Chanyeol berjalan-jalan menyusuri lorong batu panjang antara aula dan kapel. Ia mendengar suara kasak-kusuk beberapa orang yang sedang berbincang dari arah aula. Chanyeol mengendap-endap mendekati pintu aula yang tebal terbuka terbentang lebar. Cahaya terang berpendar menerangi sisi yang gelap di luar lorong.
Chanyeol mengintip sedikit ke dalam aula. Ruangan itu luas. Terlihat seperti ruang pertemuan dewan pada abad ke-18. Aula itu bentuknya bulat sempurna terang benderang namun tidak mencolok. Dindingnya berupa tumpukan bebatuan tinggi berwarna cokelat kayu manis ditutupi tirau-tirai biru gelap dan merah keemasan. Lantai dingin marmernya hitam dan putih kusam, dilapisi karpet tebal empuk berwarna biru di beberapa sisi. Perapian menyala ditengah-tengah ruang, apinya keluar dari bawah lantai, menari-nari, berkobar hingga mengirimkan hawa hangat kepenjuru ruangan. Sepetak cahaya matahari menerobos melaluinya jatuh dalam bentuk bulat di lantai batu di bawahnya yang seolah-olat seperti spotlight dari atap kaca diatasnya.
Jendela-jendela berlapis panel kayu diukir rumit tertutup rapat. Lampu-lampu dinding berbentuk hexagonal terpasang berjejer. Tangga lebar meliuk di kanan dan kiri aula menuju balkon yang yang disulap menjadi perpustakaan terbuka yang luas. Walau tidak seluas perpustakaan milik Kris. Di dalam aula terdapat ruangan lain yang lebih terang dan besar, tepatnya dibawah balkon perustakaan. Ruangan itu menyerupai ruang pertemuan sekaligus raung baca pribadi. Meja-meja mengilap dan sofa-sofa kulit yang lagi-lagi berwarna merah dan bantal kecil berwana biru ditata menyerupai ruang pertemuan yang sangat nyaman. Lampu kristal besar, menjuntai dengan ujung runcing menggantung diantara balkon perpustakaan dan tangga, kristal pada lampu itu berpendar membiaskan cahaya pelangi ke dinding-dinding batu. Tiap sudut ruangan di istana selalu ada karangan bunga Fressia segar yang diletakkan di vas-vas kristal berbagai ukuran termasuk di aula itu.
Disana, terlihat Irene sedang bicara serius dengan empat pengawal berjubah hitam bertubuh besar. Ekspresi Irene sarat akan kegelisahan yang keji. Chanyeol menguping pembicaraannya dari luar tembok.
"Kalian harus menghabisi seluruh Force di tempat reservasi dan bunuh Tracker Klan Dragon, Li Jiaheng sebelum gerhana tiba, bunuh mereka jangan sampai ada yang lolos, kejar kemanapun mereka pergi, lakukan dengan rapi dan bersih. Aku tidak mau sampai meninggalkan jejak dan diketahui Supreme Leader"
Apa? Chanyeol memasang pendengarannya lebih baik lagi, ia tidak percaya dengan apa yang direncanakan Irene.
Chanyeol bersembunyi dibalik pintu ketika pengawal-pengawal itu berlalu, pergi meninggalkan aula.
Ini tidak bisa dibiarkan. Ternyata apa yang ia takuti selama ini benar. Irene tidak akan puas dan menang hanya dengan mendapatkan jantungnya. Chanyeol nyaris pusing. Bagian analitis dalam benaknya mengingatkan bahwa ia nyaris meledak akibat tekanan yang ia rasakan. Bila kekuatan berfungsi saat ini sudah pasti api pada dirinya sudah berkobar-kobar hebat sekarang.
Diam-diam Chanyeol mengambil sebuah pedang yang terpajang di dinding luar. Ia mengendap-endap, melangkah tanpa suara melintasi ruangan itu. Pelan-pelan mendekati Irene yang memunggunginya, menatap ke perapian.
Chanyeol mengangkat dan melayangkan pedang itu yang seharusnya mengenai tubuhnya, namun Irene menghindar dengan cepat. Irene membalikan tubuhnya cepat-cepat, bahkan Chanyeol tidak sempat berkedip tiba-tiba tangan Irene mencekik lehernya. Lalu tanganya yang satu lagi mencengkram tangannya yang memegang pedang, meremukkan buku jarinya dengan cengkraman yang kelewat keras untuk ukuran perempuan bertubuh mungil. Irene menatapnya berapi-api. Sungguh menyakitkan melihat tatapan seperti itu, seolah-olah tatapan itu menghantamnya.
"Menyerangku dari belakang! Itukah rencanamu? Idiot!" Irene mencengkram tangannya lebih keras lagi.
Terdengar suara keretak disusul suara gema memekik. Tulangnya jarinya patah, ia bisa merasakannya. Chanyeol mengerang ketika merasakan tulang jari-jarinya patah. Saat itu juga Chanyeol menjatuhkan pedang dari genggamannya ke lantai marmer. Irene melepaskan cekikannya. Chanyeol terbatuk-batuk sambil memegangi tangannya yang patah. Irene menendang pedang itu jauh-jauh.
Irene tertawa. "Nah, kau ini bajingan gegabah ternyata"
Chanyeol memicingkan mata karena kebencian mengalahkan rasa sakit tulang jemarinya yang remuk.
