Chereads / Sekarang dan Selamanya / Chapter 5 - LIMA

Chapter 5 - LIMA

Karena keasikan mengobrol dengan mama Deina, tanpa terasa waktu sudah berlalu dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aldo yang sedari tadi hanya jadi pendengar obrolan mamanya dan Hira, melirik ke arah mereka berdua lalu melirik lagi ke arah jam dinding.

"Sebenarnya siapa yang dia jenguk, sih? Kenapa mereka jadi akrab sekali, padahal baru pertama kali bertemu." batin Aldo keheranan.

Dia tidak menyangka kalau mamanya se-welcome itu pada Hira.

"Ehem...," Aldo berdeham memberikan isyarat pada Hira dengan matanya.

"Tante, udah malam, aku pulang dulu, ya," kata Hira.

"Eeehhh, jangan dulu. Kamu kan belum makan malam. Makan malam disini aja ya sama tante dan Aldo," bujuk mama Deina.

"Gak usah tante. Aku makan di rumah aja."

"Aduh, jangan dong. Kamu kan udah repot-repot mau jenguk Aldo. Aldo juga ga keberatan kok kalau kamu makan bersama disini. Iya'kan Do?" Mama melirik ke arah Aldo dengan tatapan mengintimidasi. Aldo hanya bisa mengangguk pasrah.

"Tapi...," Hira masih berusaha mengelak.

"Gak ada tapi-tapi-an. Pokoknya Hira harus makan malam bareng kita."

"Iya, kamu makan aja disini. Mamaku juga masak banyak makanan, kok. Kamu kan suka makan," ujar Aldo membuat muka Hira memerah, tapi Hira tidak menampiknya, dia memang suka sekali makan.

"Oh ya? tante tuh paling senang sama anak yang doyan makan, loh Hira. Gak kayak Aldo, makannya sedikit, makanya dia kurus kayak orang cacingan," kata mama Deina sambil mengambilkan nasi untuk Hira dan Aldo.

Aldo hanya bisa cemberut sambil menerima piring yang sudah berisi nasi pemberian mamanya.

Hira tertawa mendengar pembelaan mama Deina padanya. Pasti rasanya menyenangkan jika dirinya bisa memiliki mama sebaik mama Deina.

****

"Sekali lagi makasih ya untuk makan malamnya," kata Hira, senyum tidak lepas dari wajah cantiknya.

Aldo mengalihkan pandangannya ke arah taman rumahnya dan cuma bisa mengangguk canggung. Mereka berdua sedang berada di depan gerbang rumah Aldo, dan Aldo mengantar Hira yang saat ini sedang menunggu kedatangan supirnya, pak Amir. Sementara mama Deina sedang membereskan piring kotor sisa makan malam mereka.

"Makasih juga udah mau repot-repot datang kesini. Padahal ga perlu juga kamu kesini," kata Aldo pelan.

"Loh, ya harus dong aku kesini. Kamu kan sakit juga karena kehujanan habis dari rumah aku kan waktu itu."

Aldo tidak membantah, cuma dia juga tidak berpikir kalau itu salah Hira. Memang hujannya saja yang saat itu terlalu deras.

"Kamu serius sudah sembuh?" tanya Hira kembali memastikan. Meski wajah Aldo tersembunyi di balik poninya yang panjang dan tertutup tapi Hira bisa melihat kalau Aldo masih terlihat pucat.

"Sudah. Tolong berhenti bertanya hal yang sama. Besok kamu akan melihat aku di sekolah."

"Hahahah... baiklah. baiklah. Syukurlah kalau begitu."

Hening lama diantara mereka berdua, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Dari kejauhan tampak lampu dari mobil jemputan Hira yang datang mendekat dan tak lama mobil yang dikendarai pak Amir berhenti di pinggir jalan depan rumah Aldo.

"Ah, benar. Besok kamu ga usah naik motor dulu ke sekolah."

"Hah?" Aldo mengerutkan keningnya mendengar ucapan Hira barusan.

"Mulai besok aku akan menjemputmu. Jam 6 pagi aku sampai, jadi siap-siap ya," kata Hira.

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Aldo pada Hira yang kini sudah berada di dalam mobil.

Hira hanya tersenyum lalu melambaikan tangannya pada Aldo. "Dadah Aldo."

Aldo hanya bisa terperangah mendengar ucapan Hira barusan. Kalau orang lain yang mengatakannya mungkin terdengar seperti omong kosong, tapi karena yang bicara adalah Hira, jadi itu pasti benar. Sebulan sudah dia mengenal Hira dan menjadi tutornya, dan selama itu Aldo tahu kalau Hira selalu melakukan apa yang sudah dia ucapkan. Yah meski lebih tepatnya gadis itu suka semaunya sendiri.

***

"Hira itu gadis yang baik ya, Do," kata mama Deina pada Aldo yang baru saja mengunci pintu rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Terlalu malam bagi seorang gadis pulang dari menjenguk temannya yang notabene tidak dekat dengannya.

Aldo terdiam sejenak. "Yah, dia cukup baik, ma."

"Dia teman sekelas mu?"

"Bukan. Dia orang yang pernah aku ceritain ke mama. Yang di minta pak Bambang buat di ajari belajarnya."

"Oh ya, padahal kalian hanya teman belajar tapi dia sangat baik mau menjengukmu."

Aldo terdiam sejenak. Sejak awal dia memang berpikir kalau Hira adalah orang yang baik, tapi melihat bagaimana dia hari ini datang menjenguknya bahkan mereka tidak dekat, Aldo merasa Hira sudah terlalu berlebihan.

