Setiap yang bernyawa pasti akan mati
Begitulah hukum alam
Menjadi seorang pendekar berarti melawan kehendak semesta
....
"Ok, Semua sudah siap" Dengan penuh emosi Maja menatap ke sekililing Gubuknya
Gubuk sederhana yang sudah ditingalinya hampir 200 tahun, Tempat dimana ia bisa meluapkan seluruh perasaanya tanpa dilihat orang.
Sambil memanggul tasnya, Maja berjalan keluar gubuknya sambil menggelengkan kepala.
Bagi Maja, disinilah tempat yang ia sebut sebagai rumah. Pusat alam semesta dalam dunianya.
Suasana masih gelap, Matahari belum menunjukkan sinarnya.
Dengan langkah mantap Maja berjalan menyusuri hutan, Maja terus berjalan hingga ia sampai pada sebuah kolam kecil.
Terlihat seekor keledai tua sedang minum di kolam tersebut.
"Nakobon!" teriak Maja
Mendenar suara Maja, Si Keledai berhenti minum dan berjalan menuju Maja.
"HeeHaw!" Teriak Si keledai
"Hahaha, Bagaimana Kabarmu pagi ini Brother ?"
"HeeHaw!"
"Syukurlah kalau baik-baik saja,Hari ini aku akan turun gunung" Ucap Maja
"HeeHaw ?"
"Aku sudah sampai di penghujung hidupku, Brother…" Ucap Maja sambil tersenyum tipis
Mendengar hal tersebut, Si Keledai terdiam, Sorot matanya menunjukkan kesedihan
Nakobon, Itulah nama yang diberikan Maja padanya.
Kalau bukan karna Maja, dirinya pasti sudah jadi menu sarapan elang raksasa.
170 tahun sudah berlalu sejak saat itu. Setiap Maja turun gunung, si Keledai akan setia mengikutinya.
170 tahun, Pemuda yang menolongnya perlahan menjadi semakin tua, Rambut dan janggut hitamnya sekarang sudah seputih salju.
Garis waktu membekas di wajahnya. Sorot matanya yang yang dulu seperti api sekarang terlihat seperti lautan.
Begitu tenang…
Begitu dalam….
Begitu pula dengan si Keledai, Alis hitamnya sudah mulai memutih, keledai sejenisnya bisa hidup sampai 300 Tahun.
'Mungkin umurku juga tinggal 20 tahun lagi' Pikir si Keledai dalam hati.
"Maukan kau menemaniku ? Untuk terakhir kali" tanya Maja.
"HeeHaw!" Jawab si Keledai sambil mengangguk pelan
"Hahahaha, Bagus Kalau begitu!. Ayo!, Ikut aku menemui kepala perguruan!"
Seorang Kakek dan Seekor keledai berjalan menyusuri hutan. Dengan Mantap mereka berjalan. Bagi Mereka, Perjalan pahit pun bisa menjadi manis bila ditemani seorang sahabat.
Mereka terus berjalan melewati bukit-bukit kecil dan jembatan, sesekali bertemu seseorang. Gunung tempat Maja tinggal memang jarang dihuni orang. Letaknya berada jauh di ujung barat, cukup jauh dari Pusat perguruan.
Perguruan Atas Awan menaungi ratusan Gunung.
Setengah jam berjalan, sampailah mereka pada sebuah bukit kecil, Di Puncak bukit terdapat sebuah Batu besar.
Seorang Pria bejubah putih terlihat sedang duduk bersila di atas batu tersebut. Dialah Yudhistira, Kepala Perguruan Atas Awan.
"Salam Sejahtera Pada Guru!" Ucap Maja sambil berlutut
Mendengan salam Maja, Yudhistira membuka matanya, Tatapannya tajam seperti pedang. Konon, Yudhistira pernah Membunuh Iblis hanya dengan tatapannya.
"Hahaha, jadi keledai ini akan ikut denganmu ?" Tanya Yudhistira sambil tersenyum
"Betul Guru!"
"HeeHaw!"
"Hahaha Baiklah kalau begitu, sebelum pergi ada yang ingin kuberikan padamu" Yudhistira terlihat mengeluarkan pedang dari lengan jubahnya.
'Ilmu ruang!' Teriak Maja dalam hati
"Pedang kudapat dari alam para Peri, dengan pedang ini kau mampu membunuh seorang pendekar tingkat Grandmaster, Ambillah!" Ucap Yudhistira sambil melempar pedang tesebut ke Maja.
"Terimakasih Guru!"
"Hahaha Pergilah!, Kudoakan kelancaran perjalananmu" Ucap Yudhistira sambil kembali memejamkan matanya.
"Terimakasih Guru!, Murid Izin Pergi!" ucap Sambil menghentakkan kepalanya 3 kali ke tanah, Bagi Maja, Yudhistira sudah seperti ayahnya sendiri.
Disaat orang lain menyerah padanya, Yudhistira justru menaruh harapan padanya dan mengangkatnya sebagai murid pribadinya.
