Chanyeol siuman, cahaya matahari terang menyilaukan pandangannya yang masih kabur. Kepalanya terasa berputar-putar. Ia mengingat kembali apa yang terjadi padanya namun pikirannya memberontak saat mencoba mengingatnya.
"Kau sudah sadar," Chanyeol mendengar suara merdu dan tenang.
Suaranya sangat sempurna, seperti suara malaikat, terasa lembut di telinganya hingga membuat Chanyeol membeku syok. Ia malah berpikir sudah mati dan berada di surga ketika mendengar suara selembut itu. Tapi Surga mana yang memberikan rasa sakit sehebat yang ia rasakan kini. Dan wajahnya yang tidak lazim. Apa yang terjadi pada wajahnya?
Chanyeol menggeser sedikit posisisnya agar dapat melihat jelas wajahnya, seketika Chanyeol meringis merasakan nyeri hebat di sekujur tubuhnya.
Instingtif, ia mengejang melihat itu. Siapapun yang melihatnya pasti bereaksi sama. Chanyeol tahu gadis itu merasakan keterkejutannya waktu ia mengamati wajahnya, melihatnya dengan saksama untuk pertama kalinya.
Sebelumnya ia melihat luka bakar itu tidak begitu terlihat jelas, karena saat itu keadaan gelap dan bayangan tudung jubahnya menutupi sebagian wajahnya waktu itu. Bekas-bekas luka itu terlihat sangat jelas sekarang. Selain luka-luka bakarnya yang menonjol dibagian leher, setengah wajahnya dan bahkan tangannya. Terdapat juga garis lengkungan bekas luka sobekan dari sudut bibir kanannya hingga nyaris ke bagian pelipis. Lalu bagian alisnya yang gundul digantikan dengan sederet kata dengan bahasa ibrani. Warna iris matanya tidak merata, mata biru mudanya berselaput dan keruh seperti susu, dan dia botak.
Sulit mengidentifikasi apakah ia perempuan atau laki-laki bila tidak mendengar suara sopranonya yang mengalun merdu. Tubuhnya juga mungil, langsing namun tidak terlalu kurus, lebih berisi dibanding Amber
Sekarang setelah ia bisa melihat dengan jelas, bekas-bekas luka itu telah menjadi fitur paling dominan dalam diri gadis itu. Sulit mengalihkan mata dari wajah dan lehernya yang carut- marut. Sulit membayangkan apa yang membuatnya seperti itu, membayangkan api mengoyak sebagian besar tubuhnya. Dan bekas luka sabetan benda tajam pada wajahnya.
Gadis itu melihat dan merasakan penilaian Chanyeol terhadap dirinya; perasaan waswas dan bercampur iba, gadis itu tersenyum kecut. Cepat-cepat Chanyeol mengalihkan pandangannya ke tangan dan berkonsentrasi pada tangannya yang sekarang membengkak karena patah. Ia berusaha meregangkan jari-jarinya, memastikan bagian mana yang patah. Rasa sakit langsung menusuk buku jarinya.
Ia mengerang. Cederanya tidak terlalu serius hanya sedikit retak di salah satu buku jari.
"Ini, untuk sementara kompres tanganmu dulu" ia mengulurkan kantong kecil berisi es batu padanya, rasanya sedikit lebih baik.
"Sepertinya tulang jarimu retak, begitu juga dengan salah satu tulang rusukmu dan beberapa bagian tengkorakmu. Kau mendapat tujuh jahitan di dahimu, luka dan memar hampir di sekujur tubuh, dan kau kehilangan banyak darah, tapi kau tidak usah kawatir aku sudah memberikan liquid klorofil sejam lalu"
Suaranya menenangkan, padahal sedang memberikan berita buruk tentang keadaanya. Suaranya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika ia bernapas. Ia terus bicara sementara tubuhnya perlahan rileks.
"Bagaimana keadaanmu?" gadis itu bertanya dengan suara sangat merdu. Chanyeol tercengang, mulutnya membuka lebar ketika mendengat suaranya yang selembut beledu, begitu jernih.
