"Apa Ayah yakin untuk melanjutkan rencana Ayah itu?" Jimmy menoleh ke sampingnya. Memperlihatkan air muka tidak yakin dengan rencana sang Ayah yang sebenarnya tidak ia setujui.
Anak tertua keluarga Berlin itu sedang berada di dalam mobil bersama Adam. Mereka dalam perjalanan pulang menuju rumah dinas Berlin Corp setelah mampir sebentar di rumah kontrakan sederhana Kanzia.
"Iya. Jika Kanzia bisa memilih untuk menggapai cita-cita semaunya tanpa memedulikan keinginan Ayah, kali ini dia harus menuruti apa yang Ayah inginkan. Khususnya siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak. Ayah tidak mau dia salah pilih. Apalagi dengan pemilik kontrakan kecil itu. Apa kata kolega Ayah nantinya?" Adam terdengar sangat yakin dengan pendapatnya. Menatap sang putra begitu mantap.
"Ayah, Zia sendiri 'kan sudah bilang kalau ia hanya berteman dengan pria bernama Farhan itu," sahut Jimmy membela Kanzia.
"Ya, untung saja. Mereka tidak ada hubungan spesial. Tapi Ayah harus terus berhati-hati. Cinta bisa datang secara tiba-tiba, bukan?" Alis hitam dihiasi bulu putih Adam terangkat. Pria tua itu begitu yakin dengan rencananya.
"Ehm, terserah Ayah saja. Siapapun orang yang Ayah pilih, Kanzia memang harus menerimanya," pungkas Jimmy menutup pembicaraan.
Mobil MPV mewah itu terus melaju dengan kecepatan sedang diselimuti kegelapan malam kota Jakarta. Pasangan Ayah dan anak tertuanya terus berbincang mengenai rencana mereka.
***
Dua hari kemudian ....
"Haish! Lama sekali!" gerutu Aina yang menunggu Reynand di lobi The Green Beauty Lake Apartement. Zaki yang berdiri di sampingnya menggeleng pelan, tidak berkomentar.
Aina berkali-kali melirik arloji mewahnya dengan tatapan gusar. Dan berkali-kali pula ia mencoba menelepon, tapi hanya dijawab satu kali oleh putranya. Itu pun dengan suara serak khas bangun tidur setengah jam yang lalu.
Pagi ini adalah akhir pekan. Aina mengajak Reynand untuk menjemput tiga anggota keluarganya dari Malaysia yang akan tiba di Indonesia. Ibu kandung, sang adik, serta keponakannya.
Melihat tampang gusar sang majikan, sopir pribadi Aina itu bertanya, "Apa perlu saya jemput Mas Rey di apartemennya, Bu?"
"Tidak usah. Saya juga bisa kalau begitu! Tapi 'kan situasinya berbeda," jawabnya seraya mencebik lalu melemparkan pandangan malu-malunya ke sembarang titik, "mungkin saja dia masih kesal dengan kejadian tempo hari. Dan yang terpenting, dia sudah menjawab telepon saya," ucap Aina lagi menghela napasnya begitu berat. Wanita itu terlalu gengsi untuk mendatangi apartemen putranya sendiri karena hubungan mereka yang tidak baik akhir-akhir ini.
"Baik, Bu." Zaki mengangguk saja meski dalam hatinya ia ikut menggerutu mengenai hubungan ibu dan anak yang seperti hubungan pertemanan anak kecil. Bertengkar dan berbaikan. Begitu terus hingga matahari terbit di barat. Meski sama-sama gengsi, sebenarnya mereka saling menyayangi.
Ting!
Pintu lift terbuka. Sosok gagah berpakaian kasual keluar dari dalamnya. Reynand yang mengenakan setelan hitam putih dibalut jaket santai melihat sekeliling, mencari ibunya. Segera setelah melihat Aina duduk dengan air muka tidak enak dipandang, ia pun berjalan menghampiri.
"Sudah lama, Ma?" tanyanya datar tanpa rasa dosa karena membuat orang tuanya menunggu lama.
Aina memasang wajah dingin. "Lama sekali? Luluran dulu, ya? Haish!" sahut sang Mama dengan mata memicing tajam.
Reynand hanya tersenyum kecil. Ia tidak mengiyakan atau membantah. Tidak tampak air muka kesal seperti dua malam sebelumnya. Sepertinya, pria itu sudah memaafkan ibu kandungnya.
"Memangnya jam berapa pesawatnya landing?"
"Satu jam lagi!" Aina mendelik kesal.
"Oh." Reynand manggut-manggut santai.
"Kalau saja mobilmu tidak masuk bengkel, Mama tidak akan susah menjemputmu. Ada-ada saja sih, Rey." Aina menggelengkan kepalanya. "Padahal di rumah ada mobil yang lain yang bisa kau pakai," tambahnya.
