Perasaan Allyna penuh rasa harap-harap cemas. Setelah mendiskusikan banyak hal dan menunjukkan rancangan bab 1 proposal skripsinya kepada Jhino sang suami, Allyna akhirnya bertekad untuk menghubungi dosen pembimbing skripsinya, Prof Zahra. Allyna ingin mengajukan draft proposal skripsinya. Awalnya Allyna sempat ragu, tapi karena Jhino mendorongnya untuk maju, akhirnya Allyna pun melakukannya.
"Jadi, bagaimana Prof?" tanya Allyna dengan hati-hati. Tangannya sedikit berkeringat karena dia sedikit gugup dan cemas. Hatinya dag dig dug tidak karuan. Rasanya lebih menegangkan daripada saat dia menikah dengan Jhino.
"Hmm… saya akan membacanya dulu. Kamu bisa menunggu di luar. Saya tidak bisa janji berapa lama tapi saya usahakan hari ini, ada beberapa berkas yang harus saya kerjakan juga," jelas Prof Zahra.
"Tidak apa-apa, Prof. Saya akan menunggu," kata Allyna. Dia rasanya cukup senang walaupun harus menunggu seharian. Yang jelas, dia berharap Prof Zahra tidak memberinya harapan palsu.
"Baiklah. Nanti akan saya hubungi ya. Tolong kamu panggilkan mahasiswa selanjutnya yang mau bimbingan dengan saya," kata Prof Zahra meminta tolong kepada Allyna.
"Baik, Prof. Terima kasih," kata Allyna kemudian berpamitan dan keluar dari ruangan Prof Zahra.
Dia juga tidak lupa melakukan perintah Prof Zahra untuk memanggil mahasiswa lainnya yang mau bimbingan. Sebenarnya Allyna cukup kaget karena yang bimbingan adalah adik tingkatnya. Awalnya dia sempat berpikir apakah adik tingkatnya sudah mengerjakan skripsi, tapi ternyata mereka sedang mengikuti lomba dan Prof Zahra adalah dosen yang membimbing mereka. Allyna pun merasa cukup lega.
Karena bingung harus menunggu dimana, Allyna pun turun ke bawah untuk pergi ke kantin Fakultasnya. Dia tidak menemui siapapun yang seangkatan dengannya. Baru saja Allyna mau menghubungi Rana dan Rino, ternyata mereka berdua ada di ujung kantin.
"Allyna!" sapa Rana, dia memanggil Allyna agar bergabung dengan mereka.
Allyna pun segera berjalan menemui mereka berdua. "Ternyata kalian disini, gue kira kalian nggak ke kampus."
"Kita berdua habis bimbingan. Biasa, masalah ambil data," kata Rino yang disambut dengan anggukan oleh Rana.
"Kenapa sih emangnya Prof Koko? Kayaknya ribet banget kalian harus ngulang-ngulang ambil datanya," tanya Allyna yang bingung.
"Ya gapapa sih… cuma kita aja sih yang salah ambil datanya. Kuesioner kita salah print, jadinya ada pertanyaan yang kurang," jawab Rana.
"Hmm… semoga cepat kelar ya," kata Allyna turut prihatin.
"Lo sendiri habis bimbingan?" tanya Rino.
"Iya, gue habis ngajuin kerangka dan bab 1 proposal skripsi sih, masih dibaca sama Prof Zahra. Semoga aja bisa di-ACC hari ini juga," jawab Allyna kemudian mendadak cemas lagi.
"Rajin banget lo? Bukannya lo baru aja dapat judul ya? Udah ngajuin draft aja," tanya Rana.
"Iya nih, gue lagi rajin banget soalnya gue dibantu sama suami gue untuk bikin kerangka konsepnya. Ternyata dia cemerlang banget idenya. Diskusi sama dia seru banget," jelas Allyna mengingat-ingat diskusinya bersama dengan Jhino.
"Suami lo yang CEO itu ya?" tanya Rino.
"Iya. Suami yang mana lagi, Rin," tanya Allyna balik.
"Ngomong-ngomong soal suami lo, gue sama Rino kayaknya ketemu sama dia beberapa hari yang lalu," kata Rana teringat sesuatu.
"Oh iya, yang di toko perhiasan itu kan?" tanya Rino yang juga baru ingat akan sesuatu.
"Toko perhiasan?" Allyna bingung.