Hubungan mereka tidak lebih dari semacam teman belajar, tapi Hira berusaha masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya dan itu mulai mengganggu Aldo. Sebagai orang introvert, Aldo hanya ingin hidup tenang dan jauh dari gangguan pihak manapun.

***

"Non, nona di cari tuan," Ibu Rina, pengasuhnya sejak kecil mendatanginya yang baru saja tiba di rumah.

"Oh ya? Papa ada dimana, Bu?"

"Ada di ruang kerjanya. Bersama nona Gladys."

Hira tersenyum mendengar nama itu disebut. "Ah, oke. Makasih ya Bu, aku kesana dulu."

Hira menuju ruang kerja papanya yang berada di lantai 2 dan mengetuknya. Lama sekali tidak ada jawaban dari dalam sana. Hanya dia bisa mendengar suara berisik dari dalam ruang kerja papanya. Hira kembali mengetuk pintu di depannya, lalu dia bisa mendengar suara berdeham.

"Siapa?" Suara papanya terdengar serak.

"Ini aku," jawab Hira tenang.

"..."

"Masuklah."

Hira membuka pintu dan melihat papanya yang sedang duduk di balik meja kerjanya yang luas dan besar, sedangkan Gladys, sekretaris papanya yang masih muda dan cantik itu, sedang duduk di sofa sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Hira meliriknya dan tampak jelas lipstiknya yang berantakan dan kemejanya yang sedikit lecek. Melihat itu Hira cuma bisa tersenyum masam.

"Kata Bu Rina papa mencariku?"

"Ah, ya. Kamu darimana saja baru pulang jam segini?"

"Aku habis menjenguk temanku yang sakit, pa."

"Sampai semalam ini? Kamu ga lihat ini sudah jam berapa?"

Hira melirik jam klasik di sudut ruangan yang sudah menunjukkan jam 21.30.

"Aku minta maaf, pa."

"Hhh, sudahlah. Kamu kembalilah ke kamarmu dan tidur. Besok kamu masih harus sekolah. Lalu, papa tidak ingin kamu nakal lagi seperti hari ini. Pulang tidak ingat waktu."

"Iya, pa." Hira mengangguk lalu berbalik. Sebelum dia membuka pintu ruang kerja papanya, dia menoleh pada papanya serta melirik sebentar ke arah Gladys.

"Tapi, bukankah ini sudah terlalu malam bagi seorang sekretaris bekerja di rumah bosnya?"

Wajah Gladys sudah semerah tomat, tangannya terkepal erat, merasa kesal dengan ucapan gadis ingusan yang terang-terangan menyindirnya.

"Itu bukan urusanmu. Kamu kembalilah ke kamarmu sekarang," sahut papa tidak peduli.

Hira mengangkat bahunya lalu menghilang di balik pintu.

"Sayang!" Gladys bangun dari sofa dan menghampiri papa Hira yang menyenderkan kepalanya di kursi kerjanya.

Gladys duduk di pangkuan papa Hira lalu mulai menggoda papa Hira.

"Jadi kapan kamu akan menikahiku? Kamu tidak dengar ucapan Hira barusan? Itu sangat melukai hatiku."

"Nanti. Kamu bersabarlah sebentar lagi."

Papa mulai mencumbu Gladys, dan wanita itu membalasnya dengan menggebu-gebu.

"Benar, ya. Aku sudah tidak sabar ingin menikahimu dan menjadi mama Hira."

Ujar Gladys di sela-sela adegan panasnya dengan papa Hira.

"Aku sangat tidak sabar ingin membalas gadis ingusan itu dan mengirimnya keluar negri." Bisik Gladys dalam hati.

***

Tepat pukul 6 pagi, Hira sudah duduk manis di teras rumahnya lengkap dengan seragam dan tasnya yang penuh dengan gantungan kunci. Aldo tidak terlalu terkejut karena kemarin malam gadis itu sudah bilang akan menjemputnya pukul 6 pagi.

Hira menyapanya ceria, sedangkan Aldo hanya membalas sekedarnya.

Sambil menunggu Aldo yang sedang memakai sepatu, Hira memulas bedak dan lipbalm warna peach pada bibirnya.

"Gimana?" Tanya Hira. Aldo yang masih memakai sepatu menoleh sekilas lalu hanya menjawab singkat.

"Bagus."

Hira cuma tersenyum tipis. Rasanya Aldo lebih ketus atau ini cuma perasaannya saja?

Mama Deina muncul di depan pintu dan menyambut Hira dengan penuh gembira.

"Hira, kamu sudah sarapan?" Tanya mama Deina.

"Sudah Tante," jawab Hira.

"Yah, sayang sekali, padahal Tante masak nasi goreng loh," kata mama Deina.

Hira cuma tertawa. "Makasih Tante. Tapi aku sudah kenyang."

"Baiklah, baiklah," mama Deina menyerah. Matanya beralih ke arah Aldo yang masih menunduk mengikat tali sepatunya.

"Do, buruan dong pakai sepatunya. Hira udah nungguin kamu dari tadi, loh."

"Iya, iya."

Hira tersenyum lalu pamit pada mama Deina yang juga sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

"Kami berangkat dulu ya, Tante," pamit Hira.

"Aku berangkat, ma," pamit Aldo. Mama Deina melambaikan tangan pada mereka berdua yang kemudian pergi naik mobil yang di supiri oleh pak Amir.