"Sudah deh, Ma. Tidak usah membesar-besarkan masalah. Sebentar lagi juga mobilku selesai diperbaiki. Lagipula, untuk apa aku ikut menjemput Nenek dan Tante Nova?" sahutnya malas-malasan.
"Eh, jangan seperti itu! Kita ini keluarga satu-satunya. Apa kau tidak merindukan mereka?"
"Sedikit. Indira dan Daniel mana?"
"Tidak ikut. Ayah Daniel sedang sakit. Mereka hari ini pergi menjenguk ke rumah sakit."
"Oh ...." Reynand manggut-manggut mengerti. Namun beberapa saat kemudian mengulas senyum kecil, mengalihkan pembicaraan, "Mama lihat saja, Nenek pasti akan meminjamkanku uang yang kubutuhkan."
"Mimpi saja kau! Sudah lupakan saja perbantuanmu untuk si Wisnu. Sebagai teman yang baik seharusnya ia tidak menyusahkanmu, Rey." Aina menunjukkan air muka tidak suka. Sepanjang jalan menuju pelataran parkir wanita itu terus saja mengoceh. Reynand yang tidak peduli hanya diam manggut-manggut.
Itu 'kan Mama. Kalau Nenek pasti berbeda, ucapnya membela diri dalam hati.
Perjalanan menuju bandara menghabiskan waktu selama empat puluh menit. Mereka pun sudah berada di terminal tiga kedatangan luar negeri. Menunggu tiga orang anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu.
Aina mengangkat wajahnya, menatap serius Reynand yang berdiri dengan tinggi menjulang melebihi tingginya sebanyak dua puluh sentimeter. Sepertinya bagi Aina ada saja yang salah dalam pandangannya. Wajah tampan sang putra masih terlihat tidak terawat.
"Aih! Mama baru sadar. Jenggot dan kumis itu kenapa tidak dicukur sih, Rey? Kau terlihat tidak bagus dengan bulu-bulu pada wajahmu."
Reynand hanya mengulas setengah senyumnya. "Baru sadar, Ma? Bagus 'kan penampilanku?" Pria itu memainkan sebelah alisnya naik turun.
"Apa yang bagus? Seperti om-om saja!" sahut Aina seraya melipat kedua tangannya di dada.
"Suka-suka aku, dong!"
Aina tidak menanggapi lagi perkataan sang putra. Netranya berkeliling mencari ibu dan adiknya. Ia melirik arlojinya yang menunjukkan waktu tepat pukul sembilan. Seharusnya mereka sudah mendarat saat ini.
"Kakak! Tante!"
Terdengar suara seorang gadis yang memanggil. Suaranya begitu nyaring di telinga Aina dan Reynand. Keduanya sontak mengarahkan pandangan mencari asal suara. Seorang gadis berusia delapan belas tahun tampak berlari-lari kecil seraya melambaikan tangan menghampiri mereka. Di belakang gadis itu dua orang perempuan berjalan mengekornya. Erika-ibu kandung Aina tampak lincah berjalan di samping putri keduanya-Nova.
Reynand dan Aina memasang senyum mereka sambil membalas lambaian tangan gadis itu. Mishel dalam waktu kurang dari semenit sudah berdiri setengah merunduk di depan Tante dan kakak sepupunya. Napasnya terdengar terengah-engah. Gadis itu tidak sanggup melangkah lagi, padahal ia ingin sekali memeluk kakak sepupunya yang tampan. Reynand dan Aina menggelengkan kepala mereka melihat tingkah gadis remaja itu.
"Aduh Mishel! Makanya jangan lari-lari! Seperti anak kecil saja!" tegur Erika saat ia sudah berdiri di dekatnya.
"Biarkan saja, Ma. Mungkin dia sangat merindukan kami," sahut Aina mengulas senyumnya, lalu memeluk Erika, "apa kabar, Ma?"
"Baik, Aina. Kau bagaimana?" tanya Erika membalas senyumnya.
Aina melepaskan pelukannya. "Baik, Ma. Baik sekali."
Erika manggut-manggut. Reynand yang berdiri di dekat Erika kemudian bergantian memeluknya. "Nenek pasti capek."
"Lumayan. Bagaimana kabarmu, Rey?"
"Seperti Mama, kabarku baik sekali." Reynand memberikan senyumnya yang paling tulus. Meski keadaannya tidak sebaik apa yang ia akui saat ini, sang nenek tidak boleh tahu mengenai hal itu.
"Benarkah?" Dalam sekejap senyum Erika sirna. Ia menatap curiga kepada Reynand, "dari wajahmu, kelihatannya kau sedang tidak baik-baik saja cucuku."