Chereads / The 13th Fates / Chapter 39 - 39. ALTER EGO

Chapter 39 - 39. ALTER EGO

Chanyeol berjalan mengikuti Irene ke ruang makan untuk sarapan. Di belakang Chanyeol, ia dikawal oleh dua penjaga berbadan besar, sebesar beruang cokelat yang mengiringi. Pelayan menggeser panel pintu yang seluruhnya dilapisi emas.

Ruang makan itu sangat luas, seluas lapangan tenis dan sarat akan hiasan. Ruangan di dominasi warna merah. Dekorasi ruangan itu sama seperti ruangan-ruangan lain bergaya rumania. Dindingnya merah gelap, atap tingginya putih pucat dihiasi lampu-lampu kristal antik. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke ruangan melalui sela-sela jendela yang tertutup gorden merah keemasan.

Mejanya terbuat dari marmer hitam ditutupi taplak merah, ditumpuk dengan taplak satin berwarna navy. Vas-vas kristal berisi bunga fressia berwarna-warni menghiasi meja. Aromanya terasa harum dan halus.

Irene memerintahkan Chanyeol untuk duduk di sisinya. Namun Chanyeol terus berjalan menyeberangi ruangan dan duduk di seberangnya. Chanyeol menarik kursi hingga menggesek lantai dengan suara keras.

Mejanya sarat akan makanan. Irene menyuruh pelayan untuk mengambilkan makanan untuk Chanyeol. Pelayan itu memilih pancake, telur dadar, dan bacon lalu memberikannya pada Chanyeol. Itu adalah makanan yang sering Chanyeol makan setiap pagi di tempat reservasi, Irene sudah mengamati itu. Tapi Ia tidak nafsu makan meskipun ia lapar.

Irene menelengkan kepala.

"Chanyeol sayang, kenapa kau tidak makan? Kau tidak suka dengan menu sarapan ini? Kau mau makan yang lain? Katakan saja, Chanyeol" tanyanya dengan nada menggoda. Matanya berkilat menggoda saat menatap Chanyeol. Bibirnya tertarik halus membentuk senyuman menggoda.

"Aku tidak lapar" jawabnya ketus.

Sikunya diatas meja, menopang dagunya pada jari-jari yang panjang dan berkuku rapi.

"Kau tidak senang ya berada disini?"

Chanyeol tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas tersirat diwajahnya.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Chanyeol, nadanya jijik.

Irene mengangkat cangkir teh dengan gerakan anggun, menyesapnya sedikit dan meletakkanya lagi tanpa suara.

Irene bangkit dan melenggang mendekati kursi Chanyeol sambil menyingkapkan jubahnya, membiarkan penutup kepala terbuka dan terkulai di pundak. Angin mengibaskan rambut indahnya ketika berjalan. Irene merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundak Chanyeol, memeluknya dari belakang, mengusap-usap dadanya.

Irene menekan daerah jantung pada dada Chanyeol dengan telunjuknya "Your beating heart" suaranya halus berbisik dengan nada mengancam.

Otot-otot Chanyeol langsung mengejang, membeku kaku di tempat.

"Aku telah menunggumu ribuan tahun. Kau tidak tau, kan, sehebat apa kau nanti. Tak ku sangka ternyata kau sangat tampan, aku nyaris tidak tega untuk menghabisanmu," Irene tersenyum, senyum kepuasan bercampur hasrat.

Chanyeol mengejang kaku, ia tau bahwa Irene tidak sekedar menginginkan satu hal darinya tapi seluruhnya.

"Dengan jantungmu itu, aku bisa menjadi The Blink Warlock terhebat dan tak tertandingi. Kau adalah obsesi terakhirku untuk mendapatkan kekuatan yang tak terbatas, aku bisa menguasai segala elemen dari kuantum hingga atom. Dunia akan berada ditanganku dan aku akan membangkitkan Master of Evil, suamiku dan menciptakan keseimbangan makhluk hidup dimuka bumi"

"Apa? Master of Evil adalah suaminya?" Jelas hal tersebut kabar menggemparkan dan otomatis Chanyeol menoleh ke Irene dan meninggalkan beberapa centi saja.

