"Bagus sekali, kau ternyata masih ingat pulang."
Suara itu?
Ayah!
Luar biasa. Kepalaku secara otomatis berputar ketika mendengar suara ayah—sepertinya karena terlalu takut padanya. Ayah menatapku dengan tajam dari balik kacamatanya yang tebal. Auranya sangat menakutkan, membuatku jadi berpikir bagaimana bisa semua mahasiswanya bertahan di ajari oleh ayah jika dilihat dari sosoknya saja sudah menakutkan begini?
Kulihat ayah mulai berjalan ke arahku. Sembari berkata, "Dua hari tidak pulang setelah bilang lebih baik mati. Kupikir kau sungguh mati, jadi aku dan ibumu terus menonton berita untuk melihat adakah berita tentang mahasiswi duapuluh tahunan yang mati tapi, ternyata kau masih hidup ya."
Perkataan ayah ... menyakitkan sekali. Bahkan tubuhku sampai-sampai terasa begitu lemas setalah mendengarnya.
Dan saat langkah ayah berhenti dihadapanku ...
#prakk
Sebuah tamparan keras mendarat di wajahku.
"Anak sialan!" Umpatnya, dan itu sangat mengintimidasiku.
"A-aku ... m-maaf ayah—" belum sempat kuselesaikan kalimatku, Si An sudah lebih dulu menarikku ke dalam rangkulannya.
"Maafkan aku, ayah mertua. Sebenarnya kemarin itu Bi pergi bersamaku," perkataan Si An membuatku merasa gelisah. Bukan tanpa alasan, perkataannya itu pasti akan mengundang pikiran negative ayahku.
Tapi, dari semua itu, yang membuatku heran adalah ... bagaimana Si An tahu namaku? Seingatku aku tidak pernah menyebutkan apapun tentang diriku kecuali alamat rumahku, karena dia bilang ingin mengantarku pulang.
"Kau ... pergi bersama seorang pria? Selama dua hari? Apa yang kau—" belum selesai ayahku bicara, lagi-lagi Si An menyela.
"Tidak ada yang kami lakukan, paman. Bi itu adalah anak yang sangat patuh dan baik. Jadi, dia tidak akan membiarkan aku melakukan apapun padanya."
"Tapi tetap saja kalian bersama! Siapa yang peduli kalian melakukan apa, intinya kalian bersama selama dua hari, dan itu membuat orang-orang akan berpikiran negatif, kau paham?!" Ayah sungguh marah. Namun, wajah Si An benar-benar tenang seolah emosi ayahku yang memuncak bukanlah hal yang besar baginya.
"Astaga, paman ini kuno sekali. Di jaman sekarang mana ada orang yang mempermasalahkan itu?"
"Yaa! Kau! Mulutmu itu lancang sekali! Kau pikir kau siapa, hah? Kau tidak tahu betapa bermartabatnya keluargaku?! Orang sepertimu yang tidak punya etika dan tidak jelas asal usulnya, mana mengerti tentang martabat!"
Si An terkekeh setelah di marahi ayahku.
'Apa dia gila? Kenapa dia tertawa?' Pikirku. Sejak awal aku memang sudah merasa Si An itu orang aneh tapi, aku tidak sangka bahwa dia itu ternyata SANGAT ANEH!
"Paman salah. Aku ini bukan orang yang tidak jelas asal usulnya, aku ini adalah Choi Si An, putera satu-satunya Choi Si Wan, dan mendiang Cha Ji Eun," kata Si An dengan entengnya.
Ayahku menampilkan wajah yang biasanya dia tampilkan saat membandingkanku dengan kakakku—meremehkan. "Cih, lalu apa pentingnya untukku? Bagiku kau ini hanya anak begajulan yang tidak jelas asal usulnya, anak yang tidak punya etika sampai-sampai berani membawa kabur anak perempuan keluarga lain! Memalukan."
Wajah Si An nampak serius, meskipun dia masih menampilkan sebilah senyuman, "haruskah kutekankan? Aku ini bukan anak yang tidak jelas asal usulnya, dan juga bukan anak yang tidak punya etika. Aku ini adalah ... putra satu-satunya Choi Si Wan, dan mendiang Cha Ji Eun."
"Yaa! Kau ini belagak—" seketika ayahku terdiam, dia menautkan kedua alisnya, dan menatap Si An dengan intens. "Kau bilang siapa orangtuamu?"
Ada apa ini? Kenapa dengan ayah?
