"Dasar pria aneh!"
Kanzia menatap layar ponselnya. Membaca nama "Bapak Reynand" yang telah disimpan dalam menu kontak. Berkali-kali wanita itu mencoba menghubungi Reynand, tapi panggilannya tidak mendapatkan jawaban.
Kanzia menghela napas panjang. Ia heran karena telepon dan pesan chat yang ia kirimkan sejak kemarin hingga sekarang tidak digubris sama sekali. Padahal sangat jelas, kemarin si bos Pradipta Corp memberikan ia kartu nama jika ingin menghubunginya.
"Kalau tidak ingin dihubungi, mengapa memberikan kartu nama, sih?! Menambah beban pikiran saja! Apa aku yang berlebihan menanggapi kecelakaan kecil itu?" gerutunya lagi lalu terdiam. Bola matanya memutar, menatap hampir ke seluruh langit-langit ruang praktik. "Tidak, ah! Aku tidak berlebihan. Dasarnya saja pria sombong. Melihatku dengan pandangan meremehkan." Dokter cantik itu bertanya dan menjawab sendiri dengan pemikiran yang melintas dalam benaknya.
Helaan napasnya terdengar kembali. Kanzia melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul setengah lima. Jam praktiknya telah selesai sejak setengah jam yang lalu, tapi ia masih betah duduk di dalam ruangan itu.
"Aku tidak suka masalah ini menjadi berlarut-larut. Jika dia tidak suka dihubungi, aku yang akan datang ke Pradipta Corp untuk mencarinya," ucapnya lagi lalu beranjak pergi dari ruang praktik.
Jarak antara Asyraf Hospital—tempat Kanzia praktik dan gedung Pradipta cukup jauh. Memakan waktu setengah jam untuk tiba di perusahaan bergengsi itu.
Taksi yang ditumpangi oleh Kanzia melaju ke sebuah gedung mewah perkantoran yang menjulang tinggi di tengah-tengah ibu kota Jakarta. Menara Pradipta. Kantor pusat bisnis keluarga Pradipta.
Kanzia melirik jam tangannya. Pukul lima lewat sepuluh menit. Terlihat banyak karyawan yang berjalan keluar gedung, hendak pulang ke rumah.
"Ehm, jam pulang kantor. Apa dia masih ada?" gumam Kanzia kemudian keluar dari taksinya.
Dua orang resepsionis memandang bingung saat melihat Kanzia melangkah masuk ke lobi menara Pradipta. Pasalnya tidak ada seorang pun yang datang di jam pulang kantor. Bahkan mereka pun sedang bersiap-siap untuk pulang.
"Permisi! Nama saya Kanzia. Saya ingin bertemu dengan Bapak Reynand Alex Pradipta," ucap Kanzia di depan meja resepsionis.
Kedua resepsionis itu tidak langsung menjawab. Mereka malah memperhatikan Kanzia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Entah apa yang sedang keduanya pikirkan. Kanzia menyadari perlakuan itu, tapi ia tidak peduli karena tujuan utamanya adalah bertemu dengan Reynand.
"Maaf, Bu. Apa Anda sudah membuat janji?"
Mendengar pertanyaan resepsionis itu, Kanzia terdiam sesaat. Ia memang belum membuat janji dan mungkin saja ia akan diusir dari tempat itu.
"Ya, saya sudah membuat janji dengan beliau," jawabnya berbohong.
"Baiklah. Tunggu sebentar," sahut salah satu resepsionis itu. Dia mengangkat telepon, mencoba menghubungi direktur Pradipta.
Kanzia berdiri menunggu dengan tatapan lurus ke arah resepsionis resepsionis yang sedang menelepon. Ia tidak menyadari seorang wanita tua bersama asistennya sampai menghentikan langkah mereka di lobi karena mendengar Kanzia mencari Reynand. Keduanya memandang dengan cara yang sama seperti kedua resepsionis itu lakukan. Menatap bingung wanita cantik itu dari ujung rambut hingga kakinya.
"Selamat sore, Bu Aina." Sapaan resepsionis yang lain terdengar. Menujukannya pada Aina dan asistennya yang berdiri di dekat meja mereka.
"Sore," jawab wanita itu dingin.
Suara dingin Aina membuat Kanzia menoleh kepadanya. Kedua bola matanya melebar melihat seorang wanita tua yang terlihat anggun di dekatnya. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Reynand.
Siapa dia? batin Kanzia lalu memasang senyum manisnya.
Aina tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Kanzia. Ia heran melihat seorang wanita yang tidak ia kenal mencari sang putra.