Secara responsif ia langsung menyadari rasa sakit yang amat sangat di bagian kiri keningnya. Ia meletakkan tangan di keningnya.
"Aw," erangnya, terkejut saat menyentuh keningnya yang membengkak. "Babak belur, sepertinya"
"Luka-lukamu parah sekali, aku akan memberikanmu obat bius "
Chanyeol tau ia bisa merasakannya sekarang.
"Tidak," gumamnya, berusaha menghilangkan rasa sakit .
"Aku tidak mau di bius, aku tidak mau melewati sisa hariku dengan memejamkan mata saja"
"Kau takkan mati sekarang." Ujarnya. Suaranya nyaris seperti bisikan.
Gadis itu duduk di bangku lain sambil mengobati luka disekujur tubuh Chanyeol. Gadis itu terlihat sangat baik, sepertinya Chanyeol tidak perlu kawatir lagi.
"Maaf soal semalam, aku tidak sempat membalas sapaanmu"
"Tidak apa-apa, semua orang pasti bereaksi begitu ketika pertama kali melihatku" Gadis itu nyaris berdendang dengan suaranya yang sehalus bulu. Hingga membuat Chanyeol tercengang mendengar suaranya.
Chanyeol mengerjapkan mata berusaha menjernihkan pikiran, mengumpulkan kekuatan untuk mencoba duduk, kepalanya berputar-putar kembali.
"Hati-hati," ia mengingatkan. Suara yang indah- lembut bagai beledu bahkan saat sedang waswas.
Chanyeol menyandarkan tubuhnya dan meregangkan otot-otot kakinya. Kelihatannya masih berfungsi dengan baik. Chanyeol merasakan nyeri di dadanya ketika menghirup nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengendalikan napasnya yang tersengal-sengal. Rusuknya nyeri.
"Siapa namamu?"
"Asher__Asher Keter, dan kau Chanyeol" jawabnya, nada suaranya rendah dan indah.
"Bagaimana kau tau namaku?"
"Tidak perlu ditanyakan, kau seperti pamvlet-pamvlet yang tertempel dipenjuru kota" ujarnya selembut satin.
Chanyeol tau nama itu bukan berasal dari zaman yang ia tinggali sekarang. Nama itu terdengar sangat asing, seperti nama di awal tahun masehi atau pada kitab taurat.
"Ada luka robek yang besar sekali di bahu kirimu, kau tidak keberatan membuka bajumu, aku akan mengobati lukamu" suaranya yang merdu bak beledu membuat Chanyeol nyaris meneteskan air liur.
Chanyeol berusaha mengumpulkan pikirannya yang tercecer setelah mendengar suaranya. Itu Bukan sepenuhnya salah Asher, bahwa suaranya begitu menggoda. Suaranya begitu membujuk, begitu mustahil untuk ia tolak. Seperti daya sihir. Chanyeol menilai beginilah suara iblis yang menggodamu, kau tidak akan bisa menolak godaanya. Mendengar suara seperti itu, pasti kau tidak akan percaya kalau kau masih di dunia ini.
Chanyeol membuka kancing kemejanya tanpa berpikir lagi dengan tangannya yang sehat. Chanyeol meringis ketika rusuknya terasa ketarik.
"Biar aku bantu," Asher menawarkan, lagi-lagi dengan suara bujuk rayu itu. Asher menyibakkan kemeja putih Chanyeol yang penuh noda darah dengan hati-hati.
Mata Asher tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat tubuhnya yang putih tampak atletis. Ditambah rambut gelapnya berantakan membuatnya terkesan seksi dalam cara yang tidak biasa.
Ia menatap wajah Chanyeol sekilas lalu cepat-cepat menunduk__berusaha mengalihkan pandangannya dari wajah Chanyeol. Chanyeol melirik dadanya yang penuh darah mengering, terdapat luka robek panjang vertikal dari atas bahu hingga bagian selangka.
Chanyeol meringis perih saat Asher menekan-nekan, membersihkan bagian sekitar lukanya dengan handuk bersih. Asher memeriksa lukanya, dan mengambil pinset yang sebelumnya disterilisasi dengan alkohol.
