"Ayo, Yah, Kak, kita masuk ke dalam!"
Kanzia menarik tangan sang ayah, mengajaknya ke dalam rumah kontrakan. Adam mengikutinya dengan langkah tergopoh. Putri satu-satunya itu sangat lincah. Jimmy tersenyum, lalu mengekor langkah mereka dari belakang.
Adam dan Jimmy mengempaskan tubuh mereka pada sofa minimalis ruang tamu. Kanzia yang riang terus tersenyum kepada mereka.
"Tunggu sebentar! Aku akan mengambilkan kalian minuman," katanya, kemudian masuk ke dapur.
Tidak lama, wanita itu membawakan keduanya dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. Adam dan Jimmy pun menyesapnya hingga hampir tandas.
"Chamomile," komentar sang ayah menaikkan sebelah alisnya.
"Iya, dong. Aku ingat bagaimana Ayah sangat suka teh chamomile. Kebetulan Kak Han memberikannya beberapa waktu lalu sebagai oleh-oleh dari luar kota."
"Kak Han? Pemilik kontrakanmu ini?" tanya Adam.
"Iya. Sebenarnya dia bernama Farhan, tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Kak Han." Kanzia manggut-manggut.
Adam sontak melirik Jimmy. Anak pertamanya itu balas mengangkat sebelah alisnya mendapat lirikan Adam. Entah komunikasi macam apa yang sedang mereka lakukan. Yang pasti, Kanzia tidak cukup peka untuk bisa mengartikannya.
"Kamu menyukai pria itu?" Tiba-tiba Adam bertanya hal yang sontak membuat Kanzia menyanggah dengan gelengan kepalanya.
"Tidak, Ayah! Kak Han memang baik, tapi aku dan dia hanya berteman saja," sahut Kanzia.
"Syukurlah." Adam manggut-manggut.
"Ada apa?" Kanzia menatap sang ayah begitu heran. Sahutan sang ayah cukup mencurigakan baginya.
Tiba-tiba saja, Adam bangkit dari sofa. "Zia, Ayah dan kakakmu pulang dulu ke rumah dinas. Besok kami akan ke sini lagi setelah urusan bisnis selesai."
"Ayah dan Kak Jimmy sudah akan pergi? Cepat sekali." Kanzia begitu terkejut. Cepat sekali keduanya berpamitan. Wanita itu pun ikut bangkit dari duduknya.
"Iya, Zia. Tenang saja, Kakak dan Ayah masih berada di kota ini sampai urusan kami selesai," tambah Jimmy menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, kalau itu memang rencana kalian. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Ayah dan Kak Jimmy," timpal Kanzia mengulas senyumnya.
Adam dan Jimmy balas tersenyum. Keduanya pun memeluk Kanzia bergantian sebelum akhirnya meninggalkan rumah kontrakan yang sederhana itu.
***
Reynand baru saja memasuki pelataran parkir apartemennya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat itu. Matanya mengerling, terkesiap melihat sebuah mobil sedan hitam mewah terparkir di sana.
"Mama," lirihnya yang langsung mengenali mobil itu. Namun Zaki-sopir Aina tidak tampak di dalamnya.
Pria itu pun melanjutkan langkah memasuki lift menuju unit apartemennya. Benar saja, Zaki berdiri di depan pintu utama unit apartmennya. Reynand berjalan menghampiri pria separuh baya itu.
"Sudah lama, Pak?" tanyanya.
"Iya, Pak Rey. Ibu sudah menunggu Anda di dalam sejak tadi," jawabnya seraya menunjuk pintu utama Reynand dengan ibu jarinya.
Reynand mengangguk mengerti. Setelah kesalahpahaman tempo hari, tampaknya Aina telah menghapal pasword pintu apartemennya hingga bisa masuk dengan bebas. Reynand menghela napas panjang, lalu menekan pasword pintu apartemennya yang merupakan tanggal lahirnya sendiri. Pintu itu pun terbuka.
Reynand tidak terkejut saat melihat Aina yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Sinar matanya menyoroti ia dengan tajam dari ujung rambut hingga kakinya. Wanita itu dengan cepat bangkit berdiri. Kedua tangannya bersendekap di dada.
"Dari mana saja, Nak? Mama sudah menunggu hampir dua jam di sini, tapi kau baru tiba di apartemenmu jam setengah delapan malam," ucapnya mulai dengan pertanyaan sebagai bentuk interogasi pertama.
