Chereads / BAEK BI / Chapter 7 - Skenario Gila

Chapter 7 - Skenario Gila

Sebenarnya apa yang dibicarakan ayah dan anak ini? Dan lagi kenapa aku bisa terlibat? Astaga, kepalaku jadi pusing sekali.

"Seharusnya ayah bilang sejak awal, dengan begitu aku tidak harus sampai kabur karena muak dengan semua perjodohan yang ayah rencanakan!"

"Kau yang bodoh karena tidak bertanya pendapatku!"

"Bagaimana aku bisa bertanya pendapat ayah kalau ayah tiap hari kerjanya hanya ngomel-ngomel terus?!"

"Aku ngomel karena kau menyebalkan tahu!"

"Aku ini tidak menyebalkan, ayah saja yang beranggapan begitu!"

Bla

Bla

Bla

Bla

Mereka terus bicara dan bicara. Sedangkan aku? Sejak tadi aku mencoba untuk masuk ke pembicaraan mereka. Namun, hasilnya nihil.

Kalau begini terus, maka ...

"DIAM!!!" Akhirnya aku berteriak, meskipun tidak sopan melakukan hal itu pada orang yang lebih tua dariku, dan juga kepada pria yang setidaknya sudah menyelamatkanku saat hampir jatuh. Namun, bagaimana bisa kesabaranku tak hilang jika mereka sedari tadi sibuk dengan dialog mereka sendiri, tanpa memerdulikan perkataanku, dan bahkan menyelanya?!

"Tolong diam dulu, paman! Dengarkan aku dulu!" Tukasku. Dan aku mulai menjelaskan kronologisnya, "aku mungkin tidak paham dengan pembicaraan paman dan Si An tapi, sepertinya aku tahu bahwa saat ini paman sedang salah paham denganku. Aku ini bukan—"

Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Si An sudah lebih dulu menyelanya, lagi! "Jadi, ayah, kau akan merestui hubunganku dan kekasihku ini, 'kan?"

Kekasih katanya? Maksudnya aku kan?

"Tapi tadi dia membentakku, 'kan?" Ayah Si An mempermasalahkan teriakkanku tadi. Ia melihatku dengan mata memicing.

Apa dia membenciku karena itu? Kalau memang iya, maka itu bagus. Karena ayah dan anak ini sepertinya tidak akan mendengarkan penjelasanku. Jadi, lebih baik dia berasumsi kalau aku ini adalah anak yang kurang ajar, dan pada akhirnya mereka akan mundur dengan sendirinya.

"Kau ... pasti wanita yang sangat tegas, aku suka tipe sepertimu, dengan begitu anakku tidak akan lagi menggampangkan yang namanya kehidupan," ayah Si An melanjutkan, dan itu ...

Diluar ekspektasiku.

Kenapa dia malah suka dibentak?!!!!!!

♤♧♤

PART 7

BAEK BI: Do Re Mi Fa Sol La

Pikiranku kosong begitupun dengan pandanganku.

"Hey, kau tidak apa-apa? Sejak tadi kau melamun saja."

Melamun katanya?

Aku menolehkan pandanganku pada Si An yang kini ada dibalik kemudi.

"Hey, cowok sialan! SEBENARNYA APA MAKSUD SEMUA INI?!!!"

"Astaga. Kau membuatku terkejut!"

Selama mencoba menjelaskan, dia selalu saja menyelaku, sehingga aku tidak bisa menjelaskan posisiku kepada ayahnya.

Sepertinya pria ini sengaja begitu, iya, 'kan?

"Katakan! Kau sengaja kan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan pada ayahmu, hah?!" Aku menerka.

Dia tampak begitu tenang. "Ayolah, anggap saja kau berterimakasih karena aku menangkapmu saat hampir jatuh dari gedung."

"Aku tidak memintamu untuk menolongku!"

"Meskipun begitu, hati nuraniku mana bisa membiarkanmu jatuh begitu saja. Lagipula kau itu terlalu cantik untuk mati."

"Kau—"

"Sepertinya sudah sampai ya?" Dia menyela perkataanku. Lagi!! "Hey, coba kau lihat, benar tidak ini rumahmu? Dari alamat di gps yang kau berikan padaku sih ini benar tempatnya."