Jangan biarkan itu terjadi!. Chanyeol terkesiap karena bukan suara Irene yang mengatakan itu, tapi suara berupa geraman berbisik dari benaknya. Chanyeol pikir dirinya sendiri yang mengucapkan kata-kata itu, tapi suara itu seperti datang begitu saja tanpa ia pikirkan, itu suara bernada ancaman miliknya sendiri.

Jangan biarkan dia melakukan itu padamu. suara itu berbicara lagi, nadanya galak.

"You can't take my heart,' Chanyeol mengikuti perintah suara misterius dalam pikirannya.

Katakan yang lebih meyakinkan!

"Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku" kali ini ditambah geraman.

Irene tersenyum seperti mengajak berkomplot. "Oke, aku akan membuat kesepakatan bila kau tak mau mendengarkanku" Irene mulai bicara sambil ia mengibaskan rambut merahnya dengan jari-jarinya yang kurus.

"Aku tau apa yang paling kau inginkan saat ini" Ia bicara dengan nada menghibur. "Amber, dan bagaimana caranya agar kau bisa hidup bahagia dengannya tanpa perlu kawatir akan melukainya"

Chanyeol menelan salivanya, terkejut tebakanya tepat.

Jangan terkecoh, ia mau mempermainkanmu! Suara itu menegurnya lagi. Suara di kepalanya masih terngiang-ngiang keras di telinganya. Suara itu mengalahkan suara Irene.

"Diam!" perintah Chanyeol kepada suara itu.

"Aku bahagia bersamanya, dia menerimaku apa adanya"

Irene mendecakan lidak "Itukan kata dia" Irene menanggapi dengan skeptis. Irene mendekatkan bibirnya ke kuping Chanyeol.

"I can see in your eyes" bisikanya bagaikan bisikan dalam kegelapan sunyi.

"Kau menginginkannya lebih dari apapun didunia ini" Irene mengusap bibir Chanyeol dengan ibu jarinya, membelai setiap inci wajahnya dengan jari-jari yang lembut.

"Walau sebenarnya aku iri padanya" Irene mencium pipinya sekilas dan hendak mengecup bibirnya, cepat-cepat Chanyeol menarik kepalanya. Membuat Irene tampak frustasi, alisnya saling bertautan. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.

Irene mendekatkan bibirnya lagi ke telinga Chanyeol "Aku bisa menyembuhkanmu, membuatmu seperti normal lagi"

"Hidup seperti normal kembali, dia benar-benar bisa menyembuhkanku? Menghilangkan kekuatan ini, kekuatan yang membuatku tak berdaya bila bersama Amber karena ketakutanku melukainya. Tapi Kris bilang ini memang takdirku, dan hanya orang-orang terpilih yang mempunyai kemampuan istimewa, dan Kris juga mengatakan aku ini berbakat. ini dilema untukku."

Bohong! suara itu memekiknya, nadanya bernada marah.

Suara itu datang dan pergi begitu saja. Suara itu seperti radio yang terpasang di kepalanya, rasanya sama seperti ketika Luhan mengirimkan telepati langsung kepikirannya. Tekstur suaranya persis seperti suara Chanyeol ketika marah. Pikiran Chanyeol langsung menghindar dari situasi realita. Beralih fokus terhadap suara dalam benaknya. Chanyeol mengingat kembali perasaan familier aneh bahwa ia pernah mengalami situasi yang sama. Itu ketika awa-awal menjadi Pirokinesis.

Dengan cepat ia menelaah berbagai kemungkinan dalam pikirannya.

"Opsi pertama: mungkin aku mulai sinting. Itu istilah orang awam bagi mereka yang mendengar suara-suara misterius dalam pikiran mereka. Mungkin, Opsi kedua: Pikiran bawah sadarku memberiku apa yang memang kuinginkan. Memproyeksikan apa yang akan aku katakan. Kemungkinan. Aku tak bisa melihat opsi ketiga, jadi aku berharap pilihannya adalah yang kedua dan ini hanya pikiran bawah sadarku yang tak terkendali, bukannya sesuatu yang mengharuskan aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa"

Kau salah besar, tolol. Suara itu datang kembali seperti menjawab pertanyaannya, seperti ia berada diruangan yang sama disuatu tempat dalam pikirannya dan mendiskusikannya bersama.

Chanyeol mulai curiga jangan-jangan ia memang sedang berhalusinasi. Dipicu, tak diragukan lagi, oleh perasaan tertekan, seperti yang pernah terjadi dulu.