Bau alkohol membakar hidung Chanyeol. Asher mulai mengorek-ngorek lukanya, memastikan semua serpihan kaca telah diambil. Lalu ia mengambil peralatan baru, jarum dan benang.
Sementara itu Asher mulai menjahit lukanya-tanpa pembiusan. Chanyeol berusaha untuk tidak memikirkan rasa sakit dari sensasi tarikan yang mulai terasa di pinggir-pinggir kulitnya dengan mengajaknya ngobrol. Karena, sepertinya suaranya dapat meredakan sakitnya
"Terima kasih telah menolongku? Aku merasa nyaris mati tadi"
"Kau pemberani" pujinya. Suara Asher terdengar menggoda, entah disengaja atau tidak.
Chanyeol yang mendengar pujiannya serasa mau meledak, karena intonasi suaranya yang sangat merdu, seolah-olah ia memujinya setinggi langit.
"Aku tidak menyangka kau melakukan perlawanan, selama aku tinggal disini hanya kau yang berani melawannya"
"Aku tidak akan membiarkan penyihir busuk itu mendapatkan apa yang ia inginkan"
"Aku takjub bahwa kau memberikan perlawanan. Asal kau tau, Blink Warlock adalah inti utama Forces baru bermunculan- dialah alasan mengapa bulu kuduk petinggi Klan meremang saat namanya muncul. Ia adalah hakikat mimpi buruk yang sebenarnya, kengerian di balik insting para Forces. Dan Aku senang kau menentangnya." Suaranya semanis madu dan memabukkan membuat rasa sakit yang ia sadari hilang seperti tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sungguh mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa sakit itu lenyap, mengagumkan bagaimana perasaan nyeri tiba-tiba kebas setelah ia mendengar suaranya. Kemudian beberapa saat mereka terdiam, dan sakit itu menyerangnya lagi.
"Kau tahu banyak tentang Force, apakah kau.."
Asher langsung menyela pertanyaan Chanyeol dengan jawabannya "Pernah dengar Chante-Peta?"
Chanyeol menggeser posisinya dengan sikap tertarik hingga nyeri dirusuknya membuatnya mengerang. Asher membantu menggeser tubuh Chenyeol perlahan-lahan.
"Fire Heart, bahasa Sioux! Kau Piromaniac satu-satunya yang mengeluarkan api biru"
"Yah, dulu sekali," Suara merdunya terdengar sedikit muram. "dan aku juga telepatis."
"Kau punya kemampuan telepati?"
"Ya, tapi aku hanya bisa membaca ketika ingin membaca pikiran seseorang. Kau tau kan beberapa Force dengan gen yang beruntung pasti memiliki kemampuan kedua, bagaimana dengamu?" tanyanya.
Suaranya membuat kata-kata itu terdengar mengalun seperti musik, seperti menyanyi. Tapi Chanyeol bisa mendengar rasa penasaran yang sesungguhnya dalam suara lembutnya. Chanyeol sampai bertanya-tanya apakah ia menyadari, betapa menggoda suaranya.
"Aku tidak tau, aku hanya bisa menciptakan apiku sendiri. Aku sendiri tidak mengerti apa yang aku miliki sebenarnya"
Asher memandanginya dengan sorot mata tak percaya yang berusaha ia sembunyikan.
"Aku yakin kau lebih dari itu, Kau Force yang sangat berbakat, aku bisa merasakannya" Ujarnya mengalun hingga terdengar seperti dinamika nada Crescendo.
"Entahlah, aku belum pernah mencoba batasan kemampuanku" Suara Chanyeol benar-benar terdengar aneh, seperti berusaha menyamakan dinamika pada sebuah lagu.
"Itu memang sulit. Hati dan pikiranmu tidak boleh bertentangan, karena hanya itu yang bisa menolongmu, membuatmu lebih fokus dan terkendali, dapat membedakan mana musuh dan mana temanmu sesungguhnya".
"Lalu, apa yang terjadi padamu? Kemampuanmu? Apakah Irene yang membuatmu seperti ini?" Tanya Chanyeol. Lagi pula ia ingin terus mengajaknya bicara; karena suaranya membantu mengalihkan pikiran dari rasa nyerinya.
