#TAEHYUNG POV ( A Week Earlier)
Sinar menyilaukan menggapai wajahku. Aku hendak bangun untuk menutup tirai, namun aku merasakan beban di tubuhku. Ternyata Irene.
Kupandangi tubuh telanjangnya dengan bosan. Memang dia cantik dan seksi, namun aku bosan. Aku bercinta lagi dengannya semalam. Bahkan hampir tiap hari. Tapi aku tidak merasakan apa-apa lagi. Aku cuma melampiaskan nafsu seksualku saja padanya. Jujur saja, aku lelah harus selalu berpura-pura mencintainya. Kalau di tanya bagaimana perasaanku padanya dua tahun lalu, maka aku pasti akan bilang 'Ya. Aku sangat mencintainya'. Tapi hampir 6 bulan terakhir ini, aku muak dengannya.
Kami telah tinggal seatap selama setahun lebih. Tidak bisa kubayangkan kalau aku harus hidup dengannya selama bertahun-tahun. Memikirkannya saja sudah membuatku muak.
Aku menggeser tubuh mulusnya dari atas dadaku. Ia menggeliat dan merangkul leherku.
"Jangan pergi. Peluk aku", desahnya memohon.
"Aku harus kerja. Nanti telat", balasku sambil menyingkirkan tangannya.
Aku menuju kamar mandi tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku memang jahat padanya, tapi mau gimana lagi, aku ingin lepas darinya.
Setelah rapi berpakaian, Irene menghampiriku, dan memelukku dari belakang.
"Sayang. Sarapan yuk, aku sudah masakin makanan favoritmu," rayunya,
"Kau makan saja sendiri. Oh, ya. Jangan telepon - telepon aku", Aku pergi dari rumah. Rumah indah milik Irene.
Ya, aku memang tak punya apa-apa. Aku hanya pekerja serabutan yang tidak tau diri hidup bergantung dari pacarku. Aku cuma perantau dari Desa Geochang, berharap pindah ke Daegu untuk menemukan kehidupan yang layak, tapi ternyata menjadi perampok disini lebih mudah daripada bekerja berpenghasilan tetap. Apalagi aku hanya berijazah SMA.
Aku memang tak berduit, tapi ketampananku yang membuatku menjadi incaran para wanita. Irene saja tergila-gila padaku, mau menerima pria miskin sepertiku apa adanya.
Bus yang akan mengantarku ke stasiun TV TBC sudah datang, sudah lumayan penuh, aku duduk di barisan belakang. Aku memang lebih suka menyendiri. Makanya aku tak begitu punya banyak teman.
Sudah nyaris sebulan aku berkerja sebagai audio engineer untuk acara berita kriminal pagi. Selama dua jam pembawa berita menginformasikan berita kejahatan secara acak dari pencurian sampai yang paling berdarah.
Akhirnya selesai juga mendengarkan berita hilangnya hati nurani manusia. Semua berita kriminal selalu mengekploitasi dari sisi penonton dan korban. Mengajak orang-orang menyalahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan tanpa melihat apa yang melatari hilangnya hati nurani seseorang.
Selesai sudah pekerjaanku hari ini. Aku berkerja cuma 6 jam di sini sebagai audio engineer dan tukang gulung kabel sound system. Setelah itu aku langsung di berikan upah harian yang cukup untuk ongkos, makan, rokok sebungkus dan sisanya kusimpan untuk di tabung. Kadang aku bertahan di studio lebih lama, saat ruangan studio sudah kosong dan gelap, aku berdiri di sana, di belakang kamera sambil berandai-andai jadi produser film atau sutradara.
Saat ini aku tidak ingin langsung pulang, maka aku berjalan-jalan sambil memotret pemandangan menggunakan kamera milikku sampai matahari tenggelam. Ini satu-satunya barang mahal yang aku beli tanpa uang Irene, walau kamera bekas sih.
