Axel tak henti hentinya mengomel pada setiap karyawannya. Menurutnya, semua pekerjaan yang mereka lakukan selalu salah. Padahal dia sendiri juga sering tidak fokus.
Sejak malam itu, sikap Axel berubah 180°. Dia jadi lebih dingin, sering marah marah dan juga sensitif terhadap hal hal sepele sehingga kini semua karyawannya menjuluki Axel dengan sebutan 'Singa pemarah'.
Brakk!!!!
Axel menggebrak mejanya dengan sangat keras. "Kau masih tidak mengerti ya? Sudah berapa kali kau memberiku proposal jelek seperti ini?" Katanya menunjuk sebuah kertas di hadapannya.
Karyawan tersebut hanya bisa menunduk serta mendengarkan ocehan Axel yang panjang.
"Sebaiknya cepat kau revisi ulang dan berikan padaku lusa nanti. Kau boleh keluar sekarang"
"B-baik" sahutnya kemudian pergi.
Selang beberapa menit, Willy muncul dari balik pintu. Dia berjalan sambil tersenyum kearah Axel. Sepupunya kini sedang kacau, dan ia tahu itu. Maka dari itu kedatangannya kesini adalah untuk menghiburnya.
"Aku sudah melakukan riset" ucap Willy duduk dikursi sofa, tak jauh dari tempat duduk Axel.
"Dia tunanganmu kan?" Tanya Willy yang sepertinya Axel enggan untuk menjawabnya.
Brakk!!
Pintu terbuka dengan cara di banting keras dibarengi Lilly yang muncul dari balik pintu tersebut.
"Hei Willy! Kau apakan mobilku sampai semuanya penyok dan lecet??" Tanya Lilly kesal
Suasana sangat kacau. Axel hanya bisa memijat kepalanya yang terasa pusing. Belum selesai dengan urusan Alice kemarin, kini ia harus mendengarkan masalah kedua orang ini. Segera ia mengambil salah satu kertas di depannya dan mulai mengerjakan sesuatu, yah sekedar mengalihkan suasana hati dan pikirannya untuk sesaat.
Brakk!!
Axel terkejut ketika Lilly menggebrak meja, sama persis yang ia lakukan tadi pada karyawannya. Sepertinya ini memang kebiasaan keluarga, keturunan dari tuan Rudolf--kakeknya Axel.
"Jadi kau pelakunya, huh?" Tanya Lilly menggeram. Urat di lehernya sampai muncul di permukaan sehingga menunjukkan garis garis yang sangat jelas.
"Apa?" Tanya Axel polos. Perlahan ia menoleh kearah Willy sesaat. Ia kaget melihat Willy yang sudah babak belur di seluruh mukanya, padahal ia hanya mengalihkan pandangannya beberapa menit. kemudian Axel kembali menoleh kearah Lilly dan melihat jiwa Lilly yang sedang terbakar api kemarahan.
Uh, ternyata jika wanita marah lebih mengerikan dari apapun.
"Apa yang kau lakuka....." ucapan Axel terhenti dan ia memori otaknya kembali mengingat suatu kejadian.
*FLASHBACK*
Axel berjalan dengan sempoyongan menerobos derasnya hujan. Sepulang dari pesta, ia mampir ke sebuah Bar dekat sana. Ia habiskan sekiranya 4 botol wine sendirian. Kini pengaruh minuman tersebut mulai mengambil alih dirinya.
Pikirannya bercampur aduk, kepalanya terasa berat. Dia tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Alice.
Apa didalam dirinya ia kekurangan sesuatu? Tidak. Axel adalah orang yang sangat sempurna. Ia tampan, kaya, cerdas, memiliki reputasi baik disemua kalangan. Bahkan para gadis mungkin akan mengantre untuknya.
Tapi mengapa??? Mengapa Alice justru lebih memilih pada pria bernama Robert Woods itu??? Memangnya dia punya kelebihan apa??
Itu yang sedang di pikirkan Axel sejak tadi.
Selama ini, semua yang dilakukan oleh Axel sangatlah tulus. Sayangnya ia tidak mendapatkan balasan yang setimpal.
Tin!!! tin!!!
Suara klakson terus terdengar di sepanjang jalan. Willy mengendarai mobilnya perlahan dibelakang Axel. Sesekali ia berteriak padanya agar mau naik mobil bersamanya.
Seolah tuli, Axel sama sekali tidak mengindahkan perkataan saudaranya. Hatinya masih merasa sakit dan ia belum bisa menerima itu.
Alasan kenapa Axel datang kepesta tadi karena beberapa jam yang lalu ia mendapat telepon dari Juliant. Ia memberitahukan bahwa Alice sedang menghadiri acara pesta malam bersama seorang pria. Alhasil, semua yang dikatakan Juliant benar. Prasangka buruk terhadap Alice selama ini pun juga benar. Jadi, mau bagaimana?
