Setelah mendengar perkataan bernada ancaman terlontar dari mulut Reynand, Freddy langsung bangkit dari duduknya membungkuk meminta maaf.
"Pak Rey, maafkan saya yang sudah lancang kepada kalian. Saya sungguh tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin menambah keakraban di antara saya dan pelanggan," ujar Freddy sedikit ketakutan, lalu menoleh pada Kanzia. "Maafkan atas ketidaksopanan saya, Nona!"
Kanzia hanya mengulas senyum kecilnya. Ia malas menanggapi ucapan pria tidak berarti di depannya. Sementara, Reynand terlihat menarik senyuman paksa, mendengus kesal.
"Ya sudah! Jangan sampai diulangi lagi, atau saya akan laporkan sikap Anda ini kepada Pak Wira!" sahutnya menyebut nama seorang pria yang ternyata adalah pemilik tempat itu. Freddy mengangguk, meminta maaf berkali-kali. Seketika menyesali perbuatannya.
Reynand bangkit berdiri. Melirikkan pandangan ke arah Kanzia. "Ayo pergi!"
Tanpa disangka, tangan Reynand terulur menggamit pergelangan tangan Kanzia. Wanita itu sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dan beranjak meninggalkan tempat itu.
Keluar dari ruangan itu, Reynand tiba-tiba melepas genggaman tangannya lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Kanzia di belakang. Begitu santai pria itu berjalan, tidak memedulikan Kanzia yang tiba-tiba menghentikan langkahnya karena kaget.
"Cih! Benar-benar .... Kupikir mengajakku pergi berjalan keluar bersama. Tahunya ...." Kanzia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Entah apa yang merasuki kepalanya. Kanzia malah sempat berpikir kalau Reynand akan terus menggandengnya hingga tiba di pelataran parkir. Namun pada kenyataannya tidak sama sekali. Mereka benar-benar berjalan terpisah.
Tanpa berbasa-basi lagi, Reynand menaiki jok motor besarnya, lalu mulai memasukkan jari jemarinya ke dalam sepasang sarung tangan kulit. Kanzia mengerjapkan matanya beberapa kali tidak percaya. Perilaku pria di depannya benar-benar minus. Tidak ada kata-kata lain yang terucap dari mulut Reynand.
"Ada apa lagi?" Reynand mengangkat wajahnya, menatap Kanzia yang melihatnya ragu.
Kanzia menghela napas panjang. Walau mengetahui, perilaku minus pria di depannya, Kanzia tidak ingin dicap sebagai wanita yang tidak tahu terima kasih. Ya, setidaknya Reynand telah membela ia di depan pria bernama Freddy tadi.
"Terima kasih karena tadi telah membela saya."
Reynand menyeringai miring, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Saya tidak membela. Pak Freddy memang sudah keterlaluan dan membuat saya kesal."
Jawaban Reynand sontak membuat Kanzia mendengkus gusar. Tiba-tiba ia menyesal berterima kasih. Pria di depannya tidak bisa mengatakan hal yang baik untuknya.
"Tapi—"
Belum sempat Kanzia meneruskan kalimatnya, Reynand tiba-tiba memotongnya, "Masalah uang itu, asisten saya akan menghubungi Anda nanti."
Ucapan Reynand makin membuat napas Kanzia tertahan karena kesal. Ia kembali menghela panjang lalu mengangguk terpaksa. Reynand meraih helm fullface-nya dan memakainya.
"Ehm, rasanya tidak enak jika kau terus memanggilku tanpa nama. Namaku Kanzia. Kau bisa memanggilku Zia," ujar Kanzia tiba-tiba memperkenalkan dirinya. Ia mengubah gaya berbicaranya lebih santai di depan Reynand.
Reynand menganggukkan kepala. Disambutnya telapak tangan kurus di depannya. "Baiklah, Zia. Namaku seperti yang kau tahu adalah—"
"Reynand!" Kanzia balas memotong ucapan Reynand.
Reynand mengangguk. "Iya, dan jangan sekalipun memanggilku dengan sebutan Om!"
Kanzia menyengir sedikit. Teringat akan pertemuannya waktu itu. Saat itu ia sangat gugup melihat pria berjenggot halus yang marah kepadanya.
Melihat ekspresi Kanzia, Reynand menatap jengah. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, boleh aku memberimu saran?"
"Ya?" Kening wanita itu mengernyit.
Reynand menaikkan sebelah alisnya, menatap wanita di depannya dari ujung kaki hingga kepala. Kanzia yang memakai kaus oblong berwarna putih polos berpadu dengan jins panjang sontak menunduk melihat badannya mengikuti arahan bola mata Reynand yang menyorotinya.
