Chereads / The 13th Fates / Chapter 51 - 51. DESPERATELY

Chapter 51 - 51. DESPERATELY

Kai mengetuk pintu kamar, Amber tidak menyahut. Kemudian ia melongokan kepalanya dan melihat Amber sedang melamun memandangi pemandangan kota yang asing untuknya. Kota ini sangat indah untuk didatangi bila sedang musim liburan, tapi tidak dengan keadaan seperti saat ini.

Kai masuk ke ruangan itu dengan membawakan nampan yang penuh makanan untuk Amber dan meletakannya di meja kecil di tengah-tengah sofa.

"Ini, kau harus makan dulu Amber"

Amber mulai makan tanpa menyadari apa yang ia makan. Sedangkan Kai duduk di sofa sebelahnya, mengunyah buah-buahan untuk mengisi perutnya sambil menatap Amber yang makan tanpa selera.

Setelah makan selesai Amber beranjak kembali ke ranjang kingsize mewah yang bertirai warna putih pasir itu. Amber membaringkan tubuhnya dan berguling memunggungi Kai yang memperhatikannya. Kai terus memperhatikan Amber yang berbaring memalingkan tubuhnya.

Ragu-ragu Kai melangkah mendekati ranjang mewah itu, memandanginya dengan hati-hati sebelum duduk di tepi ranjang. Awalnya Amber mengabaikannya karena merasa cukup ngantuk untuk tertidur. Tapi ia mengurungkan niat itu, berusaha dengan sisa kesadarannya untuk mengajaknya ngobrol.

Amber membalikan tubuhnya menatap Kai yang sedang menatapnya penuh arti.

"Tidurlah Amber" ujar Kai basa-basi.

Amber mencengkram lengan Kai cukup keras hingga kuku-kukunya terbenam di kulit lengannya, tapi Kai tak bergeming.

"Kai, aku takut" sambar Amber.

Suaranya terdengar biasa saja tanpa menunjukan ketakutan yang sesungguhnya. Amber melah terkejut mendengar nada suaranya yang kalem dan tenang. Pasti karena perasaannya sudah mati rasa atau mungkin merasa aman berada disisi Kai.

"Amber," kata Kai dengan suara menenangkan dan terdengar lebih dewasa dari biasanya. "Kau tidak perlu takut, kau tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Kau Benar-benar aman di sini."

"Aku tahu." balasnya enteng.

Saat ini Amber seperti lupa bagaimana caranya menangis. Lebih tepatnya ia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali meratapinya. Karena ia merasa segalanya terkesan tidak nyata saat ini, seolah-olah ia kembali bermimpi buruk yang masih berlanjut sejak semalam ketika meratapi nasib Chanyeol yang ditahan oleh Irene.

"Oke, sekarang kau harus tidur. Aku tidak suka melihat lingkaran hitam di bawah matamu yang mulai tampak terukir permanen di kulitmu itu. Atau terserah padamu kalau mau menjadi saingan kungfu panda atau rakun"

Amber tersenyum saat matanya nyaris terpejam karena kantuk.

"Kai, menurutmu apa yang ada dipikiran pelayan tadi ketika melihat kita?"

"Mmm... mungkin dia pikir kita pasangan yang kacau__tapi begitulah, sesungguhnya kita memang benar-benar sedang kacau."

Tawa mereka berderai.

"Berapa lama ini akan berlangsung, Kai?"

"Sampai kami tahu sejauh mana ini bakal berlangsung,"

"Oh," gumamnya "Kau takut, tidak?"

"Yeah, aku harap ada polisi imigrasi yang menangkapnya sebelum memasukki Korea" guraunya. Senyum manisnya mengembang diwajahnya.

"Aku telah mengatakannya, Kai" kata Amber tiba-tiba serius.

"Mengatakan apa?"

"Aku mengakui padanya bahwa aku mencintaimu"

"Lalu bagaimana reaksinya? Apakah dia mengamuk? Atau dia ingin meninjuku?"

"Tidak, Kai! Dia tidak mengamuk, bahkan dia tidak marah padaku-dia bahkan tidak marah padamu. Dia benar-benar baik. Terlalu baik malahan. Dia sangat tidak egois, hingga membuatku semakin merasa tidak enak. Kalau saja dia memarahiku...well, aku memang pantas mendapatkan itu, kau tau. Tapi bukan berati ia tidak peduli, tapi dia hanya ingin aku bahagia,"

Baru beberapa saat kemudian Kai mengerti. Amber mengoceh terus ketika matanya nyaris terpejam, entahlah seperti setengah tidur, tapi pengakuan itu membuat Kai tampak sedikit canggung, tapi ia memahami apa yang berusaha dikatakannya.

"Jadi dia tidak marah?" tanya Kai tidak percaya.

"Tidak, dia terlalu baik bukan? Untukku. Bahkan dia tidak memberikan ultimatum apapun"

Kai merengut dan menggeleng. "Well, itu brengsek. Benar-benar brengsek. Ternyata dia lebih baik dari pada yang ku duga"

Tiba-tiba Kai tertawa canggung, seperti menertawakan dirinya sendiri. "Kupikir ternyata akulah yang bersaing secara kotor, dan dia menguatkan kenyataan yang menohokku, bahwa aku kurang memiliki etika dalam bersaing. Padahal bila aku di posisinya, kau milikku dan ia merebutmu dariku aku tidak segan-segan mematahkan lehernya"

"Dia tidak pernah main-main dengan keseriusannya, Kai" ucap Amber pelan.