Irene mendecak-decakan lidahnya "Kau pikir dengan membunuhku teman-temanmu akan selamat? Seharusnya kau berhati-hati bila berurusan denganku. Aku akan menikam jantungmu, dan tidak ada yang bisa menghentikanku." Suara Irene menggeram terdengar mematikan.
"Aku akan membunuh semua orang yang berkaitan dengan hidupmu" lanjutnya dengan pandangan garang.
Chanyeol tertawa ditengah-tengah erangan kesakitan "Aku hanya berpikir, pasti menyenangkan duel denganmu tanpa kemampuan curian itu, akan kubakar habis tubuhmu" Suaranya yang tiba-tiba meninggi memicu keberaniannya.
Apa artinya sekarang? Sebentar lagi segalanya bakal berakhir dan ia akan mati-matian mencegah niatnya. Tapi ia sadar ia sangat lemah melawan Irene.
Wajah Irene mengeras "Ada pesan terakhir untuk pacarmu" ada sedikit ketegangan dalam suara Irene.
"Jangan harap kau dapat menyentuhnya" ujar Chanyeol tajam.
Kemudian seringaian licik membelah wajah Irene.
"Ironis bagaimana kekasihmu yang sayang sekali berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan tak diragukan lagi, bila boleh kutambahkan, berada bersama kelompok yang salah. Padahal kalau kau menerima tawaranku kemarin kau bisa menjadi rajaku"
Chanyeol meludah ke lantai sebagai sikap merendahkan. "Aku lebih suka mati dari pada bersanding denganmu"
"Ya" Irene menatapnya dengan sorot kesetanan.
Entakan keras menghantam dadanya, tubuhnya melayang terpental menghantam dinding kaca ruangan lain, suara pecahan kaca terdengar saat tubuhnya menghantam dinding kaca. Sebelah tangannya yang sehat refleks terbentang untuk menahan jatuhnya. Tubuhnya mendarat, berguling tepat ke kepingan-kepingan kaca yang tajam. Kacanya hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan dan bertebaran di lantai sekitarnya.
Ia kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit. Selain syok, ia juga merasa sakit dibagian rusuknya, ia sesak tak bisa bernapas kerena pukulan didadanya begitu kuat. Bagaimana bisa tubuh Irene yang mungil dapat memukul tubuh laki-laki yang lebih besar darinya begitu keras hingga membuat tubuhnya terpental.
Ia merasakan robekan tajam di bahunya, di tempat pecahan kaca itu menusuknya. Chanyeol mendesah dan rasanya nyeri sekali. Baru sekarang ia merasakan kesakitan yang pedih dan menusuk di bagian bahunya. Ia mendongak berkonsentrasi menatap langit-langit dan berusaha menarik napas panjang dalam-dalam dan mengabaikan nyeri di sekitar rusuknya. Darah merah cerah yang merembes keluar dari bahunya meninggalkan noda darah di kemeja putihnya.
Perlahan-lahan Irene menghampirinya berdiri beberapa meter dari tubuh lemahnya yang berlumuran darah. Tak ada lagi kebengisan pada wajah atau sikap tubuhnya. Tampangnya sangat biasa, terlebih setelah apa yang ia lakukan pada Chanyeol. Ia mengamati kaca-kaca yang berserakan, suaranya kembali ramah.
"Maafkan aku soal ini, Chanyeol." Suaranya berubah sopan dan ramah dengan cara yang aneh. Ada sedikit nada sinis mewarnai nada bicaranya yang sopan.
Chanyeol mengabaikannya, dengan sebelah tangannya yang sehat ia merangkak ke pintu lain. Irene menghadangnya dan menelengkan kepala ke satu sisi.
"Ada pertimbangan bagus sekali untukmu, pertimbangkanlah, Chanyeol" tawarnya ramah.
Chanyeol terkekeh walau hal tersebut menyakitkan rusuknya namun ia tidak peduli.
Irene menendang pelan tubuh Chanyeol hingga membuatnya terlentang. Ia berlutut dengan anggun. Lalu ibu jarinya menekan bahu Chanyeol yang terluka memaksa pecahan kaca menusuknya semakin dalam, ia menggeram kesakitan.
"Kenapa tidak kau bunuh aku saja sekarang?" pintanya parau.
Irene menarik kerah bajunya, memaksanya berdiri. Lalu sesuatu menghantam wajahnya, hingga terdengar suara berderak. Sebelum ia sadar dengan apa yang terjadi ketika Irene melemparkannya ke dinding hingga wajahnya menghantam tembok.
Cairan hangat mengalir deras dari dahinya. Dengan keadaan pusing dan linglung ia menarik potongan kaca yang menancap dibahunya. Darah semakin deras keluar membasahi bagian bahu kirinya. Darah dengan cepat menggenang di lantai dalam keadaan pusing dan darah yang terus keluar mulai membuatnya tak sadarkan diri. Matanya nyaris terpejam. Ia mendengar, seolah dari kedalaman air, geraman sang penyihir sadis. Samar-samar ia melihat tiga bayangan hitam besar mengampirinya, mengatakan sesuatu yang tidak bisa Chanyeol tangkap, lalu tubuhnya serasa seperti melayang. Matanya terpejam, ia pun tak sadarkan diri.