

"Hai Ryan. Kalau kulihat-lihat kamu tambah subur ya sekarang. Sepertinya hidupmu senang," kata Deina sambil tersenyum lebar.

"Yah, istriku pandai mengurus suami, jadi begini deh."

Mereka bertiga tertawa bersama lalu masuk kedalam restoran yang sudah mulai ramai oleh teman-teman yang lain.

Reuni itu berlangsung selama 3 jam dimulai dari jam 5. Deina terlihat menikmati acaranya dan merasa menyesal kenapa tidak dari dulu dia ikut reuni.

"Oh ya disini ada ketua OSIS kita, loh. Deina coba beri sambutan."

Deina melambai-lambaikan tangannya menolak. "Duh, aku sudah bukan ketua OSIS lagi. Itu jaman kapan. Yang lain saja deh."

"Yahh, kalau gitu, waketos saja yang beri sambutan, mari kita sambut bapak pengusaha mantan waketos kita, Halimmm!"

Halim tidak menolak, pria itu malah berdiri dengan penuh kharisma dan berdiri di panggung sederhana yang dibuat oleh pihak resto dan mulai berbicara. Cara bicaranya yang runut, padat dan jelas memperlihatkan bahwa dia memang seorang pengusaha dengan jam terbang yang tinggi. Semua yang hadir tampak terpesona melihatnya memberikan sambutan. Deina juga tidak lepas memandang Halim dengan sorot mata kagum.

Halim menatap Deina yang tersenyum lebar sambil mengacungkan dua jempol miliknya. "Kamu keren," bisik Deina dengan isyarat bibir. Hal itu membuat Halim merasa sedikit malu dan kemudian mengakhiri pidatonya dengan tergesa-gesa.

"Halim makin tua makin matang, ya."

"Pesona duda memang ga ada lawan."

Deg... Deina kaget. Duda?

"Iya, istri Halim kan sudah lama meninggal. Sudah 10 tahun," Eva, salah satu temannya memberitahunya saat Deina terlihat kaget mendengar status Halim.

"Oh tapi denger-denger dari yang lain, katanya dia mau nikah, loh. Calon istrinya masih muda."

"Oh ya? Gue denger sih gosipnya. Katanya calon istrinya ini sama dia beda 20 tahun' kan?"

"Yah beda jauh sih, tapi siapa sih yang bisa nolak Halim, mapan, keren, terus penyayang lagi. Sebelum ngerencanain mau nikah ini kan dia ngebesarin anaknya sendirian. Hebat'kan."

Teman-temannya yang lain manggut-manggut setuju.

Begitu banyak fakta yang baru di dengar oleh Deina diacara reuni itu membuat Deina bingung harus bereaksi seperti apa. Hah, sepertinya memang harusnya sejak dulu dia ikut reuni biar dia tidak terlalu buta informasi tentang kabar teman-temannya selama ini.