Aku adalah bagian darimu yang tak pernah kau sadari. Aku adalah kau. Kau adalah aku. Aku selalu bersama denganmu dan Kau selalu bersamaku, aku slelau bersamamu ketika kau merasa sendirian.

Chanyeol berpikir reaksinya tak bisa dibilang waras. Ia bertanya-tanya Apakah ia mulai mengalami ketidakstabilan mental seperti Dark Force lain.

Chanyeol menatap kosong ke makanannya yang sudah dingin.

Ia terus berdebat dengan benaknya sambil mempertimbangkan tawaran Irene yang menggiurkan. Suara itu terus mengintimidasinya, menolak idenya hidup normal. Irene mulai menatapnya bingung, mempertanyakan sikapnya yang seperti tertekan pada hal lain, dan itu membuat ekspresinya aneh.

Atau Mungkin yang terlihat di luar adalah Chanyeol sedang menimbang-nimbang apakah akan menerima tawaran itu atau tidak. Bagaimana Irene bisa menebak bahwa Chanyeol terdiam berkutat dengan momen ketidakwarasan yang mendadak datang tanpa diduga.

Sekarang katakan dengan tegas pada perempuan sialan itu bahwa kau tidak tertarik.

"Ini takdirku, ini yang aku pilih. I dont want to fixed" jawabnya lantang, melakukan apa yang diperintahkan suara itu.

Irene melepaskan pelukanya, berjalan mengitarinya.

"Bohong!" geramnya.

"Tidakkah kau merindukan masa-masa itu? Masa-masa dimana kau bisa pergi bebas bersama teman-teman lamamu? Ketempat favoritmu, berkeliling kota, bertemu banyak orang tanpa harus bersembunyi seperti sekarang" ia berkata dengan lantang sambil mengitari meja makan.

Jangan tergoda, dia akan memanfaatkanmu. Suara dalam benaknya terdengar lagi, mengingatkannya.

"Dan merasakan betapa besarnya hasratmu untuk bisa terus berdekatan dengan Amber Liu, menyentuhnya, menciumnya, bercumbu dengannya dengan penuh gairah tanpa harus membuatnya terluka, semua hal yang tak bisa kau dapatkan lagi saat ini"

Irene berkata tepat di titik keputusasaannya. Itu dia kelemahan Chanyeol, ia paling tidak berdaya bila disinggung tentang itu. Tidak ada apapun didunia ini yang ia inginkan selain hidup tanpa kekawatiran, itu bagaian obsesinya. Dan akan membayar berapapun untuk itu.

Jangan tergoda, ia akan menghianatimu. Chanyeol tidak menggubris suara itu. Tawaran Irene membuat Chanyeol teringat-ingat lagi akan masa itu, masa dimana ia menjalankan kisah cintanya dengan mulus tanpa ada kekawatiran berlebihan yang tak pernah ia dapatkan lagi saat ini.

Phoenix! Aku perintahkan kau jangan coba-coba menukarkan kesemuanmu. Suara itu mengancamnya.

Chanyeol berusaha mengenyahkan benaknya yang menggila.

"Kau bisa hidup bahagia dengannya, menua bersama, memiliki anak" kata-kata Irene semanis madu.

Chanyeol mencoba sekali lagi untuk mempertimbangkan rencana itu.

"Amber, dia seperti nafas untukku, dia adalah hidupku, namun hidup yang aku punya saat ini rapuh, serapuh dirinya ketika sedang berhadapan denganku, karena begitu mudahnya aku membuatnya terluka. Aku tidak mau membuatnya masuk kedalam bahaya terus-menerus. Terakhir ia hampir mati karena ke egoisanku, aku tidak bisa menahan hasratku untuk bisa terus melindunginya dari apapun."

Dan alam bawah sadarnya langsung menjawab.

Jangan terkecoh dengan mulut berbisanya. Kau harus percaya padaku, Jangan mengambil keputusan bodoh.

Berkali-kali Chanyeol menelan saliva, ia yakini dirinya sekali lagi, namun hasrat terbesarnya masih sama; hidup bahagia tanpa ketakutan selamanya.

Aku takkan membiarkanmu memilih itu! desak suara itu.

