Semilir angin berhembus pelan, datang seakan menyapa langit malam yang ditemani kerlipan cahaya bintang. Cahaya bulan juga terlihat indah seperti malam biasanya, cukup membuat nyaman siapapun yang melihatnya, kebahagiaan yang sederhana.
Kebahagian sederhana itu juga sedang dinikmati oleh dua remaja tanggung berbadan tinggi itu. Saat ini mereka sedang menyandarkan tubuh mereka di dinding pertokoan yang ada di pinggiran jalan, dengan kepala menghadap ke langit malam. Dalam hati mereka serentak memuji pemandangan malam ini.
"Pulanglah.." Andhra memulai percakapan, setelah sebelumnya mereka terdiam cukup lama.
Saat ini Andhra masih betah berlama-lama menatap langit, seakan-akan mengabaikan teman di sebelahnya.
"Aku belum mau pulang" jawab Raka yang juga sedang menatap langit.
"Ini sudah malam"
"Kau kira aku anak kecil, lagipula ini masih belum larut.."
"Keluargamu akan khawatir"
Raka terdiam, perlahan dia mengalihkan tatapannya ke arah temannya yang berdiri di sebelah kanannya.
"Bagaimana denganmu, bukankah kau juga sama?" ucap Raka pelan.
"Apanya?"
"Kau juga harus pulang, keluargamu akan khawatir"
Andhra mendengus, lalu terkekeh pelan. Sambil merapatkan jaket hitamnya, dia tersenyum pelan.
"Aku akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan.."
Raka melihatnya, senyum kecil yang diberikan temannya. Meski saat ini temannya itu tidak menghadap ke arahnya, tapi dia bisa melihat senyum yang diikuti dimple itu. Untuk sesaat, Raka kembali terdiam memikirkan kembali tentang temannya. Mereka baru saja saling mengenal, namun rasanya mereka sudah saling kenal lama meski belum tau masa lalu satu sama lain sebelum mereka bertemu. Tapi itu bukan masalah kan?, masih banyak waktu untuk saling bercerita, dan Raka tak sabar untuk itu.
Entahlah, bagi Raka rasanya menyenangkan saat bersama Andhra. Apalagi setelah perdebatan mereka di cafe tadi, dia jadi tau sisi lain dari Andhra. Temannya itu selama ini memang terlihat dingin dan cuek, tapi tidak selalu seperti itu. Ada saat dimana temannya itu bertingkah seperti bocah, contohnya seperti di cafe tadi.
Raka tersenyum mengingat kejadian tadi, kalau dia tidak nekat untuk berdebat dengan Andhra mungkin akan selamanya mereka berdua berada dalam situasi canggung. Tapi sekarang tidak lagi, Raka sudah mencoba mengerti Andhra dan dia rasa Andhra juga melakukan hal yang sama. Tapi..
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?"
Lamunan Raka berhenti saat mendengar pertanyaan Andhra. Dia menatap Raka dan tersenyum tipis.
"Hanya mengingat kejadian di cafe tadi"
Andhra terkekeh.
"Itu semua karena tingkah konyolmu" ucap Andhra.
"Karena siapa aku begitu?"
"Jadi sekarang kau menyalahkanku? cih.. aku tidak memintamu melakukan itu" Andhra mendecih.
"Kalau begitu, ceritakan semua tentangmu padaku.."
Andhra tersentak, matanya tidak lagi menatap langit. Ucapan temannya tadi mengalihkan perhatiannya ke arah Raka. Sejenak Andhra terdiam, sampai dia kembali berucap.
"Bukan urusanmu.."
Sekarang Raka yang terkekeh.
"Tentu itu urusanku, kau temanku. Sesama teman kita harus saling berbagi.."
"Kita tidak dekat.."
"Yak, kau tega sekali sih.. bahkan setelah kejadian tadi kau masih bilang kita tidak dekat?"
Andhra kembali terdiam, jadi Raka kembali berucap.
"Sepertinya kau tidak punya teman lain selain aku"
Andhra masih diam, mencoba tak peduli.
"Aku pun begitu, jadi apa salahnya orang yang menyedihkan seperti kita berteman.."
Andhra tersenyum tipis, lalu bibirnya mulai terbuka untuk berucap.
"Makanya jangan berteman dengan orang yang menyedihkan sepertiku, kau akan ikut terlihat menyedihkan"
"Tak masalah selama aku tidak terlihat menyedihkan sendiri. Hei ayolah, aku butuh teman untuk berdebat, bermain, untuk ku jahili.."
Ucapan Raka terhenti karena sekarang Andhra mencoba menyahut.
"Yak, kalau mau kau jahili cari teman lain sana, aku tidak mau.."
"Ey, kau juga boleh menjahiliku kok.. bagaimana?"
"Apanya?"
Raka mendecih mendengar pertanyaan Andhra.
"Apanya yang apanya?, berarti mulai sekarang kau harus anggap aku teman dekatmu okey? Kau harus membantuku saat ada masalah dan aku pun begitu"
"Kau sedang mencari keuntungan dari pertemanan kita?"
"Hei itu namanya simbiosis mutualisme, kita akan sama-sama untung.."
"Bodoh.."
Raka terkekeh.
"Bagaimana?"
"Apanya?"
"Sial! kau benar-benar membuatku terlihat bodoh" ucap Raka sambil menghela napas kasar.