Kamera ini aku gunakan untuk mencari uang tambahan dengan menjual hasil jepretanku ke majalah atau blog Travel. Pernah juga untuk merekam video pornoku dengan Irene yang kujual ke situs dewasa. Kalau di pikir-pikir ya segampang itu cari duit, buktinya video amatir kami laku keras di tonton. Hingga saat ini aku masih di bayar dari satu video yang kuunggah setahun yang lalu itu. Aku pernah membujuk Irene untuk membuat video porno lagi tapi dia menolak. Padahal wajah cantik dinginnya begitu menjual, dia pasti bisa menjadi bintang porno yang terkenal.
Ah, sudah malam dan aku lapar. Malam begini enaknya mampir dulu di kedai warung makan langgananku, untuk sebotol soju dan ojingeo bokkeum kesukaanku.
Selesai makan kunikmati kesendirianku sambil menekuni komik baru yang belum selesai kubaca. Nikmatnya menyesap rokok dan soju tanpa mendengar ocehan nyebelinnya Irene.
Hingga ponselku berdering, telepon dari... Ugh...Irene.
"Ya! Kan aku sudah bilang. Jangan telepon aku!" segera kumatikan panggilan itu.
Teleponku berdering kembali menampilkan kontak yang sama. 'Nenek lampir'. Ya, kunamai kontaknya dengan julukan itu.
"Apaan sih? Kalau ada yang mau diomongin kan bisa nanti di rumah. Bentar lagi aku pulang!"
Huh! Ganggu banget sih jadi cewek. Belum jadi suaminya saja sudah sok ngatur-ngatur gini.
Sebelum pergi kuhempaskan rokok yang baru separo kuhisap, kutenggak soju sampai tandas, menggamit komikku lalu meninggalkan café itu.
Bus yang kutumpangi melaju melintasi jalanan sepi, mengantarku pulang ke neraka. Dan ponselku berdering lagi. Irene lagi. Kuabaikan saja. Perempuan keparat!
Aku berdiri mematung memandangi rumah besar Irene. Ada beban yang mengganjal hatiku. Aku tidak ingin masuk kesana, karena jika masuk, aku akan terperangkap dan sulit lepas dari cengkeraman Irene. Aku terlalu bergantung padanya, kalau aku pergi, terus aku mau tinggal dimana? Uang tabunganku belum cukup buat ngontrak berbulan-bulan apalagi beli rumah. Aish.. gak enak jadi orang melarat. Jahatnya orangtuaku, mati tanpa ninggalin warisan, padahal aku anak tunggal. Payah!
Ponselku berdering kembali yang sudah kupastikan itu Irene.
Brengsek!
"Ya! Aku sudah di depan rumah!" dengan enggan aku membuka pintu.
Begitu aku sudah di dalam, mataku melotot melihat tubuh moleknya tanpa sehelaipun. Hanya stocking lingerie yang membaluti kaki jenjangnya dan rambut yang di ikat dengan pita merah, tampilannya memberikan kesan seksi, imut sekaligus menggairahkan.
Kututup pintu di belakangku tanpa menokeh, Irene melenggak-lenggokkan tubuhnya, ia berjinjit untuk menangkup wajahku, lalu bibirku di lumatnya. Karena penampilannya yang menggoda, aku pun membalas lumatannya, membelai bibirnya dengan lidahku.
"Selamat hari jadi yang ke 2 sayang," bisiknya di bibirku.
Irene meraih tanganku dan menempelkannya di dadanya. Kuawali dengan remasan lembut, makin lama remasanku semakin keras. Dengan semangat Irene merogoh penisku ke balik celana. Ia remas-remas penis dan zakarku sampai juniorku mengeras.
Kuangkat tubuh telanjangnya, kaki dan tangannya bergelayut di tubuhku. Di ranjang besar kami yang nyaman itu kurebahkan tubuhnya. Kulepas semua yang menempel di tubuhku, tanpa melakukan foreplay lebih lama, aku langsung saja menghunjamkan ereksiku ke vaginanya. Dia menjerit kesakitan, jemarinya menusukku, kuku-kukunya seolah tertanam di kulit punggungku.