'Hahahaha jadilah muridku!, Selama kau tak menyerah, Aku tak akan menelantarkanmu!'
'Melawan Kehendak Semesta!, Itulah jalan seorang pendekar! Pendekar sejati tak akan Sudi takdirnya dikendalikan orang lain!'
Satu persatu kata-kata Yudhistira terngiang di kepala Maja.
'Sampai Akhir, Guru tidak menyerah padaku' pikir Maja dalam hati
Pada akhirnya, justru Maja lah yang menyerah,
Pada takdirnya…
Pada tradisi keluarganya…
Pada waktu…
Seketika, Maja kembali berbalik kepada Yudhistira dan kembali sujud padanya.
'Maafkan Aku Guru!'. Setelah itu ia bangkit dan kembali melanjutkan perjalanannya
Matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya
Maja dan Nakobon terus berjalan ke arah Barat hingga akhirnya mereka sampai ke gerbang barat perguruan Atas Awan.
Gerbang tersebut tidak terlalu tinggi, hanya setinggi 15 meter, sangat kecil untuk perguruan sebesar Atas Awan.
Gerbang tersebut di jaga oleh 2 orang murid Junior Atas Awan, Wajah mereka sudah tidak asing di mata Maja. Seperti Maja, Mereka juga salah satu murid Junior yang tinggal di Ujung barat pegunungan.
Setiap murid junior akan mendapat giliran bergantian untuk menjaga gerbang selama 6 bulan. Di sekitar gerbang terdapat beberapa bangunan, Suasana gerbang barat sepi seperti biasanya, tidak sampai 20 orang yang lalu lalang di area gerbang barat.
Tanpa basa basi, Maja langsung menemui 2 orang tersebut dan mengucapkan salam
"Salam sejahtera kawanku!" ucap Maja pada para penjaga gerbang
"Salam sejahtera kakek Maja!, kau ingin turun gunung hari ini ?"
"Hahaha benar sekali, setidaknya untuk 1 tahun Hahahaha." Balas Maja
"Heeh, lama sekali, hati-hati kau mati di tengah jalan"
"Hahahah Aku tak akan mati sebelum melunasi semua hutangku!"
"Kalau begitu cepatlah kau lunasi semua hutangmu, Aku mencium bau kematian dari tubuhmu, Hahahah" Ledek si penjaga gerbang
"Heheheh penciumanmu sangat tajam, ckckckc Budi~ Budi, sayang pikiranmu tak setajam penciumanmu, Cepat buka gerbang ini!, Jangan tunda aku dari kewajibanku!" Balas Maja
Budi adalah nama penjaga gerbang yang meledek Maja.
"Ya ya pergilah!, Bau kematianmu membuatku tidak nyaman, Sugali! Buka gerbangnya!" ucap Budi sambil menutup hidungnya.
"Hmmm.." balas Sugali singkat sambil menekan tuas pembuka pintu
Sugali memang dingin dan tidak banyak bicara
[Kree~k *Suara pintu terbuka]
"Hahaha, Nakobon Ayo kita pergi!, Sebelum tertular kebodohan Budi!"
"Adios!~" "HeeHaw!" Teriak Maja dan Nakobon sambil melambaikan tangan pada si Idiot Budi dan Sugali si pendiam.
"Selamat tinggal!! Selamat tinggal selamanya Maja!, *Hiks Hiks*, Kuharap mayatmu dalam keadaan lengkap *Hiks Hiks*" balas Budi melambaikan tangan sambil pura – pura menangis.
Maja dan Budi, mereka pertama kali bertemu 80 tahun lalu, waktu itu Budi seperti murid-murid baru pada umumnya. Penuh semangat, harapan dan idealisme!
Ya.. Itu dulu, 80 tahun lalu..
'Heish kuharap si Budi tidak bernasib sama denganku' Ucap Maja dalam hati.
Dengan langkah mantap Maja sambil menunggangi Nakobon berjalan menuju kota terdekat.
Tanpa melihat kebelakang.
2 jam perjalanan mereka sampai pada sebuah kota kecil, tanpa dinding.
Walaupun kota tidak begitu luas, namun terliat beberapa bangunan tinggi menjulang menembus awan. Terlihat Mobil terbang, Elang raksasa bahkan Naga bersayap berseliweran di langit kota.
Jalan kota tidak begitu besar, tetapi terbuat dari marmer abu-abu gelap yang cukup kuat. Peradaban manusia sedang mencapai masa ke emasannya.
Kota Awan, Pemberhentian pertama Maja dalam perjalanannya.
Maja dan Nakobon memasuki kota tanpa dinding ini. Tidak ada penjaga pada gerbang kota, seiring berjalannya waktu, kota-kota ras Manusia mulai menghilangkan dinding dan memperbanyak Jalan untuk memudahkan transportasi keluar masuk. Sebagian kota menerapkan peraturan anti-terbang di dalam kota.
