Aku salah. Awalnya aku pikir mereka tidak akan membandingkanku lagi dengan kakakku tapi, ... mereka kembali melakukannya, tepatnya setelah kami pulang dari makam kakakku untuk memperingati satu tahun kepergiannya.
Apakah karena rasa sedih? Rasa bersalah? Rasa kecewa? Setelah pulang dari makam kakak, semuanya menjadi lebih buruk di rumah ini.
'Seharusnya kau yang mati bukan Moon!!'
Perkataan ayahku kemarin masih terngiang dikepalaku.
Apa ayah sungguh-sungguh berpikir begitu? Kurasa iya, mengingat kakakku adalah orang yang sangat sempurna, tidak seperti aku. Aku ...
"Sepertinya memang harus mati saja ya?"
Aku menengadah, memandang langit malam yang tanpa bintang. "Hey, bulan, ke mana bintang-bintang yang biasa menemanimu? Apa mereka sudah bosan denganmu? Karena itu mereka pergi? Aku juga ... kakakku sepertinya bosan, maka dari itu dia pergi meninggalkanku. Aku ... sama sepertimu, bulan. Aku juga kesepian. Jadi ... haruskah aku menyusul kakakku saja?"
Aku menundukkan kepalaku, menatap pemandangan dibawah kakiku dengan perasaan ragu.
Apa aku akan langsung mati kalau melompat dari gedung ini? Atau aku malah cacat dan semakin membuat ayah dan ibuku benci padaku? Bagaimana ini jadinya? Haruskah aku melompat saja?
"Terakhir kali ada juga yang melompat, dan dia sekarang koma."
Suara itu!
Aku hendak menoleh tapi, angin yang begitu kuat, dan kakiku yang tidak bertumpu dengan baik membuat tubuhku sempoyongan, dan ... tubuhku terjatuh.
Apakah aku akan mati?
Aku memejamkan mataku, ada perasaan takut dalam diriku.
"Dapat!"
Suara yang tadi. Sepertinya sang empunya suara itu memegangiku tubuhku. Apakah aku tidak jadi mati?
Perlahan aku membuka mataku, dan pemandangan pertama yang kulihat adalah wajah tampan seorang pria.
Dia tersenyum, dan senyumnya begitu indah, "aku tidak ingin merusak rencanamu tapi, jika kau sampai jatuh dan kemudian mati di gedung ini, maka itu akan meninggalkan kesulitan bagi pemilik gedung ini," katanya.
Dia menarikku, membawaku mendarat di lantai atap gedung 20 lantai ini.
"Bisa kasihan, 'kan pemilik gedung ini nantinya. Jadi, daripada di sini bagaimana jika kita pergi ke tempat lain saja. Aku tahu tempat yang tepat untuk bunuh diri," katanya, masih dengan senyum yang mengembang diwajahnya.
Apa dia gila?
"Aku—"
Belum selesai aku bicara, pria ini sudah lebih dulu menarikku.
"Ayo!"
♤♧♤
Part 5
BAEK BI: Do Re Mi Fa Sol La
Pemandangan malam yang begitu indah dihadapanku, membuat aku membeku sekaligus terpana. Bagaimana bisa pemandangan di sini begitu indah padahal di atap gedung tadi pemandangannya sangatlah sepi? Ini masih di dunia yang sama, 'kan? Masih dibawah langit yang sama, 'kan? Aku terus bertanya-tanya.
"Indah, 'kan? Cocok sekali untuk menjadi tempat terakhir hidup tapi, apakah tidak sayang kalau mati dihadapan pemandangan indah seperti ini?" Kata pria yang ada di sampingku.
Aku menoleh padanya, "sejujurnya aku tidak berniat untuk bunuh diri, tadi itu aku terkejut karena mendengar suaramu, dan itu membuat tubuhku sempoyongan dan akhirnya hampir jatuh," jelasku. Sejak dalam perjalanan ke sini, dia selalu menyebutkan mati, bunuh diri, dan mengakhiri hidup padaku. Hal itu tentunya membuatku jadi bergedik. Walaupun sebelumnya memang ada pikiran untuk mati tapi, itu hanya sekedar pikiran gila saja, aku mana berani mencobanya.
Sialnya, wajah pria ini justru menampilkan kekecewaan. "Yahhh, jadi aku hanya salah paham? Ck! Sial sekali, padahal ini adalah tempat nongkrong rahasiaku, aku memberitahukan tempat ini padamu untuk menghiburmu, ternyata hanya salah paham ya?"
"Tempat rahasia?"
"Iya, keren, 'kan?" Dia pamer sembari menampilkan wajah sumringah. "Aku tahu tempat ini dua tahun yang lalu, waktu itu aku— eh, kalau dilihat-lihat, wajahmu sepertinya tidak asing." Dia mengerutkan keningnya, dan mulai memandangku dengan intens.
Dia mengenalku? Tapi aku sepertinya tidak kenal.
"Kau ... maskot kedai ramen dekat kampus PORSTECH, 'kan?"
Sialan!
"Yaa! Kau—"
Pffthhhh, "hahahhaha." Dia tertawa terbahak-bahak. "Wajah marahmu itu mirip sekali dengan maskot itu, dia juga memasang wajah begitu kalau memakan ramen level 8 hahahahaha~"
"Kau—" aku marah dan ingin sekali mengumpat. Namun, entah kenapa yang keluar dari mulutku adalah, "kau ... siapa namamu?"
Bodoh!
Tawanya perlahan memudar. "Kenalannya nanti saja. Sudah malam. Aku mau pulang," katanya. "Kau mau pulang juga, 'kan?" Dia mengulurkan tangannya padaku, dan itu membuatku terdiam barang sejenak.
Pertama kalinya dalam hidupku.
Seseorang selain kakakku ...
Mengulurkan tangannya untukku.