"Sudah mau pulang, Bu?" sapa resepsionis itu sekali lagi kepada Aina.
"Ya," jawabnya singkat tanpa memalingkan wajahnya dari Kanzia. Ditatap seperti itu membuat Kanzia menjadi canggung. Ia menahan senyumnya lebih lama di hadapan Aina. "Ada urusan apa Nona mencari anak saya?" Tiba-tiba Aina bertanya dengan nada datar.
"Sa-saya ...." Aura dingin Aina yang menatap Kanzia membuatnya mendadak gugup.
"Pak Rey!"
Tiba-tiba resepsionis yang menyapa Aina memanggil Reynand dengan suaranya yang lantang. Kanzia sontak mengerling. Sosok yang ingin ia temui tengah berjalan ke arah mereka. Kanzia menganga melihat sosok itu. Reynand yang tampan terlihat mengenakan jaket kulit berwarna hitam di tubuhnya. Tangannya menenteng sebuah helm berwarna senada.
Aina dan sang asisten menoleh. Mendapati Reynand yang memasang wajah dingin. Ia masih kesal kepada sang ibu. Namun, ikut menghentikan langkah di dekat meja resepsionis.
"Pak Rey, wanita muda ini mencari Anda. Ia bilang sudah membuat janji. Maya mencoba menelepon, tapi tidak ada yang mengangkat," jelas resepsionis itu menoleh ke arah temannya yang langsung menaruh gagang teleponnya kembali saat melihat sosok yang dicari sudah hadir di dekat mereka.
"Ya, tidak apa-apa, Din," jawab Reynand. Pandangannya kemudian mengarah kepada Kanzia. Sekali lagi, Kanzia merasakan proses scaning pada dirinya. Reynand melihatnya dari atas hingga bawah.
"Kau kenal dengannya, Rey?" Aina tiba-tiba menoleh dan bertanya. Ia memang selalu ingin tahu apa yang terjadi kepada Reynand.
Reynand tidak menjawab pertanyaan Aina. Ia malah mengalihkan pembicaraan. "Mama sebaiknya pulang. Jangan campuri urusanku."
"Kau masih marah kepada Mama?"
Reynand menghela panjang napasnya. "Aku pergi, Ma!"
Pria itu langsung pamit tanpa basa-basi. Ia berjalan ke arah Kanzia. Tiba-tiba menggamit pergelangan tangan wanita itu. Dengan langkah cepat menarik paksa Kanzia tanpa berbicara sepatah kata pun.
Kanzia terkesiap mendapatkan perlakuan Reynand yang tiba-tiba. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. Wanita itu tidak bisa menolak tindakan itu dengan suaranya. Ditambah, ia tidak dapat memberontak untuk menarik lepas tangannya dari genggaman kuat Reynand. Terpaksa wanita itu mengikuti langkah gagah sang putra semata wayang keluarga Pradipta.
Kanzia sempat menoleh ke belakang. Keningnya mengernyit melihat air muka Aina yang tampak sedih menatap mereka pergi menjauh.
"Hei! Apa yang Anda lakukan? Lepaskan tangan saya!" teriak Kanzia saat Reynand tiba-tiba berhenti di pelataran parkir motor.
Reynand melepaskan tangan wanita itu. Ia membalik badannya. Menatap dengan sorot matanya yang tajam kepada Kanzia.
"Tidak menyerah juga, huh?" ucapnya sombong sambil berkacak pinggang.
"Apa yang salah? Saya hanya ingin mengganti semua biaya kerusakan," jawab Kanzia yang ikut berkacak pinggang kepada pria sombong di hadapannya.
Reynand menyeringai. Dengan nada mengejek, ia berkata, "Oh, sudah kaya raya rupanya."
"Anda sedang mengejek saya?" Kanzia menunjuk dirinya sendiri. Nada suaranya hampir meninggi. Ia berusaha untuk menahan emosinya.
Reynand terkekeh mendengar sahutan Kanzia. "Tenang saja, mobil itu saya asuransikan. Jadi tidak usah khawatir akan seluruh biayanya," ucap Reynand lagi. Ia masih meremehkan Kanzia yang dipandangnya tidak mampu mengeluarkan banyak uang untuk reparasi mobil mewahnya. Kanzia yang sedikit metal itu memang terlihat sangat sederhana di pertemuan ke dua mereka. Kanzia tidak seperti anak seorang pengusaha Berlin yang seharusnya terlihat mewah mencolok.
Kanzia mendengkus lalu menyeringai kesal. "Oh! Anda masih meremehkan saya rupanya."