Penisku menggesek liang vaginanya yang masih kering itu dengan keras. Kuluapkan nafsu bejatku ini tanpa kasih sayang lagi, aku pun tidak ingin menciumnya lagi. Berkali-kali aku membuang wajahku saat ia mengangkat kepalanya untuk menciumku. Kini yang aku inginkan hanya ini, seks gratis yang penting puas.
Ya benar, beberapa bulan terakhir Irene hanya kugunakan untuk pemuas nafsuku saat di rumah. Walau aku membencinya, tapi wanita ini masih bisa membuatku ereksi.
Aku terus menghantam vaginanya sampai mulai terasa licin dan basah saat kumasuk keluar penisku di liang kenikmatannya. Hingga geraman kepuasan terlontar dari mulutku ketika cairanku memenuhi rahimnya. Tanpa menunggu penisku melemas, dengan satu tarikan, kucabut penisku dari vaginanya. Aku tahu, dia belum merasakan klimaksnya, bodo amat! Yang penting aku sudah puas.
Kutinggalkan tubuh telanjangnya yang masih ingin di cumbu. Kubersihkan juniorku, membersihkan tubuhku. Di bawah shower aku merenungkan nasibku, apa yang aku lakukan pada Irene memang kejam. Tapi sekuat apapun aku menghindar, Irene selalu bisa membuatku kembali. Ini semua karena ketidakberdayaanku hidup sendiri tanpa seseorang yang mengempaniku.
Begitu besar keinginanku untuk pergi darinya. Selama Irene masih hidup dia akan terus mencariku, membuatku kembali padanya dengan berbagai cara, dengan memanfaatkan keadaanku yang tidak memiliki apapun. Aku memang tidak memilik siapapun kecuali Irene, tapi pada detik ini aku benar-benar ingin wanita sialan yang pernah kucintai itu musnah dari kehidupanku.
Keluar dari kamar mandi kulihat Irene sudah terlelap tanpa busana di balik selimutnya. Aku berjalan perlahan mendekati ranjang, menatapnya yang sedang tertidur. Kupandangi leher kecilnya, aku ingin meremukan leher itu hingga ia tewas atau membekapnya dengan bantal sampai kehabisan nafas. Ini kesempatan yang tidak akan datang kembali, momennya begitu pas untuk menghabisnya.
Aku sudah berdiri di sisi ranjang, membulatkan tekad untuk mengambil nyawa wanita yang baru saja memuaskanku. Kupandangi wajah cantiknya, aku pernah tergila-gila pada wajah rupawannya, tapi kini semua sudah kosong, sudah tidak ada artinya lagi. Aku harus menghabisinya agar bisa lepas dari jeratan rantai kekangnya selamanya.
Sudah kuputuskan, membekap wajahnya dengan bantal adalah rencana terbaik agar teriakannya tidak terdengar, terlebih agar wajah menjelang ajalnya tidak mengusikku.
Tok..tok..tok
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari asap pekat jahanam yang mengelilingiku. Tangan kiriku sudah meremas bantal di samping Irene. Aku sudah kehilangan akal sehat karena sudah sangat muak dengannya. Beruntung seseorang, entah siapa yang mengetuk pintu depan masih melindunginya.
Kukenakan pakaian seadanya dengan rambut yang masih basah meneteskan butiran air, dengan enggan kubuka pintu.
Siapa sih malam-malam begini ke rumah?
Betapa terkejutnya aku melihat wajahnya, sosok wanita setinggi 167 cm berdiri di hadapanku yang dimana ia balas menatapku dengan ekspresi yang sama.
"Amber?" Gumamku saat melihat wajahnya lagi.
Amber hanya menatapku gusar, lalu tanpa mengatakan apapun dia pergi berlari kecil menuju mobilnya, dengan tergesa-gesa ia melajukan mobil patrolinya hingga bannya berdecit.