"Ternyata hal ini malah membuatku gelisah, ternyata lebih tenang bila kau tidak usah mengakui itu padanya" gerutunya.

"Aku tidak, tapi dia sudah menebaknya."

Mata Kai membelalak karena terkejut. "Jadi ia tidak terkejut sama sekali?"

"Tidak, Kai. Dia paham betul apa yang ada dihatiku."

"Aku rasa dia hanya membohongi perasaannya. Berani bertaruh, kau pasti keliru. Dia kan sama kerasnya denganku, lagipula mana ada laki-laki yang setabah itu"

"Dia penuh pengertian, Kai. Aku mengenalnya dengan baik. Itulah dia. Itu sebabnya aku mencintainya, laki-laki yang akan membawaku ke arang panas tiap hari." Jawab Amber dengan nada humor.

Tapi Kai tidak menanggapi leluconnya. Ekspresi humor yang terlihat di wajahnya mendadak lenyap. Ia sedang sibuk memikirkan saingannya yang ternyata tidak imbang-tidak akan pernah. Mungkin sudah saatnya ia menyerah pada kenyataan ini tapi hal itu tidak akan melunturkan cintanya pada Amber, untuk saat ini.

"Tapi kau tetap memiliki cintaku, Kai. Selama mungkin, kau bisa membawa sesuatu dariku yang takkan pernah lepas dari hatimu, ingat cintamu pernah menyentuh hatiku" gumam Amber sambil terpejam.

"Yeah," gerutunya tertawa lemah, menertawakan diri sendiri lagi.

"Aku mencintaimu, Kai. Kembalilah secepatnya, jangan sampai terluka".

"Aku yang akan menemuimu pertama kali ketika semua berakhir," janjinya.

Kai mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnnya ke wajah Amber perlahan-lahan, takut Amber bereaksi negatif dengan tindakannya. Ia menempelkan bibirnya di kening Amber mengecupnya disana. Sebelah tangan Kai mencengkram kuat sisi ranjang ketika ia mengecup hangat kening Amber lama sekali, tangan sebelahnya lagi menahan berat tubuhnya.

Amber rasakan kabut keputusasaan menipis dan lenyap ketika Kai mengecup keningnya, rasanya sangat mendamaikan jiwanya saat ini. Kai mendesah, dan meletakkan tangannya di pipi Amber, Amber balas menyentuh wajahnya menempelkan tanganya di pipi Kai, membiarkan wajah Kai tetap di posisi itu.

Kai mengembuskan napas, merasakan sentuhan Amber. Suasana begitu hening, mereka saling memejamkan mata. Kai menikmati momen itu, sedangkan Amber mulai terbawa ke dalam mimpinya.

Kai mengangkat kepalanya melihat sekilas wajah damai Amber yang tertidur, nafasnya teratur. Kai menggenggam tangan Amber dipipinya, mengecup telapak tanganya. Kemudian Kai menjulurkan lehernya lagi untuk berbisik di telinga Amber.

"Aku mencintaimu." bisiknya.

Kai bangkit perlahan-lahan dari ranjang itu, tidak mau tubuh Amber terguncang dan membuatnya terbangun. Ia menatap Amber dengan perasaan kehilangan yang tumpul, harus merasakan perpisahan yang menyaktikan waktu ia meninggalkan sebagian dirirnya diranjang itu.

Tanpa bersuara Kai mengulurkan notes pada buku agenda yang disediakan oleh hotel. Kai menarik tutup pulpen dengan gigi. Menuliskan sesuatu diatasnya dan membiarkan buku agenda itu terbuka.

Amber. Aku pergi dulu. Aku tinggalkan dompetku ditasmu, kau bisa menggunakan uangnya sesukamu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Tenang saja, ini akan cepat dan aku akan segera kembali menemuimu sebelum yang lainnya. Aku sayang padamu. Kai.

Untuk terakhir kalinya Kai mengecup kening Amber dan menyelibungi selimut ke tubuh Amber hingga dadanya dan pergi dengan teleportnya.

Kemudian Amber terbangun, tapi ia bingung. Pikirannya kabur, masih antara tak sadar atau sedang mimpi buruk. Ia hanya berharap semoga ia terbangun dari mimpinya saat ini yang sendirian seperti dalam kegelapan. Ia tidak mau menyerah pada rasa takut luar biasa yang menanti di ujung kesadarannya.

Diantara sadar atau sedang bermimpi buruk pikirannya berputar-putar, mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi buruk ini. Tapi tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Ia hanya bisa melihat satu-satunya hasil yang menghadang di masa depannya. Satu-satunya pertanyaan yang mengganggunya; berapa banyak orang yang harus mati di pertempuran ini sebelum kematian mencapainya duluan. Ia berdoa sepenuh hati agar semua berjalan lancar, semoga usaha dan latihan mereka selama ini tidak sia-sia. Dan yang terpenting semoga mereka semua selamat, terutama orang-orang yang ia cintai, Chanyeol dan Kai.

Aku harap ini hanyalah mimpi.