Kota Awan merupakan salah satu yang tidak menerapkan peraturan tersebut. Dalam pengawasan Perguruan Atas awan, Kondisi kota cenderung aman
Hanya orang gila dan orang terlampau sakti saja yang berani berbuat onar di kota ini.
Maja dan Nakobon terus berjalan hingga mereka sampai pada sebuah perumahan yang dikelilingi dinding, Terlihat seorang penjaga berdiri di depan gerbang masuk.
"Salam Sejahtera tuan!" Salam maja pada si Penjaga
"Salam Sejahtera, ada keperluan apa tuan datang kemari ?"
"Aku Maja dari Atas awan, aku memiliki keperluan dengan Pak Jaka di blok G3 no 30" Ucap Maja sambil menunjukkan identitasnya
"Ah!, sepertinya kau sangat terlambat, kemarin Jaka dan keluarganya pergi keluar"
"Hmm ?, Apa kau tau kemana dia pergi ?"
"Dia pergi menemui kerabatnya di Desa Rimba utara" Jawab si Penjaga
"Apakah cukup lama ?"
"Katanya dia akan menginap selama 3 sampai 4 hari"
'Ah Sial!' Pikir Maja dalam hati.
Desa rimba utara merupakan desa kecil di tengah hutan. Jauh dari pengawasan Atas Awan.
Desa tersebut terkenal sebagai sarang bandit. Konon, desa tesebut di dirikan oleh para bandit yang mengungsi dari pegunungan Atas awan ketika Yudhistira membangun perguruannya.
Haram bagi pendekar tinggal satu rumah dengan bandit!.
"Baiklah kalau begitu, Terimakasih atas info nya tuan, Saya mohon pamit" ucap Maja sambil memberi salam
"Ya sama-sama, berhati-hatilah tuan"
'Desa Rimba Utara, butuh 6 hingga 7 jam untuk sampai sana dengan menggunakan keledai, dengan uang yang ada, tak mungkin aku menyewa mobil terbang, Sial!' keluh Maja dalam hati.
Nakobon mampu berlari 2 kali lebih cepat dari Kuda biasa. Hanya saja medan menuju rimba utara cukup sulit dan berliku.
Tak ada kendaraan umum yang menuju ke Desa rimba Utara, Maja hanya membawa bekal seadanya untuk 1 tahun, duit tabungannya habis untuk membeli obat dan keperluan kultivasi. Sisa tabungannya ia sisihkan untuk perjalanan dan membayar hutang.
'Bagaimanapun hutang harus tetap dibayar'
Sampai pada gerbang utara kota awan Maja berhenti sejenak, jalanan menuju utara tidak seramai jalan menuju arah lainnya. Apalagi jalan menuju Rimba Utara, bisa jadi hanya Maja sajalah yang melalui jalan itu.
"Nakobon, masih Kuatkah kau berlari selama 2 jam penuh ?"
"HeeHaw!"
"Hahaha Bagus lah kalau begitu, Larilah!, Menuju Rimba Utara!"
Secepat angin Nakobon berlari, Semakin cepat semakin baik. Maja tidak mau bermalam di Rimba Utara.
Secepat angin Nakobon berlari, Menyusuri hutan, lembah dan bukit kecil, sesekali menyeberangi sungai. Tak terlihat satupun orang yang Maja temui dalam perjalanan.
'Apa Jalanan ini selalu sepi seperti ini ?' Tanya Maja dalam Hati
Tidak sampai 5 jam Maja sudah dapat melihat menara penjaga di luar Desa
'Ah akhirnya sampai juga, lebih cepat dari perkiraan'
Akan tetapi…
ada sesuatu yang janggal, Tak terlihat penjaga di atas menara
Perasaan Maja menjadi tidak enak.
"Nakobon behenti!" teriak Maja
Seketika Nakobon menghentikan langkahnya.
'Ada yang aneh, Eh ? aroma ini…'
'BAU DARAH!!!'
Aroma Amis darah tercium di hidung Maja dan Nakobon.
Seketika Maja mencabut pedang pemberian Yudhustira dari Sarung nya. Tatapannya tajam dan penuh kewaspadaan.
"Nakobon.."
"HeeHaw.."
Dengan perlahan Maja dan Nakobon berjalan menuju gerbang Desa.
Desa Rimba Utara lebih terlihat seperti benteng kecil, Wilayahnya dikelilingi dinding setinggi 5 Meter. Lengkap dengan menara penjaga.
Gerbang terlihat tertutup rapat.
Bau Darah semakin menyengat
Dengan menghela nafas panjang Maja dan Nakobon meloncat naik ke atas dinding Desa.
Pemandangan mengerikan menyambut Maja, puluhan Mayat tergeletak berserakan di dekat gerbang, Tubuh mereka seperti tercincang oleh sayatan pedang.
Mayat Laki-laki dan perempuan, bahkan terlihat mayat yang masih anak-anak.
'BIADAP!!' Teriak Maja dalam hati.
Darah tergenang di Desa Rimba Utara