Ya. Sebelumnya, saat dia berkata akan mengantarku pulang, aku memang memberikan alamatku padanya, dan dia menggunakan GPS alih-alih bertanya padaku di mana tepatnya posisi rumahku.

"Yaa! Urusan kita belum selesai, kau—"

"Sudah cepat turun sana. Kalau dipikir-pikir kau itu sudah dua hari loh tidak pulang ke rumah," katanya. Membuatku tersadar bahwa yang dikatakannya itu benar.

Gawat!

Aku sudah tidak pulang selama dua hari, ditambah lagi ponselku kunonaktifkan karena malas meladeni ayah dan ibu. Jadi, bisa mampus aku. Terlebih lagi ... pria ini ... ayah pria ini bilang akan datang ke rumahku untuk melamar dalam waktu dekat ini.

Ini Gila!!!

Ayah benar-benar akan membunuhku kalau begini, dan ibu mungkin akan membuang abu janazahku ke tong sampah karena dia menganggap aku mengecewakan.

Sial. Semua ini karena pria menyebalkan ini. "B-bukan, ini bukan rumahku."

Pada akhirnya aku berbohong. Sungguh. Aku takut pada ayah dan ibuku, apalagi ketika mereka sedang membicarakan kakakku, mata mereka akan terlihat seolah mereka dapat melakukan hal buruk padaku apabila aku tidak bisa mengimbangi kakakku.

Aku ...

Sungguh ...

Tidak ingin pulang.

"Serius ini bukan rumahmu? Tapi GPS nya berhenti di sini kok."

Tapi ... jika aku tidak pulang ... bagaimana dengan kakak? Dia meninggal karena aku, karena mencoba untuk melindungiku dari tekanan ayah dan ibu, dia jadi mengorbankan dirinya, dan akhirnya menjadi depresi sehingga berakhir dengan ... kematiannya.

Apa aku masih pantas untuk bersikap egois begini setelah menyebabkan hal seperti itu pada kakakku?

Tapi, bukankah orang yang hidup harus menjalankan kehidupannya? Itu berarti aku tidak seharusnya merasa begini, 'kan?

Tapi ... tetap saja, kakak ...

"Kepalamu ini tidak besar, jadi jangan terlalu banyak berpikir, ok?" Si An berkata dengan lembut, sembari membelai puncak kepalaku.

"K-kau—"

Rasanya hangat sekali. Sama seperti sentuhan kakak.

Dia tersenyum tipis, "jangan takut, aku akan membantumu berbicara dengan orangtuamu," katanya, seolah dia tahu apa yang kupikirkan.

Si An keluar dari mobil, dan dia membukakan pintu mobil untukku, "ayo," katanya sembari membukakan selfbeltku.

"T-tidak perlu. Aku masuk sendiri saja. Lagipula kalau kau ikut masuk, maka ... keadaannya ... akan makin rumit."

Dua hari tidak pulang dan tidak memberi kabar. Jika Si An mengantarku masuk, maka cerita yang akan tergambar dikepala ayah dan ibuku sudah sangat jelas. Mereka pasti berpikir kami melakukan 'zina', dan kedatangan ayah Si An setelahnya hanya akan memperkuat gambaran cerita di kepala ayah dan ibuku.

Tuhan, bukankah skenariomu ini terlalu imajinatif?

"Tidak akan rumit. Aku akan menjelaskan pada mereka dengan baik, ok?"

Mendengar perkataannya membuatku mendelik, "tunggu, kau mau menjelaskannya bagaimana? Jangan bilang kau akan mengatakan pada orangtuaku bahwa kau akan menikahiku!"

"Memang itu kan yang tadi kita bahas dengan ayahku?"

Tiba-tiba sikap lembutnya tadi menghilang dari kepalaku. "KAU GILA YA?! KAPAN KITA MEMBAHAS ITU, HAH? HANYA KAU DAN AYAHMU YANG MEMBAHASNYA TAHU! KAU BAHKAN SELALU MENYELA KALIMATKU SAAT AKU MENCOBA UNTUK MENJELASKAN!!! SIALAN KAU!!!"

"Bagus sekali, kau ternyata masih ingat pulang."

Suara itu?

Ayah!