Di depan pintu aku mematung dan tercengang, syok bercampur bingung setelah menyaksikan apa yang baru kulihat. Melihat kembali sosoknya sekilas, membuat bagian tulang pipi kiriku tiba-tiba nyeri tanpa alasan. Pipiku yang pernah menerima hantaman kepalan tangannya dengan penuh amarah.
# FLASHBACK ( 5 Months Ago) #
Tok...tok...tok
Siapa itu? Apakah Irene pulang?
Kulihat dari jendela, mobil sedan yang tidak aku kenali terparkir di depan rumah.
Hm... ya entahlah siapa, coba kutemui.
Kubuka pintu untuk seseorang yang menunggu di baliknya.
Di hadapanku kini berdiri wajah dingin seorang wanita yang sudah lama tidak pernah kulihat lagi.
"Wow, Amber Josephine Liu, apa kabarmu?"
Ia tidak menanggapi sapaan ramahku.
"Aku sudah lama tidak bertemu denganmu sedari SMA. Kau cantik juga sekarang" godaku berusaha menahan nafsuku melihatnya. Dia benar-benar cantik dengan rambut panjang dan tato di dadanya.
"Tidak usah basa-basi, rayuan itu sudah tidak mempan lagi untukku" geramnya tajam.
Tanpa kupersilakan masuk, Amber menyelinap masuk ke dalam dari celah lengang sambil menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan bengisnya. Aku tidak bisa menahannya masuk, karena tatapannya sungguh mengintimidasi.
"Uh, ada apa kau kemari?" aku benar-benar bingung dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
"Kau pasti bisa menebak kenapa aku kesini" ujarnya santai sambil meletakan map kulit di meja.
Aku menatapnya, mencari petunjuk dari ekpresi dinginnya. Tapi tidak menemukan apapun. Apa yang ia inginkan dariku? Atau ini ada kaitannya dengan insiden 5 tahun yang lalu di rumahnya?
"Uh, apa itu?" Tanyaku untuk meyakinkan tujuannya.
Ia mendengus, melemparkan tatapan merendahkan padaku.
"Yeah, pria bajingan sepertimu pasti lupa pernah meniduri siapa saja, jadi biar kubantu kau mengingatnya kembali. Kau pernah memperkosaku sepulang dari pesta kelulusan sekolah. Kau mengantarku pulang dan memaksaku untuk melakukannya"
Perkiraanku benar dan aku tidak terima dengan tuduhannya.
"Tunggu dulu! Aku? Memperkosamu? Kau yang menggodaku saat di bangku SMA. Kau mengejar-ngejarku. Kau juga yang minta aku antarkan pulang pada malam itu"
"Yeah, dan kau mengantarkanku sampai kamar lalu mengambil kesempatan bejat itu"
Aku tertawa menyeringai mendengar tuduhan konyolnya. "Kau mabuk, Amber! Jelas kau tidak sadar telah merayuku"
"Tidak!" Bentaknya membuatku terlonjak
"Masih teringat jelas di kepalaku saat aku bilang hentikan, aku bilang jangan, aku ulangi kata-kata itu berkali-kali dan kau malah tertawa seperti maniak saat memperkosaku."
"Aku tidak pernah memperkosa wanita manapun termasuk dirimu. Kau pun sangat mabuk dan kita melakukannya atas dasar suka sama suka"
"Aku menangis bahkan berusaha melawan, kau pasti masih ingat luka cakaran di pipimu itu."
Tiba-tiba saja aku ingin menyentuh pipi kananku saat ia mengatakan itu. Bekas luka yang aku tidak ingat dari mana asal luka itu. Ternyata ini perbuatannya.
"Yeah, aku yang memberikan bekas luka itu, bukti bekas perlawananku pada malam itu saat kau menahan bahuku. Kau tidak sadar dengan luka itu karena kau terus memperkosaku tanpa memperdulikan apapun"
Aku memutar bola mataku mendengar kisahnya. Padahal dia juga keenakan aku perkosa.