Reynand tidak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada dua bungkus makanan yang berada di atas meja ruang tamu. Pria itu sontak mengalihkan pembicaraan.
"Aku lapar," katanya segera menaruh helm-nya sembarangan lalu duduk di sofa terpisah.
Tidak lama, jari jemarinya sibuk membuka salah satu menu kesukaan dari dalam bungkusnya. Dua puluh potong sushi yang sengaja dibawa Aina saat memasuki apartemen sang putra.
"Siapa wanita tadi, Rey?" Pertanyaan Aina menandai interogasinya yang ke dua. Aina yang tadinya berdiri, kemudian duduk kembali menemani Reynand.
Reynand yang sedang mengunyah sushinya tidak menjawab. Dia mengambil salah satunya dan menyuapi sang Mama secara mendadak. "Enak loh, Ma! Makan dulu. Nanti saja bicaranya," ucapnya sembari tersenyum.
Aina terpaksa memakan sushi yang terlanjur masuk ke dalam mulut. Dia menarik segaris senyum melihat Reynand yang memakan makanan mentah itu dengan lahap.
"Lain kali Mama akan membuatkannya untukmu," katanya.
Ucapan Aina sontak membuat Reynand berhenti mengunyah. Dia tidak menyangka Aina akan berkata seperti itu. Sudah lama sekali pria itu tidak memakan makanan buatan Aina karena ibu kandungnya itu memang sangat sibuk. Jika menginap di rumah Aina pun, masakan Bik Marni-lah yang selalu tersedia di atas meja makan.
"Tidak usah, Ma. Aku tahu Mama sibuk," ucap Reynand melanjutkan makannya.
"Tidak, Nak. Sudah lama sekali, 'kan?" sahut Aina retoris.
Reynand tidak menyahut. Ia terus memakan sushi di hadapannya seperti manusia kelaparan. Sangat menyenangkan bagi seorang ibu kandung melihat putranya makan dengan lahap. Ia sedikit menyesal telah bertengkar dengan Reynand tadi siang.
"Maafkan Mama karena hari ini membuatmu kesal," jawab Aina merendahkan nada bicaranya.
Reynand terus-terusan menghela napas panjang. Sadar kalau pembicaraan mereka kali ini tertuju pada pertengkaran mereka tadi siang. Dua-duanya memiliki ego yang tinggi dan tidak ada satu pun yang mengalah.
"Aku akan memaafkan, jika Mama tidak berpikir macam-macam lagi kepadaku. Aku masih normal. Tidak mungkin suka atau memiliki hubungan dengan Farhan."
"Ya, Mama percaya. Namun yang membuat Mama tidak habis pikir, dari Sheryl ke wanita tadi ...." Aina terlihat menggelengkan kepalanya lalu terdiam sejenak. "Rey, yang benar saja?! Mama tahu, wanita tadi bukanlah tipe wanita idamanmu."
Tiba-tiba saja wanita tua itu menekankan kalimat "bukanlah tipe wanita idaman Reynand" kepadanya, seakan tahu perasaan apa yang putranya rasakan kepada seluruh wanita, termasuk wanita cantik yang datang ke kantornya tadi sore. Reynand yang mendengarnya sontak terdiam, lalu menaruh sumpit yang ia pegang ke atas meja.
"Aku sudah kenyang," ucapnya singkat lalu bangkit berdiri. Aina yang melihat tingkah Reynand seketika mendongak, menatap Reynand yang memiliki tinggi menjulang di depannya. "Aku mandi dulu, Ma. Kalau Mama masih ingin di sini tidak apa-apa. Tapi, malam ini aku sangat lelah dan ingin segera beristirahat."
"Rey ...," lirih Aina.
"Aku lelah jika Mama hanya ingin membicarakan tentang para wanita di sekitarku. Sudah kukatakan berkali-kali. Berhenti ikut campur mengenai hal itu, Ma. Sudah cukup rasanya ...." Reynand tidak meneruskan perkataannya. Suaranya terdengar sangat tertekan. Tanpa kata-kata, ia pun beranjak pergi meninggalkan Aina.
Wanita tua itu mengelus pelan dadanya. Rasanya, ia semakin sulit dan jauh dari sang putra. Padahal Aina hanya ingin Reynand mendapatkan yang terbaik menurutnya. Ya, yang terbaik menurutnya, bukan menurut putranya sendiri. Tidak lama setelah Reynand pergi, Aina bangkit dari duduknya meninggalkan apartemen Reynand.