Tak ia sangka rasanya senyaman itu mendengar suaranya. Suaranya seperti efek anestesi lokal, perasaan kebas dan mati rasa menyebar di bahunya. Meski sakitnya samar-samar hilang, namun itu tetap tidak membuatnya lupa pada lukanya. Sekarang tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya perasaan seperti ditarik-tarik yang berusaha ia abaikan.
Asher terdiam atau seperti tidak yakin apa harus menceritakan kisahnya atau tidak. Ia mendesah lirih sebelum menjawab. Chanyeol yang mendengar desahan pelannya langsung mendapati insting laki-lakinya bangkit begitu saja.
Ya Tuhan suaranya benar-benar indah, bahkan desahan nafasnya begitu memikat.
Asher masih terdiam. Sedangan Chanyeol menunggu ia membuka suara kembali. Kali ini ia berusaha keras untuk fokus mendengarkan penjelasan Asher.
"Suatu ketika pasukan Irene datang ke rumahku ketika aku sedang tidak berada dirumah," Mulainya dengan nada lembut dan menenangkan
"Ketika sesampainya dirumah, aku mendapati seluruh keluargaku tak bernyawa dan penuh dengan luka-luka kekejian. Mereka membantai seluruh keluargaku suamiku dan keturunanku." kesedihan mendalam sangat kentara memenuhi suara sempurnanya.
"Saat itu suamiku sekarat, aku sempat melihat apa yang dia alami bahwa ; Aries Warrior datang mencariku dan membunuh seluruh keluargaku," Suaranya kali ini lebih parau. Parau untuk kedengarannya, tapi toh tetap masih lebih indah daripada suara manusia mana pun.
"Lalu aku datang sendiri, kesini. Untuk membalas dendamku pada Blink Warlock. Dulu dia belum memiliki kemampaun Shield itu jadi aku bisa mudah menyerangnya. Tentu saja prajurit kesayangannya melindunginya tapi aku tidak menyerah. Sekuat tenaga aku melawan mereka namun jumlah mereka yang banyak membuatku kualahan hingga mereka berhasil melumpuhkanku,"
"Aku sempat melihat pikiran Irene, melihat jati dirinya dan rencananya. Ternyata aku hanya dijebak, ia sengaja membunuh keluargaku agar aku datang sendiri, kesini. Tapi ia salah sasaran. Ia mengira, akulah Pirokinesis yang ia cari selama ini. Di malam sebelum gerhana pertama datang, ia menggagalkan rencananya," Suaranya mengalun merdu, seperti bernyanyi.
Mendengarkan ia bercerita seperti melodi nina bobo yang mengalun di antara sekumpulan not choir yang dimainkan. Chanyeol seperti mabuk mendengar suaranya.
"Tapi ia malah melakukan hal lain padaku," kali ini nada suaranya melamun, seolah pikirannya jauh entah di mana.
"Ia melenyapkan kemampuan pirokinesisku dengan kutukanya dan merenggut kecantikanku. Hanya karena prajuritnya terlihat tidak fokus ketika ingin menyerangku karena melihat kecantikanku. Ia beranggapan bahwa kecantikanku menjadi ancaman untuknya. Padahal yang aku lihat dari pikirannya adalah; Ia tidak suka melihat ada seseorang yang lebih cantik darinya."
Sulit bagi Chanyeol berkonsentarsi pada ceritanya. Karena ia terpana mendengar suaranya. Keindahan suaranya membuat Chanyeol terpesona. Sungguh luar biasa bagaimana seseorang bisa memiliki suara begitu... begitu... tak terlukiskan. Seribu kata pun takkan mampu menandingi suaranya.
Tapi bisa Chanyeol bayangkan betapa memukau dan cantiknya dia dulu. Chanyeol menebak dulu dia pasti cantik sekali, perempuan paling sempurna sejagat. Dengan mata sebiru laut, suara merdu memikat dan mungkin ia memiliki rambut pirang bergelombang yang berkilau, mirip karakter Alice In Wonderland versi dewasa. Gadis yang sangat memesona, membuat laki-laki manapun jungkir balik untuk mendapatkannya.