"Bisakah kau diam, setelah semua ini berakhir aku akan mencari cara agar memusnahkanmu"

Aku tidak akan pergi selama kau masih hidup, dan kau akan berterima kasih karena kehadiranku. Geram suara itu

Keputusannya sudah bulat, ia akan memilih apa.

"Aku tidak akan menerima tawaranmu perempuan licik" Ia berusaha tetap terdengar ringan dan rileks.

Hahaha bagus. Suara itu tertawa puas.

Sekarang ancam dia. suara itu memerintahkan, suaranya terdistorsi oleh kekejian. Chanyeol berusaha melakukan apa yang suara itu perintahkan.

"Mereka akan menemukanku," bisiknya, mematuhi perintah suara itu.

Lebih sadis lagi. Suara itu mulai menghilang, seperti suara radio yang volumenya dikecilkan.

"Kau tidak akan bisa lolos, Irene. Kemudian, Aku sendiri yang akan menghabisimu terlebih dahulu" geram Chanyeol seperti ingin menerkamnya. Chanyeol melemparkan seringaiannya dengan tatapan dingin.

Ekspresi Irene langsung apatis, membuatnya tidak lagi tersenyum. Kemuadian ia menatap Chanyeol garang, dagunya mengeras.

Irene berjalan anggun meninggalkan ruangan, mata Irene berkilat sekali ke arah Chanyeol ketika berlalu. Jubah merah gelap yang panjangnya mencapai tanah, mengembang tertiup angin. Jubahnya berputar pelan saat ia berbelok ke ruangan lain.

***

Di ruang yang menyerupai sel Chanyeol merebahkan tubuhnya. Ia tenang suara itu tidak menganggunya lagi. Bila di ingat-ingat suara itu seperti refleksi lain dari dirinya yaitu kekejian, mengingatkannya pada monster dalam dirinya, hanya saja monster itu tidak melawannya tapi mengarahkannya. Satu lagi misteri dalam dirinya yang terkuak. Dan Chanyeol bersyukur karena suara itu membangkitkan ketegasannya.

Chanyeol menatap kamarnya yang gelap dan berbau apek, hanya cahaya bulan dan lilin-lilin kecil. Kamar itu menghadap ke utara, dengan jendela tebal seluas dinding. Tidak ada tempat tidur, hanya sofa merah lebar dan empuk yang hanya di tutupi kain seadanya, kain yang dapat Chanyeol gunakan sebagai selimut. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna biru, sama seperti ruangan lain, dan dindingnya dilapisi wallpaper yang bernuansa gelap dengan rak-rak dinding yang dipenuhi lilin.

Chanyeol bangkit dan beralih memandang ke luar jendela, menekankan telapak tangannya ke permukaan kaca tebal dan dingin. Diluar menyajikan pemandangan pemukiman padat penduduk. Lentera merah dan biru terpasang di tiap trotoar jalan seperti ada festival. Chanyeol sama sekali tidak tau dimana ia berada, tapi bila ia bisa mengira. Ia seperti berada di daerah utara bagian bumi. Diluar jalanan tampak lengang dan sepi, hanya beberapa petugas yang terlihat wara-wiri sambil menunggang kuda.

Kini Chanyeol merasa heran dengan dirinya sendiri, kenapa ia tidak merasa takut, padahal ia sadar ia sedang berhadapan dengan salah satu The 13th Fates. Seseorang yang ngotot menginginkan jantungnya, entah bagaimana caranya, secepatnya ketika gerhana pertama datang.

Baru semalam berada di tempat Irene, Chanyeol sudah merasa bosan, kesepian dan merindukan tempat asalnya, terutama Amber. Tapi bagaimana keluar dari sini? Nyaris mustahil dengan keamanan berlapis, rasanya seperti berusaha kabur dari penjara pentagon.

Merasa penat, Chanyeol keluar dari kamar. Ia berjalan-jalan disekitar istana, itupun tidak luput dari penjaga yang memata-matai. Walaupun pintu sel terbuka lebar, bukan berarti Chanyeol punya asa untuk melarikan diri. Tidak ada satupun yang membiarkannya kabur. Tidak akan.

Istana itu sangat luas, Chanyeol sampai lupa tadi ia lewat lorong yang mana. Chanyeol mendengar suara jernih gumaman perempuan dari sisi lain lorong. Chanyeol mengikuti asal suara itu. Chanyeol masuk ke lorong gelap yang hanya dicahayai obor. Ternyata itu lorong menuju saluran pembuangan air.