"Jangan munafik, aku tau kau juga menikmatinya, aku ingat sekarang, aku masih ingat desahanmu"
Amber maju berkacah pinggang seperti menantangku. Tapi tidak, ia bersikap mengintimidasi dengan menunjukan senjata yang tersemat dipinggangnya, bersampingan dengan lencana polisi di sabuknya.
Apa-apaan ini? Apa dia akan menembakku atau menjebloskanku ke penjara atas kejadian 5 tahun yang lalu? Apakah isi map itu surat penangkapanku?
"Apa yang kau inginkan, hm? Permintaan maaf dariku? Itu sudah 5 tahun yang lalu. Kau juga tiba-tiba menghilang dan kini kau muncul dihadapanku, mengatakan itu semua lalu mengancamku dengan senjatamu. Apa maumu Amber?"
"Aku mencari sekolah ke seluruh penjuru Daegu yang mau menerima anak tanpa nama ayah yang tertera di akta kelahiran. Sudah dua minggu aku memikirkan ini semua hanya untuk mendapatkan tanda tanganmu"
Apa katanya? Anak tanpa ayah? Apa maksudnya?
"Kenapa kau membutuhkan tanda tanganku?"
Wajahnya meringis menahan amarah "Karena setengah dari DNA-nya adalah milikmu!"
Apa? Itu artinya aku punya anak darinya? Jadi itu sebabnya ia menghilang dua bulan setelah kejadian malam itu.
"Mengejutkan bukan? Jika bukan karena tanda tangan pada secarik kertas yang harus kuminta dari laki-laki keparat yang memperkosaku 5 tahun yang lalu. Aku juga tidak mau mendatangimu. Aku tidak sudi melihat wajah bajinganmu lagi, melihatmu membuatku jijik. Tapi sayangnya aku harus melihat itu setiap hari pada putraku"
Jadi ia melahirkan seorang putra yang wajahnya mirip denganku?
"Dengar baik-baik, Aku tidak butuh maaf dan simpatimu, sudah 5 tahun aku merawatnya tanpamu. Setiap dia bertanya dimana ayahnya, aku selalu menjelaskan jika ayahnya seorang astronot yang baru akan tiba di bumi jika dia sudah dewasa karena adanya perbedaan tahun cahaya. Dia percaya itu. Dan kau mau tau dia bilang apa, hm? Dia ingin menjadi astronot biar bisa menjemput ayahnya. Dia begitu menyayangi ayahnya, menyayangimu bajingan sialan!"
Ia menjelaskannya dengan rahang terkunci dan berlinang air mata. Kini aku membayangkan sosok bocah laki-laki berumur 5 tahun yang katanya darah dagingku yang begitu mirip denganku. Tapi sulit di percaya jika itu memang anakku. Karena aku mabuk malam itu, akupun tidak ingat aku mengeluarkannya dimana karena ia terus meronta-ronta pada malam itu.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu jika itu anakku? Kita hanya melakukannya sekali. Kaupun sering nongkrong bareng tim basket laki-laki di SMA dulu. Atau seseorang yang berhasil kau rayu di geng motormu? Tapi...kudengar dari cowok-cowok di kelasku, kau kan lesbian murahan dari California"
Tiba-tiba aku ambruk. Aku tidak mengantisipasi pukulan mendadak itu. Aku terlalu kaget saat kepalan tangan itu menghantam pipiku. Aku terkejut tubuhku terpelanting mendarat di sofa akibat pukulan itu. Rasanya kepalaku berputar-putar saat mengangkat kepala, berusaha mendangak menatapnya yang menjulang penuh amarah.
"Dasar keparat! Melihatmu seperti ini, akupun tidak sudi namamu ada di akta anakku!" pekiknya saat aku merasakan kupingku berdenging. Tidak, kurasa itu suara kepalaku yang mengerang kesakitan.
Saat semuanya sunyi Aku tidak melihatnya berlalu melewati pintu, rasanya Amber seperti menghilang begitu saja. Aku pasti terlalu limbung akibat pukulan itu. Pukulannya seperti petinju, tidak heran dia seorang polisi.