Ya, pasti dulu Asher sungguh sosok teramat menarik yang membuat semua orang terpikat melihatnya hingga membuat Irene iri dan mengutuknya menjadi sekarang.
Chanyeol mengingat kembali apa yang baru saja ia katakan bahwa; ia punya suami dan anak. Apa iya seorang Pirokinesis dapat seterkendali itu? Maksudnya memiliki anak? Bercinta? Tanpa melukai pasangannya? Bagaimana bisa ia melakukannya? Pertanyaan itu menarik perhatian Chanyeol.
"Tadi katamu, kau punya keluarga, suami dan anak. Aku tertarik mendengarkan ceritamu, bagaimana kau bisa mengendalikan dirimu sekuat itu?"
Ia mengumandangkan tawa merdunya yang pelan, suara tawanya berdentum indah diruangan itu dan mau tak mau Chanyeol ikut tertawa kecil, bukan karena ada yang lucu, tapi terhipnotis.
Tapi suara tawanya yang menggelegar terdengar seperti gemuruh di antara siulan burung mockingbird yang berkicau. Menghancurkan simfoni sempurna dari surga. Lalu Chanyeol menilai apanya yang lucu dari pertanyaanya? Atau ia terlihat lugu ketika menayai itu?
"Sudah berapa lama kau menjadi Piromaniac?" Asher bertanya dengan suaranya lembut dan merdu, dan Chanyeol menyadari telah melongo setelah mendengar tawanya. Dengan cepat ia benahi ekspresinya dan menjawab.
"Mm..sudah dua tahun belakangan ini" tukasnya; tapi suaranya terdengar seperti gumaman tidak jelas.
"Wah, dan kau memiliki pasangan?" Ia berdendang lagi, Chanyeol sampai nyaris meneteskan air liur.
Cuping hidungnya kembang kempis, cepat-cepat ia mengatupkan bibirnya "Ya". Ujarnya dengan rahang terkunci.
"Kau jelas lebih hebat dari pada aku, aku waktu seumuranmu aku tidak bisa berdekatan dengan orang. Aku pasti sudah membakarnya terlebih dahulu sebelum ia mengatakan sesatu. Sudah banyak orang yang aku bunuh, karena ketidaksengajaanku. Butuh lima puluh tahun hingga aku mencapai kendalianku yang sempurna dan bisa berdekatan dengan orang yang aku cintai" jelasnya dengan sedikit kepedihan terdengar dalam suara indahnya.
Chanyeol ikut larut dalam kesedihannya, ia paham dengan apa yang Asher rasakan. Dan Chanyeol sadar, ia terlalu tenggelam mendengarkan suaranya, hingga rasa sakit tusukan jarum tak bereaksi apa-apa. Ajaib, suaranya dapat mengurangi rasa nyeri disekujur tubuhnya. Obat penawar rasa sakit tidak ada apa-apanya dibanding suaranya.
"Sepertinya, hidup normal itu sudah dihapuskan dalam kamus kita. Bukankah kita tampak mengerikan dalam bayangan orang-orang diluar sana, karena orang seperti kita ini memang tidak normal, bukan" Suaranya memelan, nyaris berbisik.
Diam-diam matanya menerawang menatap langit di luar, menghentikan aktifitasnya yang hampir selesai. Mengisi pikirannya dengan kenangan tentang suaminya. Chanyeol menunggu dalam diam sampai rasa nyeri itu kembali menyeliputinya. Namun penjelasan Asher tentang pengendalian dirinya mengganggu pikiran Chanyeol.
Lima puluh tahun baru bisa seintim itu dengan manusia? Lima puluh tahun mungkin tidak berati apa-apa untukku, tapi Amber? Dia sudah sangat renta pada lima puluh tahun yang akan datang? Sepertinya aku memang selamanya tidak bisa seintim itu dengannya. Tapi mendengar ceritanya itu membuatku ingin bertanya lebih banyak. Tapi aku malu. Biarlah hal ini menjadi misteri untuk sementara waktu. Chanyeol meringis kembali.