"Sebaiknya kau mengubah gaya berpakaianmu yang cuek itu. Wanita itu harus anggun, imut, dan menarik agar tidak bisa dipandang sebelah mata."
Deg!
Kanzia yang mendengar perkataan Reynand hampir menautkan kedua alisnya. Netranya mendelik menyiratkan rasa keberatan karena Reynand kembali mengusik penampilannya seperti saat pertama bertemu.
"Hei! Kau tidak ada urusan mengatur gaya berpakaianku, Rey!" sahut Kanzia begitu kesal.
"Hanya sekadar saran." Senyum kecil Reynand mengembang. Tampaknya ia tidak peduli membuat wanita di dekatnya kesal. Tanpa berbasa-basi lagi, Reynand menancap gas, melesatkan motor besarnya meninggalkan Kanzia sendirian.
"Argh! Dasar pria menyebalkan!" umpat Kanzia seraya menendangkan kakinya bebas ke udara.
***
Malam yang hening, kala Kanzia turun dari taksi online-nya. Ia membeliak melihat sebuah mobil MPV mewah terparkir di pinggir jalan tepat depan gerbang rumahnya. Wanita itu kenal betul dengan mobil itu. Mobil sang Ayah.
Tiba-tiba pintu mobil MPV terbuka. Seorang pria tua dan seorang pria berbadan tegap keluar dari sana. Berjalan menghampiri Kanzia yang belum juga beranjak walau taksi online-nya sudah pergi dari sana.
"Ayah! Kak Jimmy!"
Nada suara Kanzia yang terdengar bersemangat membuat kedua pria itu tersenyum manis. Kanzia hampir berlari untuk memeluk, tapi diurungkannya niat itu. Rasa gengsi berhadapan dengan mereka membuatnya tetap diam di tempat.
Adam Winata Berlin—Ayah Kanzia langsung menghambur memeluk putri bungsunya. "Zia, Ayah kangen sekali," ucapnya lirih. Adam tidak memedulikan dirinya yang sangat lelah karena harus menempuh perjalanan jauh. Dieratkannya pelukan itu hingga Kanzia hampir kehabisan napas.
"Ayah, pelukanmu sangat kuat! Aku tidak bisa bernapas," protes Kanzia.
Mendengarnya, Adam langsung mengurai pelukan. Dia tersenyum senang sekali. "Ayah terlalu senang bertemu denganmu, Nak," kata pria tua itu lagi.
Kumisnya yang lebat dan matanya yang sedikit sipit adalah wajah yang sangat Kanzia rindukan. Kanzia menggeleng pelan. "Sebenarnya aku pun sangat merindukan Ayah. Maafkan tindak tanduk seenaknya yang kulakukan selama ini hingga membuat Ayah kerepotan. Namun sungguh, aku hanya ingin menggapai impianku di sini."
"Iya, Nak. Ayah sangat mengerti." Adam mengangguk seraya menepuk bahu Kanzia lembut.
Jimmy tampak tersenyum senang melihat pertemuan mengharukan di antara ayah dan anak itu. Yah, walaupun ia tahu sang ayah sempat bertemu Kanzia beberapa bulan lalu, tapi kali ini keduanya terlihat sudah menurunkan egonya masing-masing.
Kanzia mengerling ke arah Jimmy. Dia menghambur memeluknya. "Aku kangen Kak Jimmy," ucapnya manja.
"Begitupun Kakak, Zi. Mengapa kau pulang begitu larut?" tanya Jimmy saat melirik arlojinya. Pukul delapan malam.
Kanzia seketika memutar bola matanya, mencari alasan yang bisa ia katakan kepada sang kakak. Sedetik kemudian, ia mengurai pelukan dan menjawab pertanyaan itu.
"Ehm, aku tadi longshift karena ada dokter yang tidak masuk. Jadi mau tidak mau harus menggantikannya."
Kanzia tidak berbohong. Nayara memang absen hari ini. Hanya saja, Kanzia pulang telat karena harus menemui Reynand di kantornya.
"Apa Gathan tidak menjemputmu?" Kening Jimmy mengernyit.
"Hari ini ada acara pembukaan restoran baru di luar kota. Jadi, Kak Gathan bilang tidak bisa mengantar dan menjemputku." Kanzia menjelaskan.
Jimmy mengangguk mengerti. Sementara, Adam tampak tidak berkomentar. Ia memang tidak terlalu tertarik dengan usaha kuliner anaknya yang baru berkembang itu. Bagi Adam, bisnis yang ia bangun adalah yang terbaik meski keempat anak laki-lakinya menyandang nama Berlin di belakang nama mereka.