"Kalian, sedang apa? Berisik sekali!"
Teguran ketua kelas mengakhiri perseteruan kami, atau lebih tepatnya, suara ketua kelas mengalihkan perhatian para gadis bar-bar ini.
"Oh, Do Kang. Bukan apa-apa, kami hanya sedang berdiskusi."
Berdiskusi katanya. Apa dia itu gak tau apa yang dinamakan diskusi? Jelas-jelas mereka itu menggangguku.
Hahh ... sudahlah, lupakan saja. Bukankah mereka memang selalu begitu? Selalu berusaha tampil baik di depan ketua kelas, di depan Hwangwoon—teman sekelasku yang merupakan ulzzang. Dan juga di depan Soya si keturunan ningrat. Bisa dibilang mereka ini manusia CAPER tepatnya.
Aku meraih tasku, hendak pergi ketika ketua kelas menahanku.
"Hey, Bi. Professor Kwak memanggilmu."
"Kenapa?" Tanyaku. Ada sebersit kegelisahan dalam diriku. Semester kemarin aku sudah mengulang mata kuliahnya, apakah semester ini aku juga mengulang mata kuliahnya? Ahhh, benar-benar sial kalau sampai memang itu alasan Professor Kwak memanggilku.
"Entahlah. Kalau mau tahu temui saja, Professor Kwak ada di ruang tata usaha."
"Baiklah."
Meskipun gelisah tapi, ada bagusnya juga aku dipanggil oleh Professor Kwak, jadinya tidak harus berurusan dengan para gadis bar-bar ini yang kerjaannya hanya mengganggu.
Dengan napas yang berembus berat, aku memasuki ruang tata usaha. Di sana Professor Kwak sedang duduk di samping pak Gong Song Won, kepala staff tata usaha. Melihat mereka berdua, aku sudah yakin bahwa alasan Professor Kwak memanggilku pastilah karena aku harus mengulang mata kuliahnya lagi. Bukan tanpa alasan, Professor Kwak memang selalu memberitahu hal yang tidak mengenakkan padaku tiap kali dia bersama dengan pak Gong.
"Permisi, Prof."
Beliau menoleh. "Oh, Baek Bi sudah datang rupanya. Kemarilah." Dia menepuk kursi kosong di samping kirinya—pak Gong berada di samping kanannya.
Aku mengindahkan perkataannya, duduk di sampingnya. Seraya berkata, "ada apa, Prof? Apakah nilai saya jelek lagi? Saya harus mengulang mata kuliah anda lagi?" Lirihku. Jika benar-benar harus mengulang, maka ini akan menjadi yang ketiga kalinya.
Arghhh, kenapa mata kuliah Professor Kwak sulit sekali—mata kuliah kalkulus differensial.
Professor Kwak nampak tersentak. "E-ehh, bukan begitu. Nilaimu sampai pertengahan semester ini aman-aman saja kok."
Dan akupun ikut tersentak, "nilaiku? Aman-aman saja? Serius?"
"Iya. Serius."
"Lalu kenapa Professor memanggil saya?"
Professor Kwak melempar pandangannya pada pak Gong, dan itu membuatku ikut menoleh pada pak Gong yang terlihat lebih tua dari Professor Kwak tapi, ternyata umurnya lebih muda.
"Begini, Bi. Baru-baru ini kami mendengar kabar bahwa kau adalah anak dari Professor Baek Eun Kang, apa itu benar?" Tanya pak Gong, dan itu membuatku tercengang.
Sial sekali! Bagaimana bisa ketahuan? Bisakah aku berbohong saja? Aku ... sungguh tidak ingin membahas siapapun di keluargaku pada orang lain.