"Aku punya teman seorang Healer, mungkin dia bisa membantu menyembuhkan lukamu"
"Kau berkelompok?"
"Ya"
Senyum puas mengembang diwajah carut-marutnya, secepat kemudian raut wajahnya berubah kecewa.
"Seorang Healer tidak dapat menyembuhkan luka yang diakibatkan oleh mantra. Tidak ada. Kecuali seoarang Golden Tongue".
Lalu mereka terdiam lagi. Chanyeol melirik Asher yang mantap dan hati-hati menjahit lukanya.
"Lalu kenapa kau masih disini?" tanyanya tercekat menahan sakit.
"Karena kini, ramalan kematiannya sudah didepan mata," Suara terdengar asing kali ini, memesona sekaligus marah. Walau ia marah, suaranya masih terdengar enak didengar.
"Maksudmu?" tanya Chanyeol bingung.
"Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang.
Chanyeol mengamati hasil jahitannya yang rapi dan masih mempertanyakan ucapannya yang menggantung.
Ia mengolesi kapas bertangkai ukuran besar dengan cairan sewarna sirup banyak-banyak. Lalu ia membalurkannya daun binahong yang telah ditumbuk halus ke luka Chanyeol. Kemudian mengambil dua lembar daun binahong dan menempelkannya ke permukaan luka yang sudah dijahit tadi; kening dan bahunya, agar lukanya cepat mengering. Baunya aneh; membuat Chanyeol mual dan membuat kulitnya perih.
Asher memeriksa bahunya lagi "Sudah beres."
Asher meletakkan semua peralatan dalam mangkuk stenlis kosong.
"Akhirnya penantianku terjawabkan," lanjutnya. Suara merdunya berubah kelam, samar-samar menguarkan kebencian. Sulit melihat ekspresi yang sebenarnya dari wajahnya.
"Penantianmu?"
"Ya, aku menunggu obsesinya datang kemari, dan kau datang" Untuk pertama kali terdengar secercah nada puas yang kaku dalam suara indahnya.
"Maksudmu kedatanganku dapat memenuhi ramalan tentang kematiannya?"
"Sebenarnya kedatanganku ke sini adalah untuk membantumu." Ia menyeringai. "Dia tidak akan senang kalau tahu hal ini."
Apa dia bisa membantuku?
"Membantuku? Bagaimana?" tanyanya bersemangat, mengundangnya untuk terus bicara.
"Tapi kalau kau tahu apa yang dia rencanakan untukmu, Chanyeol..." Asher menggeleng dengan gerak lamban, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Seakan-akan nyaris jijik.
"Kau benar-benar obsesi terbesarnya selama ini, dan aku akan membantumu keluar dari sini"
"Jadi menurutmu aku bisa mengalahkannya?" suara Chanyeol naik satu oktaf karena rasa tidak percaya.
"Ssstt.. Tidak hanya itu," Suara bisikan terdengar berapi-api. "Kau akan menyelamatkan seluruh Force dan umat manusia dari rencana jahatnya."
Chanyeol berusaha keras mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang rasanya mustahil untuk bisa melawan Irene. Chanyeol meringis, tubuhnya berkeringat menahan sakit.
"Percayalah padaku, aku akan membantumu," nadanya memohon, sambil mengusap lengan Chanyeol pelan.
"Kita pergi besok pagi sebelum saluran air pertama kali dibuka. Setidaknya lukamu sedikit membaik" Suara perhatiannya yang lembut sangat menggoda Chanyeol.
"Sekarang istirahatlah, aku akan memeberikanmu Tylenol untuk mengurangi rasa sakitnya, dan besok pagi-pagi buta aku akan kembali dan mempersiapkan semuanya." Ujarnya sambil memberikan pil-pil itu padanya.
Chanyeol menerima pil-pil yang disodorkannya tanpa membantah, sekujur tubuhnya benar-benar nyeri. Beberapa menit kemudian nyerinya hilang.
Chanyeol tidak sabaran untuk menunggu hari esok. Ia bertekad harus melawan rasa sakitnya untuk keluar dari istana neraka itu. Tidak ada waktu untuk mengerang kesakitan.