# END OF FLASHBACK #
"Siapa tadi yang datang, Taehyung?" Suara Irene menyikirkan rasa nyeri akibat pukulan menyakitkan yang pernah kudapat dari seorang wanita.
"Polisi" jawabku enggan.
"Apa yang polisi lakukan malam-malam begini?" tanyanya belagak heran. Aku tau dia menyembunyikan sesuatu jika kulihat dari gelagat liciknya.
"Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa polisi datang ke rumah? Apa yang kau lakukan, hah?"
"Aku tidak melakukan apapun" jawabnya bergetar.
Kucengkeram lengannya saat ia mencoba menghindari pertanyaanku "Jangan bohong, sialan! Kau pasti melakukan sesuatu sampai polisi itu datang kemari"
"Sumpah aku tidak melakukan apapun"
Dia masih saja berbohong.
"Kau benar-benar sulit di percaya" geramku kesal sambil berjalan cepat menuju kamar.
Cukup sudah aku benar-benar akan meninggalkannya.
"Taehyung, kau mau kemana?", paniknya ketika melihatku memasukkan pakaianku ke dalam ransel.
"Aku mau pergi dan tidak akan kembali lagi. Jangan cari aku! Jangan coba-coba hubungin aku. Paham!" gertakku sambil menuding-nuding wajahnya.
"Ta-tapi...kau tidak boleh tinggalin aku. Aku mencintaimu, Taehyung. Jangan pergi." Lirihnya memohon, nyaris bersimpuh di kakiku.
Kudorong tubuhnya dengan kasar "Menyingkir dariku! Mulai detik ini kita pisah!"
"Tidak! Aku mohon. Aku mau lakuin apa saja yang kau mau, tolong jangan pergi, ya. Taehyung... TAEHYUNG...!" kudengar raungannya, tapi aku tetap pergi angkat kaki dari rumah itu.
Inlah titik dimana aku tidak bisa lagi bersamanya, karena kami hanya akan saling menyiksa satu sama lain.
Aku terus berjalan menyusuri trotoar sampai nyaris tengah malam dengan pikiran kusut memikirkan semua yang sudah terjadi antara aku dan Irene.
Kenapa aku tidak bisa mencintainya lagi? Dulu, dia aku anggap manis. Aku suka cewek manja, tapi Irene lama kelamaan makin keterlaluan. Mentang-mentang dia yang belikan ini-itu dan sekarang aku bingung, aku bingung mau tinggal di mana?
Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke stasiun TV TBC. Aku menunggu di halte seorang diri. Busnya tidak kunjung muncul karena sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba dari arah sebelah kiriku terdengar seseorang sedang memaki.
Di bawah temaram lampu, aku memicingkan mata melihat apa yang di lakukan orang itu. Kulihat seorang pria berjas, sedang menendang ban mobilnya. Kuhampiri dia.
"Ada masalah sama mobilnya?", tanyaku sopan.
"Ini lho. Bannya bocor. Brengsek banget! Mana bengkel 24 jam jauh dari sini. Fuck! Sial betul nasibku. Masa aku harus naik bus", terus saja dia ngomel seperti nenek-nenek.
"Ada ban serep sama dongkrak kan? Aku bisa bantu menggantinya", kutawarkan bantuanku.
"Kau mau membantuku mengganti ban ini?" Kelihatannya amarahnya langsung meredam.
"Tentu, aku pernah menjadi montir" jawabku percaya diri
Ia membuka bagasi belakang dan kuambil ban serep, dongkrak dan alat perkakas.
"Kau sedang menunggu bus ya? Mau kemana?" tanya ramah cowok itu, yang kalau diperhatikan dia pasti hidupnya berkecukupan. Lihat saja setelan dan mobilnya
"Aku mau ke gedung stasiun TV Taegu Broadcasting Corporation, tempat aku kerja", jawabku sambil sibuk mendongkrak mobilnya.
"Oh, kenalin aku Kim Jongin", ia mengulurkan tangannya, aku sambut ajakan bersalamannya.