♤♧♤
Part 2
BAEK BI: Do Re Mi Fa Sol La Si Do
[Hidup bagaikan tangga nada yang perlahan naik, dan perlahan turun]
"Serius? Baek Bi? Dia adik dari Baek Moon si pianis terkenal itu? Wahhhh itu berarti dia adalah anak dari Professor terkenal itu, 'kan? Astaga benar-benar enggak terduga ya, padahal Baek Bi itu biasa banget."
"Iya, 'kan? Aku juga berpikir begitu. Kalau enggak ada berita ini, pasti aku enggak akan tahu kalau dia anak dari keluarga hebat seperti itu."
Saat itu ...
Di mulai dari gerbang sekolah sampai ke kelasku, omongan-omongan itulah yang sering kali kudengar, setiap hari, selama tiga tahunku di SMA. Kesal? Tidak! Hanya saja aku merasa menjadi amat rendah diri, dan membuatku sering kali menyalahi tuhan.
Kenapa daya tangkapku pada pelajaran standar saja? Tidak seperti ayahku yang berhasil menjadi professor di usia awal 30 tahun. Kenapa aku tidak punya keahlian sama sekali? Seperti kakakku yang disebut sebagai pianis jenius. Kenapa aku tidak memiliki karisma yang membuatku setidaknya dihormati? Seperti ibuku yang mampu memimpin sebuah perusahaan besar. Aku tidak begitu cantik ataupun jelek, aku tidak pintar ataupun bodoh, dan aku tidak hebat ataupun pecundang. Aku ... benar-benar human of ordinary.
Dan sekarang ...
Aku benar-benar ingin berbohong. Bolehkah?
"Jika benar, maka bisakah kau meminta pada ayahmu untuk mengisi kuliah umum di sini? Kami sudah berkali-kali mengundangnya tapi, beliau tak merespon, jadi—"
Sebelum pak Gong menyelesaikan kalimatnya, aku segera menyela, dengan berkata, "Professor Baek Eun Kang itu ... bukan ayahku."
Sejujurnya. Aku tidak sepenuhnya berbohong. Memang benar bahwa dia—Baek Eun Kang adalah ayahku. Akan tetapi, sejak aku tidak berhasil mendapatkan Universitas Negeri Seoul (UNS), beliau seolah tidak menganggapku sebagai anaknya. Beliau tidak datang ke acara penyambutkan mahasiswa baru di kampusku, tidak datang saat aku menjadi panelis di sebuah acara debat kampus, tidak peduli meski aku mendapatkan nilai A di empat mata kuliahku, dan tidak pernah ada untukku. Sebenarnya, beliau memang sudah begitu padaku sejak lama, hanya saja sikap tak acuhnya padaku itu mencadi semakin buruk setelah aku tidak mendapatkan UNS. Ya. Ekspektasi seorang Professor terhadap anaknya ini sungguh tinggi, dan aku yang biasa saja seperti ini tidak bisa mengimbangi ekspektasinya.
"Kau serius?" Professor Kwak nampak terkejut. "Beberapa hari lalu aku bertemu temanmu yang merupakan asisten Professor Baek, dan dia bilang kau adalah putri Professor Baek."
Ah. Aku tahu siapa yang Professor Kwak maksud, pria bernama Jong Haknyeo yang tak sengaja kutemui saat aku mengantarkan tugasku pada Professor Kwak beberapa waktu lalu. Aku memang sudah mengenalnya sebagai asisten ayahku lantaran dia sering sekali ke rumah untuk memberikan data perkuliahan pada ayahku. Aku sudah sadar bahwa mulutnya itu akan bocor sekali ketika aku melihatnya bersama Professor Kwak tapi, tetap saja ini terlalu mendadak. Aku belum siap untuk menerima perlakuan yang sama seperti saat aku SMA dulu ketika teman-temanku tahu latar belakang keluargaku.
"Apa ada lagi yang ingin Professor sampaikan? Jika tidak ada aku mohon undur diri dulu." Aku beranjak dari tempatku, dan melangkah pergi meninggalkan ruang tata usaha.
Sangat menyebalkan.