"Sepertinya paman ingat sesuatu," kata Si An. "Ya, apapun yang paman pikirkan sekarang, jawabannya adalah iya."
"Kau—" ayahku nampak tertegun.
Sebenarnya ada apa?
"Oh iya, paman. Sebenarnya besok ayahku akan datang ke sini. Dia akan melamarkan Bi untukku," kata Si An dengan entengnya, membuatku teringat kembali bahwa tujuannya ke sini adalah untuk mengatakan hal gila itu pada ayahku.
"YAA!! CHOI SI AN GILA!!!"
♧♤♧
PART 8
BAEK BI: Do Re Mi Fa Sol La
Sejak Si An mengantarku pulang semalam, sikap ayah dan ibu berubah 180 derajat padaku. Aku tidak tahu alasannya tapi, sepertinya ayah mengenal orangtua Si An.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ayah dan ibuku langsung mengiyakan perkataan Si An semalam tentang keinginannya untuk mendatangkan ayahnya ke rumah kami untuk malamarkanku untuknya. GILA!
"Isteriku, pastikan semuanya tertata dengan benar, kita tidak boleh sampai mengecewakan keluarga Choi," ayahku begitu teliti memeriksa semua persiapan untuk menyambut kedatangan ayah Si An.
Sebenarnya apa hubungan ayah dan orangtua Si An, sampai-sampai ayah bersikap sedemikian?
Bahkan karena perubahan sikap orangtuaku padaku, aku jadi merasa tidak sanggup untuk menolak lamaran Si An. Aku takut jika aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya tentangku dan Si An pada ayah dan ibu, ayah dan ibu akan kembali bersikap sarkastik padaku.
Ya. Setidaknya aku sekarang tahu, bahwa rencana lamaran Si An padaku, dapat menyelamatkanku dari neraka yang diciptakan orangtuaku.
Sepertinya, tuhan membantuku terbebas dari neraka ini memang dengan melalui Si An.
Ponselku yang bergetar diatas meja rias, menyadarkanku dari pemikiranku yang semrawut.
Aku mengerutkan kening saat mendapati nomor yang tidak kukenal. Awalnya ada sebersit keinginan untuk mengabaikan panggilan tak jelas dari siapa itu. Namun, rasa penasaranku yang berlebih, membuat tanganku pada akhirnya bertindak. Aku mengangkat telepon tersebut.
"Halo?"
"Kau tidak berpikir untuk menolakku nanti, 'kan?" Suara dari balik telepon ini sepertinya tidak asing.
"Ini siapa?" Tanyaku.
"Si An."
Aku terkejut ketika tahu bahwa yang meneleponku adalah Si An. "Bagaimana kau tahu nomorku?"
"Jawab dulu pertanyaannya. Kau tidak akan menolakku nanti, 'kan?"
Aku terdiam sejenak. Mungkin memang nyata bahwa ayah dan ibuku bersikap lebih baik padaku setelah lamaran Si An tapi, ... tetap saja ini terasa tidak masuk akal untukku. Aku bahkan tidak tahu apapun tentangnya selain namanya, dan bahkan aku baru bertemu dengannya dua hari lalu. Ini jelas tidak masuk akal biar bagaimanapun aku memikirkannya.
"Tidak. Tidak akan kutolak," jawabku pada akhirnya. Ya. Meskipun tidak masuk akal tapi, semuanya sudah terlanjur berjalan begini, 'kan? Lagipula ... aku merindukan saat-saat di mana aku terbebas dari orangtuaku.
"Yakin?"
"Ya."
"Baiklah, karena kau sudah yakin untuk bergabung dalam rencana ini, maka akan kukatakan padamu keuntungan yang akan kau dapat dari rencana kecil ini," perkataan Si An dari balik telepon, mencengangkanku.
Keuntungan apa? Rencana apa? Apa maksudnya?
"Keuntunganmu adalah ... kebebasan," lanjut Si An.
"Apa maksudmu?"
"Pokoknya, selamat datang di hubungan simbiosis mutualisme ini, Baek Bi."
Telepon itu berakhir, dan aku masih memutar otak tentang apa yang baru saja Si An katakan.
Sebenarnya apa maksudnya?
Aku terus berpikir, sampai pada akhirnya pintu kamarku dibuka. Ibuku muncul dari baliknya dan berkata, "Bi, Si An dan keluargamya sudah datang, cepatlah turun."
Sebenarnya mau bagaimana cerita ini berjalan? Kenapa aku tetap merasa alurnya aneh bagaimanapun aku memikirkannya?