Andhra terkekeh, dan kekehan itu perlahan berubah menjadi tawa. Andhra tidak tau kenapa dia tertawa, karena tingkah temannya itukah? atau karena ada sepercik rasa hangat yang mulai menyala di hatinya.
Andhra menghentikan tawanya, memilih kembali menatap langit. Tatapannya yang lurus terlihat kosong, namun sebenarnya saat ini dia sedang memikirkan tentang permintaan teman anehnya itu.
'Teman dekat ya?, haruskah kali ini aku memjawab ya?'
Wajah Andhra perlahan berubah datar, tak ada lagi tawa atau senyum tipisnya. Bahkan saat ini dia terlihat muram. Bayangan singkat tentang masa lalunya yang menyedihkan kembali menyapa dalam kepalanya. Bayangannya saat dia seorang diri terlintas begitu saja. Mengingatkannya kalau dia selalu sendiri dalam waktu yang lama, tanpa teman atau keluarga.
Saat ini ada seseorang yang mengajaknya untuk berteman bahkan menjadi dekat. Orang aneh yang baru di kenalnya dua hari ini, mengajaknya saling berbagi cerita. Ada perasaan hangat meski dia terus berusaha untuk mengabaikannya. Orang yang selalu di tolak sepertinya apa pantas menjalin ikatan pertemanan dengan mudahnya? bagaimana kalau pada akhirnya yang dia temui hanya kecewa?. Haruskah kali ini dia mencoba?.
Andhra masih larut dalam pikirannya, wajah muramnya tak luput dari penglihatan Raka. Detik selanjutnya Raka ikut membawa pandangannya seperti arah pandangan Andhra, lalu matanya bertemu dengan langit malam yang gelap, meski ada bintang yang menghiasinya entah kenapa langit itu tetap terlihat kelam. Raka tersenyum kecut, yah seperti yang dipikirkannya sebelumnya, dia yakin Andhra temannya itu menyembunyikan sesuatu darinya, tapi dia tidak tau apa. Dia tidak tau apa-apa tentang Andhra, maka dari itu dia berusaha mendekatkan diri. Kalau ditanya kenapa dia sendiri juga tidak tau, hanya saja entah perasaan dari mana dia merasa kalau Andhra orang yang tepat untuk dia jadikan teman.
Raka tidak mau munafik, jujur dia juga takut untuk menjalin pertemanan setelah hal buruk yang pernah di laluinya. Pengkhianatan, yah kurang lebih seperti itu. Tapi saat melihat Andhra yang acuh, dia jadi tertarik. Apa Andhra sama seperti orang yang sudah-sudah?. Dan setelah dua hari ini mengenal Andhra dia menemukan jawabannya, teman barunya itu berbeda.
"Kenapa kau mau berteman dekat denganku?"
Pertanyaan Andhra membuat Raka tersentak, sedikit kaget. Raka tersenyum tipis, bukankah itu yang baru saja dipikirkannya, kenapa?.
"Karena Kau berbeda.."
Andhra mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Raka dan itu membuatnya menoleh ke arah temannya itu. Ah, harusnya dia tidak bertanya lagi. Dari raut wajah Raka sekarang dia tau alasan Raka mengajaknya berteman. Dari senyum kecut Raka dia sadar, bahwa mereka tidak jauh berbeda, sama sepertinya Raka juga punya luka di dalam dirinya, entah selebar apa dia tak tau, kecuali Raka mau berbagi dengannya. Itulah alasan kenapa mereka harusnya menjadi dekat kan?, untuk saling berbagi sehingga bisa menguatkan satu sama lain.
"Saat orang-orang yang terluka saling bertemu, biasanya mereka akan berusaha untuk saling mengobati kan?.. karena mereka tau dengan jelas bagaimana sakitnya luka itu.."
"Oii, apa aku harus memanggilmu bro mulai sekarang?"
Raka tersentak, dengan cepat dia menoleh ke arah Andhra yang saat ini sedang sibuk menatap jalanan di depannya, ekpresinya datar tidak menunjukkan apapun.
Andhra tertawa dalam hati saat melirik reaksi Raka. Temannya itu pasti bingung dan juga kaget sekarang, makanya bocah itu cuma diam. Jadi sekarang Andhra mencoba untuk memperjelas lagi perkataannya.
"Ternyata kau memang bodoh ya.. aku bertanya padamu haruskah aku memanggilmu bro mulai sekarang, supaya kita terdengar lebih dekat?" ucap Andhra.
Raka melihat Andhra yang saat ini sedang tersenyum miring, memperlihatkan dimple di sisi kiri pipinya. Detik berikutnya Raka terkekeh.
"Terserahmu mau memanggilku apa, asal jangang bodoh.."
"Kau memang terlihat bodoh.."
"Aku tidak bodoh sialan!"
"Konyol dan juga aneh"
"Yak, kau memulai pertemanan kita dengan mengata-ngataiku?
"Aku cuma mengatakan kebenaran.."
"Sial.. terserahlah.."
"Berhenti mengumpat bodoh!"
"Berhenti mengataiku bodoh, bodoh!"
"Cih.. aku tidak bodoh!"
Detik berikutnya tidak ada lagi yang saling mengejek atau saling balas umpatan, yang ada hanya suara tawa dari dua remaja tanggung itu. Suara tawa yang mulai terdengar lebih ringan, tanpa beban.
.
.
.
.
TBC..