Aku tidak suka!
Sangat tidak suka!
Aku benci!
"Hey, cewek!"
Langkahku terhenti ketika seorang pria bertubuh tinggi, dan berdandan acak-acakkan bak preman, ditambah dengan teman-temannya yang berdandan sama yang berdiri di belakangnya, menghadangku.
Ada apa lagi ini? Seingatku aku tidak pernah berurusan dengan orang-orang begajulan seperti mereka ini.
"Kau tahu di mana gedung program studi pendidikan matematika?" Lanjutnya.
"Di sini," jawabku sekenanya.
Dia melihat sekeliling, kemudian menatapku kembali, "kau kenal mahasiswa bernama Do Kang?"
Do Kang? Aku berpikir sejenak.
Apa yang dia maksud itu Do Kang ketua kelas? Atau Yoo Do Kang dari kelas reguler 7?
"Kau kenal tidak?!" Dia mendesakku, tak sabaran.
Apakah aku berpikir selama itu sampai-sampai dia menjadi tak sabaran?
"Kenal," jawabku.
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
"Tidak."
"Serius tidak tahu?"
"Iya."
Dia nampak geram.
Apa? Memangnya ada yang salah dengan jawabanku?!
"Kalau begitu—"
Belum selesai pria ini bicara, ponselku yang bergetar di saku celana jeansku, mengalihkan perhatianku. Aku merogoh sakuku, dan mengeluarkan ponselku dari sana. Rupanya alasan ponselku bergetar adalah panggilan dari kakakku, Baek Moon.
Aku menerima panggilan itu, dan saat akan melontarkan sepatah dua kata pada kakakku, ponselku sudah lebih dulu direbut oleh pria sangar yang ternyata masih berdiri dihadapanku ini.
"Hey, cewek. Kau itu mahasiswa, tapi lakumu kurang ajar sekali ya. Sedang diajak bicara malah mengangkat telepon! Benar-benar harus di didik ya!"
Aku tertegun saat melihat tatapan tajamnya padaku.
Apa ini? Apa kesalahan yang kubuat sampai menyinggungnya?
Ah benar! Tadi dia memang sedang berbicara padaku tapi, karena tiba-tiba ada telepon, aku jadi mengabaikannya. Apa itu menyinggungnya? Gawat kalau sampai benar! Sepertinya orang-orang ini adalah parasit yang akan terus menggangguku secars kriminal.
Dia membanting ponselku ke lantai dan menginjaknya.
Sial sekali! Ponsel itu adalah edisi terbaru dari Sangsum yang kubeli dengan kerja keras. Dia lempar dan injak seenaknya. Keterlaluan!
"Hey, pria begajulan, kau ini—" belum sempat kuselesaika kalimatku, sebuah suara sudah lebih dulu menyelanya.
"Aku di sini. Kalian tidak perlu ganggu dia."
Ketua kelas?
Ketua kelas menghampiriku, dan berbisik, "pergilah."
Pergi? Kenapa harus pergi? Aku masih punya urusan dengan pria begajulan ini. "Tidak mau, dia baru saja menghancurkan ponsel—"
"Aku akan menggantinya." Dia berbisik lagi. "Jadi pergilah."
Sebenarnya ada apa ini?
Saat menimbang siapa Do Kang yang dicari oleh para pria seram ini, aku tidak pernah sebersitpun berpikir bahwa itu adalah Do Kang si ketua kelas. Rasanya tidak mungkin saja orang yang seperti ketua kelas—seorang super model, pemimpin yang baik, pandai, dan teladan. Mengenal orang-orang seperti mereka.
Apakah ini ...
"Kalian! Apa kalian itu—"
"Kumohon pergilah!" Tukas ketua kelas yang lagi-lagi menyelaku. Wajah ketua kelas tampak begitu serius ingin mengusirku.
Ya. Kalau begitu ... aku akan pergi saja.