"Kim Taehyung", balasku singkat. Karena tanganku sibuk mengganti bannya.
Selama aku mengganti bannya, kami berdua hanya terdiam. Aku juga tidak berusaha mengajaknya ngobrol. Aku bingung mau ngomong apa jika berhadapan dengan laki-laki asing. Ia juga kelihatannya pendiam.
"Nah sudah beres!"
"Whoa, cepat juga ya kerjamu. Kau cekatan" kulihat kekaguman di matanya atas hasil kerjaku.
"Yeah aku sudah melakukan itu mungkin ratusan kali" pamerku bangga.
Dering ponsel di sakuku membuat Jongin yang berdiri disampingku terlonjak. Kugumamkan kata maaf dan kulihat namanya. Irene lagi, Irene lagi. Kuabaikan telepon darinya dan langsung kumatikan ponselku dengan emosi.
"Brengsek!"
Lihat saja nanti akan kupatahkan simcard-ku biar cewek sialan itu tidak bisa menghubungiku lagi. Kubiarkan dia mati perlahan tanpa kehadiranku di sisinya. Kalau bisa jadi gila sekalian lalu di perkosa orang sampai mati, atau mati saja sekalian. Aku sudah tidak peduli.
Panas emosi membakarku sampai aku lupa jika ada orang lain di sisiku. Kurasakan sorot mata Jongin yang menatapku terkejut.
"Umm...maaf, kalau aku lancang. Kau lagi ada masalah sama seseorang, ya?"
"Menurutku itu bukan urusanmu", siapa dia? Baru juga kenal sudah mau tahu urusan pribadi orang.
Kulirik dia, sepertinya dia tersinggung. Padahal dia cuma tanya. Seharusnya aku gak usah segalak itu. Ini semua gara-gara cewek sialan itu.
"Ah, maafkan aku, Aku benar-benar lagi kalut dan bingung"
"Oh, ya, aku sudah melihatnya", ucapnya sambil tersenyum ramah.
Aku tidak menanggapi dan hanya tersenyum sambil menatap tanganku yang kotor.
"Sorry, tanganmu jadi kotor"
"Tidak masalah. Sudah beres kan, aku permisi dulu"
"Hei tunggu, bagaimana jika aku antarkan sampai kantormu?" tawarnya hati-hati.
Aku sebenarnya setengah hati harus ke sana karena besok Irene pasti mencariku disana. "Sebenarnya aku bingung mau kemana, aku bukan berkerja sungguhan di gedung itu, aku hanya pekerja serabutan di sana"
"Memangnya selama ini kau tinggal dimana?"
"Aku tinggal berdua dengan pacarku. Tapi sekarang kami sudah berpisah. Dan aku gak mau ketemu dia lagi, sudah cukup aku tidak ingin bersamanya lagi", tak kusangka aku bisa seterbuka ini dengan orang yang baru aku kenal.
"Jadi maksudmu, sekarang kau tidak punya tempat tinggal?"
Kujawab dengan mengangkat bahu.
"Kau bisa tinggal di apartement lamaku sementara waktu, jika kau mau"
Kuperhatikan ekspresinya saat ia menawariku tempat tinggal. Aku agak kaget dan tidak percaya hari gini ada orang baik yang menawari tempat tinggal, itu sama saja seperti memberikan kehidupan yang layak untuk orang lain. Aku coba berpikir-pikir tentang tawarannya, dan sedikit menilai negatif dari kebaikannya. Apa jangan-jangan dia gay dan naksir denganku?
Aku berpikir cukup lama, mataku menerawang, menimbang-nimbang tawarannya. Aku memang bisa tidur dimana saja, di halte pun aku jabanin, aku pernah sesusah itu sebelum bertemu Irene. Tapi saat ini memang yang kubutuhkan adalah tempat tinggal agar aku terbebas dari Irene.
"Ya, kalau kau mau", lanjutnya menunggu jawabanku.