ARRRRGGGHHH!!!!!
Axel teriak sekencang kencangnya. Masa bodoh jika ia akan dipandang aneh oleh orang orang sekitar. Toh, ini sudah larut malam dan juga hujan, orang orang pasti tidak akan melihat jelas bagaimana wajahnya.
"Pssttt... kau gila Xel.. untuk apa kau teriak teriak seperti itu bodoh!" Pekik Willy. Ia langsung turun dari mobil dan menarik paksa tangan Axel agar ia mau menaiki mobil bersama.
"Kau tidak akan tau bagaimana rasanya dikhianati oleh seseorang yang kau sayang. Kau tidak akan pernah tau, bodoh!!!!" Amarah Axel lebih menggebu gebu dari sebelumnya. Ia menatap Willy dengan tatapan tajam andalannya. Matanya mulai memerah. Air mata yang turun bahkan sudah berbaur dengan air hujan yang mengguyur dirinya.
"Ya, tentu aku tau rasanya!! Aku sudah melewati berbagai hal juga Xel!! Ingat itu! Dan yang lebih parah lagi, bukan karena sebuah pasangan yang hancur karena orang ketiga!! Tetapi seorang teman seperjuangan yang rela membunuhmu demi uang dan kekuasaan!!!" Kini amarah Willy pun ikut naik. Dadanya naik turun, mengisi pasokan udara diparu parunya. Ia jadi ikut terbawa emosi dan tanpa disadari ia melimpahkan semua kekesalannya pada Axel.
"Ayo kita pulang" ucap Willy. Sebisa mungkin ia harus kembali menguasai dirinya. Mereka sama sama di pengaruhi alkohol, Axel sedang kacau dan jangan sampai dirinya juga ikut ikutan lepas kendali.
Dihempaskannya gengaman tangan Willy di pergelangan tangannya. Kemudian ia mengambil sebuah batu berukuran cukup besar dan melemparkannya ke arah kap mobil.
"persetan dengan itu semua.. aku tidak mau pulang!!!" teriak Axel diiringi dengan tawa.
'Sial!' Batin Willy yang langsung lari kearah mobil, mengecek kerusakan yang sepertinya akan menimbulkan kekacauan besar.
"Kau memang tidak bisa diajak berkompromi, saudaraku" kata Willy memandang Axel seolah ingin membunuhnya. Sedangkan Axel? Dia sibuk merancau dan menangis tidak jelas.
Tanpa basa basi lagi, Willy mendekat kearah Axel dan melayangkan punch andalannya hingga Axel tidak sadarkan diri.
"Begini lebih baik" kata Willy kemudian menggendong Axel, menaruhnya di kursi belakang.
*FLASHBACK END*
"Kurasa kau sudah mengingatnya?!!" Ucap Lilly membuyarkan lamunan Axel.
"A-akan aku jelaskan... t-tunggu.. Lilly, Tunggu" Axel gelisah karena Lilly sudah melakukan peregangan dan mengambil kuda kuda untuk menghajarnya.
"Akan aku perbaiki mobilmu, sementara kau bisa menggunakan milikku" Axel mengatakannya dalam satu nafas. Kalau tinju itu melayang di wajahnya, ia mungkin tidak akan selamat.
Ia bergegas mengambil kunci didalam lacinya. Namun sepertinya Lilly tidak puas dengan itu.
"Bukan yang ini... serahkan Mercy milikmu" kata Lilly
"T-tapi itu mobil kesayanganku, aku baru saja membelinya bulan lalu"
Mata Lilly melotot seperti ingin keluar dari tempatnya. Matanya memang menunjukkan kalau dia sedang marah tapi entah kenapa mulutnya malah tersenyum.
Bayangkan saja, pasti mengerikan.
"B-baik. . . .kau bisa mengambil kuncinya dirumah. T-tapi tolong hati hati saat memakainya ya?" Pinta Axel
* * * * *
"Aku tidak tau jika Lilly punya kekuatan seperti itu" kata Axel membantu mencarikan obat P3K di setiap laci ruangannya.
Sedangkan Willy terlihat meringis kesakitan ketika ia mengompres lebam di wajahnya menggunakan es batu.
"Aku sudah sering berkelahi. Tapi ini kali pertamaku dihajar sampai lemas. . . . Ini semua salahmu, bodoh!" Umpat Willy menatap sinis
"Maaf, aku tidak sengaja" sahut Axel sedikit merasa bersalah.
Seketika suasana menjadi hening. Baik Axel maupun Willy, keduanya nampak enggan untuk menanyakan pertanyaan yang mengganjal di pikiran mereka.
Disodorkannya kotak P3K didepan meja, tepatnya di hadapan Willy. Wajah Axel begitu lesu dari biasanya.
"Ya, kau benar. dia memang tunanganku. ." Kata Axel tiba tiba