"Iya. Jadi… kapan hari kan gue sama Rino lagi nyari kado buat nyokap gue yang mau ulang tahun, kita rencananya mau beli cincin. Nah, gue sama Rino ketemu sama suami lo," jelas Rana.
"Mas Jhino ngapain ke toko perhiasan?" tanya Allyna tanpa sadar.
"Dia beli kalung sih waktu itu. Gue sempat dengar dia minta kalung yang paling bagus dan paling mahal. Gue pikir awalnya itu buat lo, Lyn," kata Rino.
Rana mengangguk setuju.
"Enggak. Dia nggak ngasih gue kalung tuh. Gue juga nggak tahu apa-apa," kata Allyna yang mulai merasa aneh.
"Atau itu buat nyokapnya?" tanya Rana.
"Ulang tahun mertua gue masih lama. Ultah Mama gue juga udah lewat," kata Allyna.
"Hmm… mencurigakan," celetuk Rino.
"Terus buat siapa dong?" tanya Rana yang ikut bingung.
Mas Jhino beli kalung buat siapa? Jangan-jangan dia selingkuh? Iya pasti dia pasti selingkuh, batin Allyna. Dia sudah menduga yang tidak-tidak kepada suaminya itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Gue cabut dulu," kata Allyna mendadak kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan menjauh.
"Eh… mau kemana lo, Lyn?" tanya Rana sedikit berteriak.
"Wah, kalau dia sampai ribut sama suaminya bisa kacau nih, Ran," kata Rino mendadak khawatir.
"Iya ya, tapi kalau kita nggak ngomong, dia nggak tahu juga. Gimana dong?" tanya Rana mendadak cemas.
"Ya udah, kita do'akan aja mereka baik-baik aja," kata Rino.
"Aamiin…"
***
Allyna segera menelpon suaminya begitu sampai di apartemen mereka. Dia sudah kehilangan kesabaran. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Allyna. Bagaimana bisa Jhino selingkuh? Kenapa Jhino bisa selingkuh? Apa alasan Jhino selingkuh? Dengan siapa Jhino selingkuh? Dan masih banyak lagi. Dia harus bertemu dengan Jhino dan membahas ini semua.
Sekitar 15 menit kemudian, Jhino datang. Sebenarnya dia bingung kenapa Allyna menyuruhnya pulang dengan nada marah-marah. Jhino sempat berpikir apakah mungkin ini karena proposal skripsinya. Tapi karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Jhino memilih untuk segera pulang.
"Ada apa, Lyn?" tanya Jhino begitu melihat istrinya di ruang tengah.
"Kamu selingkuh?" tanya Allyna balik. Jhino bisa melihat sorot mata Allyna yang tampak marah.
"Selingkuh? Apa maksudmu?" tanya Jhino yang merasa bingung.
"Aku tahu kamu beli kalung buat cewek kan, mas? Ya kan? Jangan mengelak, aku udah tahu semuanya," kata Allyna dengan marah.
Jhino terdiam sejenak. Dia bingung dari mana Allyna tahu kalau dia membeli kalung wanita. Dia tidak tahu harus bagaimana untuk menjelaskan semuanya.
"Kenapa kamu diam, mas?" tanya Allyna.
"Lyn, aku akan menjelaskan semuanya. Aku nggak selingkuh, Lyn. Beneran. Kenapa juga aku harus selingkuh? Kalau hanya karena perjodohan ini, aku sudah berkali-kali mengatakannya kalau aku menerima semua ini. Aku memang membeli sebuah kalung untuk perempuan, tapi bukan untuk selingkuh," jelas Jhino. Dia berharap istrinya mengerti.
Allyna mencoba mencerna perkataan suaminya. Jhino mungkin memang tidak selingkuh. Lalu untuk siapa kalung itu? Untuk dirinya? Tapi kenapa Jhino tidak memberikannya. Mendadak Allyna jadi pusing sendiri.
"Tahu ah, jadi males," kata Allyna kemudian berjalan ke kamarnya dan membanting pintu.
Jhino memejamkan matanya sejenak karena mendadak pusing dengan semua ini. Dia sungguh ingin menjelaskan semuanya. Tapi dia tidak bisa, ini bukan saat yang tepat. Kalung itu adalah kalung spesial yang dia beli dengan uang tabungannya. Dan dia ingin memberikannya kepada seseorang yang spesial pada moment yang spesial. Kini, Jhino hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.