Chanyeol melihat seseorang mengenakan jubah abu-abu gelap sedang duduk disisi selokan. Chanyeol bertanya-tanya apa yang dilakukan perempuan itu. Ia terus bergumam, mendendangkan nada yang asing dikupingnya. Suaranya- teksturnya selembut beledu dan intonasi suaranya yang menjadikannya suara paling sempurna di antara segala suara manusia manapun yang pernah ia dengar. Seperti suara malaikat. Gumaman itu berganti menjadi nada lain yang lebih melankolis. Mengalun sedih dalam keheningannya sendiri. Ia bangkit, membalikan tubuhnya ke arah Chanyeol.

Kemudian gadis itu menyapanya, "Halo?" dengan suara merdu mengalun.

Chanyeol terkesiap melihat wajah wanita itu. Senyum tersungging di separuh bagian wajahnya. Sisi kanan wajahnya dipenuhi bekas luka bakar dari batas rambut hingga ke leher, mungkin hingga sebagian tubuhnya. Bekas luka bakar itu gelap dibagian wajah dan berwarna lebih terang di sekitar leher. Bekas luka bakar itu menarik sisi bawah sudut matanya yang hitam dan berbentuk garis yang memilin sisi kanan mulutnya menjadi seringaian permanen.

Melihat wajah perempuan itu, Chanyeol mundur selangkah dan berlalu meninggalkan tempat itu.

Di sel, wajahnya yang menyeramkan terus membayang di kepala Chanyeol. Bila membayangkan wajah perempuan itu, ia menjadi teringat pada Amber dan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan wajah perempuan itu. Apakah dia pernah berurusan dengan Force sejenisnya, Pirokinesis. Hingga membuatnya menjadi seperti sekarang.

Mengerikan bila suatu saat ia tidak sengaja membuat Amber terbakar hingga seperti itu. Chanyeol langsung membenturkan kepala ketembok pelan. Berusaha membuang bayangan itu. Lalu tiba-tiba saja tawaran Irene tadi pagi melintas kembali dikepalanya. Chanyeol membenturkan kepalanya lagi ketembok. Chanyeol menoleh, mendapati dirinya dicermin. Ia mengalihkan tubuhnya, berdiri di depan cermin lebar. Ia menatap pantulan dirinya lekat-lekat.

"Lihat apa kau? Jangan menatapku dengan mata biji durianmu itu" bentak Chanyeol pada cermin itu.

"Gara-gara kau, hidupku hancur berantakan, kau pikir kau hebat, hah? Tidak, kau pecundang, dan pecundang tempatnya bukan didunia ini" Chanyeol menuding-nuding cermin itu dengan penuh amarah.

"Lihat saja kalau kau sampai melukai Amber-ku, aku tidak akan segan-segan menghancurkanmu, ingat itu" Chanyeol memukul cermin itu hingga retak.

"Oh, hebat sekarang aku bicara sendiri, aku pasti sudah benar-benar gila sekarang" gerutunya sambil melempar tubuhnya kesofa.

Chanyeol menatap bulan yang nyaris bulat.

"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku harus keluar dari sini, aku tau keinginan Irene sangat serius untuk merobek jantungku dengan pisaunya, lalu melaksanakan misi menguasai dunia. Aku yakin setelah ia mendapatkan semua yang ia inginkan ia tidak akan tinggal diam dengan Forces di tempat reservasi. Ia pasti datang kembali, mengabarkan kematianku dan menghabisi mereka. Aku yakin keeadaan apapun yang terjadi nanti, pasti mereka akan mati dibunuh, lalu ia datang pada Amber. Melibatkannya dan menyakitinya. Tidak, aku tidak akan membiarkan itu, walalu aku harus mati, aku ingin dia hidup aman. Aku tidak akan membiarkan Penyihir gila itu menyakiti orang-orang yang kusayangi, aku harus cari cara agar bisa keluar dri sini."

Matanya menerawang ke setiap sudut ruangan yang gelap dengan gelisah. Ia terus berdoa dan memikirkan cara untuk keluar dari istana, sebelum hari H tiba. Tapi tak menemukan cara yang terbaik.

"I believe you, God. help me,"