Meski aku ragu, namun aku gak punya pilihan lain saat ini.
"Um..oke deh. Tapi bagaimana dengar bayarannya nanti?"
"Kau butuh pekerjaan tetap kalau begitu. Di kantorku kebetulan ada banyak lowongan staf kantor Zenith Suseong" tawarnya lagi.
Wah itu kan gedung tertinggi di Daegu.
"Tapi aku cuma lulusan SMA" jawabku jujur.
Wajahnya berubah bersimpati "Oh, mungkin kau bisa menjadi Office Boy di kantorku"
"Benarkah, kau menawariku pekerjaan?" Walau hanya OB aku sudah sangat senang ada yang menawariku pekerjaan. Dari dulu aku selalu berandai-andai bisa bekerja di gedung-gedung kantor pencakar langit.
"Tentu, besok langsung kerja bisa kan?"
"Bisa, bisa! Dan apa yang harus aku bawa untuk wawancara besok?" Aku yakin masih menyimpan CV- ku di folder dokumen di ponselku, mungkin harus aku revisi karena akan melamar di wilayah perkantoran.
"Hari ini sudah cukup wawancaranya, kau cekatan dan bisa berkerja apapun, aku butuh orang sepertimu di kantor. Menyingkirkan para OB pemalas"
"Terima kasih Kim Jongin" ucapku sambil membungkuk 90 derajat kepadanya.
"Tidak usah sampai begitu dan ngomong-ngomong panggil saja aku Kai. Ayo mari,"
Aku pun naik ke mobilnya menuju tempat tinggal baruku.
Kami sampai di tempat tinggal baruku, ini sudah lebih dari lumayan menurutku, ada perabot TV, kipas, ranjang, kulkas, kompor, sofa dan meja. Juga di fasilitasi kamar mandi dengan air hangat, lampu, penghangat ruangan yang semuanya masih berfungsi dengan baik. Terlebih tidak ada si nenek lampir. Senangnya aku terbebas darinya.
Selesai mengetes segala fasilitas di tempat tinggal baruku. Aku tidak lupa mengucap terima kasih atas semua yang ia berikan padaku. Sebuah tempat tinggal yang layak dengan harga miring dan tawaran pekerjaan. Aku berjanji akan berkerja dengan baik.
***
Ini hari pertamaku berkerja sebagai OB di kantor ternama. Ada perasaan bangga bisa kerja di suasana kantor. Dengan seragam OB yang masih kaku di tubuhku karena masih baru. Aku harus rajin biar orang-orang tau kalau aku adalah OB yang teladan dan cekatan.
Saat aku sedang mengelap pintu kaca ruangan Kai, kulihat Kai sedang meraba-raba bokong perempuan. Aku tidak bisa begitu jelas melihat perempuan berbalut blazer merah itu. Tampaknya kalau di lihat dari uraian rambut hitamnya, sepertinya cantik.
Jadi bos enak ya, bisa main perempuan seenaknya, tidak usah merayu cewek-cewek pasti sudah pada antri. Duh, kenapa aku jadi penguntit yang mau tau urusan orang?
Akhirnya aku bisa beristirahat sekarang. Cukup melelahkan juga melayani setiap ruangan dan permintaan atasan. Untungnya pengalaman berkerjaku cukup banyak, seperti membuat kopi misalnya. Tadi kopi buatanku di puji oleh bos, itu berkat pengalamanku pernah menjadi barista. Lalu tadi aku memperbaiki engsel pintu dan lemari pantry yang berdecit jika di buka. Tanpa harus memanggil tukang, aku bisa memperbaikinya karena aku pernah jadi kuli.
Kini aku berandai-andai bisa duduk di bangku atasan. Aku belum pernah duduk di bangku seperti itu, sepertinya empuk tidak bikin sakit pinggang.
Ah, sudahlah kebanyakan menghayal, air di dispenser habis, saatnya isi galon baru sebelum ada yang berteriak 'Air'.
"Kim Taehyung!" Seru suara familiar perempuan dari arah pintu pantry.